“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.
“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”
Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.
“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”
Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak ingin pada akhirnya mengeluarkan kata-kata yang akan melukai sang istri. Oleh karena itu, dia memilih untuk menghindar terlebih dulu. Membiarkan Lana tenang dan mereka bisa berbicara lagi nanti.
Lelaki itu lantas pergi begitu saja meninggalkan Lana yang masih duduk di ruang keluarga tak peduli jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Lana mengunci pintunya sebelum kembali ke kamar. Dia harus mulai mempersiapkan dirinya untuk hal buruk yang barangkali akan terjadi. Setelah itu, Lana naik ke atas ranjang dan menekuni chat milik sang suami yang ada di ponselnya. Tentu, perasaan sakit itu muncul karena membaca bagaimana mesranya Yoga ketika bertukar pesan dengan selingkuhannya.
“Aku benar-benar tidak akan melepaskan kalian,” gumam Lana dengan gigi bergemeletuk, “sekarang kamu bisa menikmati perselingkuhanmu, Mas. Tapi kita lihat akan berapa lama kamu bisa menyembunyikannya.”
Lana berjanji pada dirinya sendiri dan juga demi putra satu-satunya. Dia tidak akan mau mengalah begitu saja dengan perempuan yang sudah menjadi duri dalam pernikahannya. Yoga juga harus tahu, jika dia bukan istri bodoh yang mudah diperlakukan semaunya.
Keesokan harinya, suasana sarapan terasa membeku. Lana tidak berbicara sedikitpun kepada Yoga dan memilih menyiapkan semuanya tanpa kata. Menyuguhkan kopi, mengambilkan nasi dan lauk untuk sang suami pun tanpa bersuara sedikitpun. Yoga tampak mencuri pandang ke arah Lana, tetapi istrinya terlihat tak acuh.
“Kai, hari minggu besok mau jalan-jalan sama Ayah nggak? Kita ke mal.” Yoga membuka suara lebih dulu mengusir kebekuan yang tercipta antara dirinya dengan sang istri. Tentu saja dengan melibatkan putra mereka.
“Mandi bola, Yah?” tanya Kai semangat.
“Ya, kita bisa mandi bola. Kita juga bisa membeli banyak mainan. Bagaimana, Kai mau, ‘kan?” Yoga menatap putra tampannya itu antusias.
“Mau, Yah.” Anggukan semangat itu Kaisar berikan untuk sang ayah. Bocah lima tahun itu tentu saja tidak mengerti jika kedua orang tuanya tengah perang dingin. Yang dia tahu dia diajak pergi jalan dan akan membeli banyak mainan.
Lana masih diam membisu. Seolah-olah obrolan suami dan putranya tidak pernah masuk ke dalam gendang telinganya. Mengabaikan apa pun yang didengarkan dan sibuk dengan dirinya sendiri.
“Sayang, kamu masih marah sama aku?” tanya Yoga sebelum berangkat kerja, “ayo dong, jangan begini. Aku minta maaf kalau aku punya salah sama kamu. Meskipun aku pun bingung kesalahan apa yang aku lakukan.”
Yoga berdiri di dapur dengan menatap Lana yang tengah membereskan meja makan. Lelaki itu tentu saja tak senang dengan sikap Lana yang mendiamkannya. Semalam ketika dia pulang, Lana sudah tidur. Dia pikir setelah waktu berlalu, Lana akan kembali seperti sedia kala. Nyatanya, perempuan itu justru semakin dingin kepadanya.
“Oke … oke, kamu minta apa? Mas janji akan kabulkan permintaan kamu.”
Ucapan Yoga yang terlontar untuk Lana seperti angin segar bagi perempuan itu. Ada seringaian kecil di bibirnya yang Lana sembunyikan. Lana berdiri dengan tegak, menatap Yoga dengan tegas, lalu satu permintaan keluar dari mulutnya.
“Aku ingin upgrade kendaraan!” tegasnya, “aku mau mobil.”
Segera saja, mata Yoga terbelalak lebar. Lelaki itu terkejut luar biasa. “Mobil?” ulangnya.
“Iya, mobil. Aku ingin Mas membelikan aku mobil untuk antar jemput Kaisar. Toh selama ini aku nggak pernah meminta apa pun sama Mas. Tenang aja, setelah aku punya mobil, aku nggak akan ngerepotin Mas lagi. Nggak perlu nunggu Mas punya waktu luang untuk mengajak Kaisar jalan-jalan.”
Ringan dan tanpa beban. Begitulah gambaran Lana ketika mengatakan semua itu di depan sang suami. Kalau Yoga sudah berani mengeluarkan uang untuk perempuan lain, seharusnya dia berhak mendapatkan berkali lipat karena dia adalah istri sahnya.
“Aku nggak bisa izinkan kamu nyetir sendiri.” Yoga menolak. “Sayang, kalau kamu pergi ke mana pun, kamu bisa pesan kendaraan online. Ada ojek, ada taksi, banyak kendaraan di luar sana yang nggak beresiko. Kamu juga belum bisa menyetir mobil, kan?”
“Semua bisa dipelajari, Mas,” ucap Lana santai, “aku nggak maksa sih, pikirkan aja dulu.”
Lana berlalu dari hadapan Yoga setelah itu untuk menyudahi kegiatannya di dapur. Tanpa banyak kata, dia segera bersiap-siap untuk mengantarkan Kaisar ke sekolah. Dia tidak ingin moodnya pagi ini menjadi berantakan karena Yoga. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi dengan amarah yang begitu menggelegak. Sudah waktunya dia memulai aksinya yang lain.
***
“Bu Titik mendapatkan sesuatu?”
Lana kembali menemui Bu Titik setelah perempuan itu menghubunginya tiba-tiba. Setelah mengantarkan putranya ke sekolah, Lana segera meluncur ke warung tenda perempuan itu. Lana tidak sabar sebenarnya apa yang ingin Bu Titik katakan kepadanya.
“Mbak coba lihat ini deh.” Bu Titik menunjukkan layar ponselnya di depan Lana untuk memastikan.
Wajah lana sudah menggelap karena melihat foto yang ada di layar ponsel Bu Titik sampai tidak menjawab pertanyaan perempuan paruh baya tersebut. Ada beberapa foto yang cukup intens antara laki-laki dan perempuan dalam keremangan malam.
“Kapan Ibu mengambil foto ini?” tanya Lana. Matanya sudah memerah karena air mata yang ingin keluar dari netranya.
“Semalam, Mbak. Setelah beberapa hari, akhirnya Ibu bisa mendapatkannya. Tadinya Ibu udah nggak yakin bakalan bisa nemuin bukti.”
“Ibu tolong jangan bilang kepada siapa-siapa tentang masalah ini ya, Bu. Cukup kita aja yang tahu. Biarkan saya sendiri nanti yang membongkar semuanya.” Lana tetap mewanti-wanti agar perselingkuhan suaminya tidak bocor kepada siapa pun.
“Saya tahu kok, Mbak. Mbak Lana tenang saja. Sebenarnya, si Ratri itu juga sering makan di sini. Pak Yoga apalagi. Ratri itu memang karyawan baru. Mungkin baru beberapa bulan terakhir ini bekerja di sini.”
Bu Titik sepertinya memang sudah banyak tahu tentang karyawan di kantor Yoga. Khas penjual yang sudah dekat dengan pelanggan-pelanggan setianya.
Lana mengangguk mengerti. Sedikit lagi, Lana akan membongkar semua ulah suaminya di belakangnya. Tetapi dia harus tahu terlebih dulu siapa Ratri sebenarnya.
***
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is
“Apa kamu bilang? Rumah tangga kita tidak baik-baik saja? Kalau kamu seperti ini terus, jelas rumah tangga kita akan berantakan!” Yoga mendesis sinis mendengar ucapan Lana yang baginya sudah kelewat batas.Alih-alih menanggapi, Lana justru melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sorry, Mas. Aku harus pergi. Masih ada klien yang harus aku temui hari ini. Kalau mau bahas rumah tangga, nanti aja kalau udah di rumah. Lagian, udah waktunya Mas balik ke kantor, ‘kan? Udah kelewat jam makan siang, lho, ini.”Barang-barang lana sudah dimasukkan ke dalam tas sepenuhnya dan dia siap untuk pergi. Namun, Yoga menahan tangan perempuan itu. “Berhentilah, Lana. Aku mohon!”Lana melepaskan cekalan tangan Yoga sedikit kasar, sembari memberikan tatapan penuh peringatan. “Aku baru mengawali, Mas. Terlalu cepat kalau aku harus mengakhiri.”Setelah mengatakan itu, Lana memilih pergi dari restoran tersebut meninggalkan Yoga yang sedikit mematung di tempatnya. Ketika kesadarannya kembali, lelaki itu
Yoga melemparkan kunci mobilnya ketika dia baru saja sampai di kontrakan Ratri. Ekspresinya menggelap dengan tumpukan amarah di wajahnya. Ratri yang sejak tadi memasang senyum lebar karena kedatangan sang kekasih itu seketika menjerit.“Mas kenapa sih?” tanyanya bingung, “kenapa harus lempar-lempar barang!”Alih-alih menjawab, Yoga malah menendang sofa yang ada di depannya. Tangannya meremas rambutnya sebelum mengacaknya menjadi berantakan. Ratri diam menatap Yoga dengan sedikit rasa khawatir. Ini adalah untuk pertama kalinya dia melihat Yoga kehilangan kendali dirinya. Amarah itu terlihat jelas dalam bola matanya.Ratri berdiri, dia mendekati Yoga, mengelus punggung lelaki itu dengan lembut. “Mas, ada apa?” tanyanya lagi, “kalau ada masalah, Mas bisa bilang sama aku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi.”“Lana sudah keterlaluan.” Yoga menjawab cepat. “Dia benar-benar sudah berubah. Keputusan yang ada di rumah, dia bahkan tidak melibatkanku.” Yoga menatap Ratri masih dengan kobaran