Share

Part 5. Bukti di Keremangan

“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.

“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”

Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.

“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”

Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak ingin pada akhirnya mengeluarkan kata-kata yang akan melukai sang istri. Oleh karena itu, dia memilih untuk menghindar terlebih dulu. Membiarkan Lana tenang dan mereka bisa berbicara lagi nanti.

Lelaki itu lantas pergi begitu saja meninggalkan Lana yang masih duduk di ruang keluarga tak peduli jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Lana mengunci pintunya sebelum kembali ke kamar. Dia harus mulai mempersiapkan dirinya untuk hal buruk yang barangkali akan terjadi. Setelah itu, Lana naik ke atas ranjang dan menekuni chat milik sang suami yang ada di ponselnya. Tentu, perasaan sakit itu muncul karena membaca bagaimana mesranya Yoga ketika bertukar pesan dengan selingkuhannya.

“Aku benar-benar tidak akan melepaskan kalian,” gumam Lana dengan gigi bergemeletuk, “sekarang kamu bisa menikmati perselingkuhanmu, Mas. Tapi kita lihat akan berapa lama kamu bisa menyembunyikannya.”

Lana berjanji pada dirinya sendiri dan juga demi putra satu-satunya. Dia tidak akan mau mengalah begitu saja dengan perempuan yang sudah menjadi duri dalam pernikahannya. Yoga juga harus tahu, jika dia bukan istri bodoh yang mudah diperlakukan semaunya.

Keesokan harinya, suasana sarapan terasa membeku. Lana tidak berbicara sedikitpun kepada Yoga dan memilih menyiapkan semuanya tanpa kata. Menyuguhkan kopi, mengambilkan nasi dan lauk untuk sang suami pun tanpa bersuara sedikitpun. Yoga tampak mencuri pandang ke arah Lana, tetapi istrinya terlihat tak acuh.

“Kai, hari minggu besok mau jalan-jalan sama Ayah nggak? Kita ke mal.” Yoga membuka suara lebih dulu mengusir kebekuan yang tercipta antara dirinya dengan sang istri. Tentu saja dengan melibatkan putra mereka.

“Mandi bola, Yah?” tanya Kai semangat.

“Ya, kita bisa mandi bola. Kita juga bisa membeli banyak mainan. Bagaimana, Kai mau, ‘kan?” Yoga menatap putra tampannya itu antusias.

“Mau, Yah.” Anggukan semangat itu Kaisar berikan untuk sang ayah. Bocah lima tahun itu tentu saja tidak mengerti jika kedua orang tuanya tengah perang dingin. Yang dia tahu dia diajak pergi jalan dan akan membeli banyak mainan.

Lana masih diam membisu. Seolah-olah obrolan suami dan putranya tidak pernah masuk ke dalam gendang telinganya. Mengabaikan apa pun yang didengarkan dan sibuk dengan dirinya sendiri.

“Sayang, kamu masih marah sama aku?” tanya Yoga sebelum berangkat kerja, “ayo dong, jangan begini. Aku minta maaf kalau aku punya salah sama kamu. Meskipun aku pun bingung kesalahan apa yang aku lakukan.”

Yoga berdiri di dapur dengan menatap Lana yang tengah membereskan meja makan. Lelaki itu tentu saja tak senang dengan sikap Lana yang mendiamkannya. Semalam ketika dia pulang, Lana sudah tidur. Dia pikir setelah waktu berlalu, Lana akan kembali seperti sedia kala. Nyatanya, perempuan itu justru semakin dingin kepadanya.

“Oke … oke, kamu minta apa? Mas janji akan kabulkan permintaan kamu.”

Ucapan Yoga yang terlontar untuk Lana seperti angin segar bagi perempuan itu. Ada seringaian kecil di bibirnya yang Lana sembunyikan. Lana berdiri dengan tegak, menatap Yoga dengan tegas, lalu satu permintaan keluar dari mulutnya.

“Aku ingin upgrade kendaraan!” tegasnya, “aku mau mobil.”

Segera saja, mata Yoga terbelalak lebar. Lelaki itu terkejut luar biasa. “Mobil?” ulangnya.

“Iya, mobil. Aku ingin Mas membelikan aku mobil untuk antar jemput Kaisar. Toh selama ini aku nggak pernah meminta apa pun sama Mas. Tenang aja, setelah aku punya mobil, aku nggak akan ngerepotin Mas lagi. Nggak perlu nunggu Mas punya waktu luang untuk mengajak Kaisar jalan-jalan.”

Ringan dan tanpa beban. Begitulah gambaran Lana ketika mengatakan semua itu di depan sang suami. Kalau Yoga sudah berani mengeluarkan uang untuk perempuan lain, seharusnya dia berhak mendapatkan berkali lipat karena dia adalah istri sahnya.

“Aku nggak bisa izinkan kamu nyetir sendiri.” Yoga menolak. “Sayang, kalau kamu pergi ke mana pun, kamu bisa pesan kendaraan online. Ada ojek, ada taksi, banyak kendaraan di luar sana yang nggak beresiko. Kamu juga belum bisa menyetir mobil, kan?”

“Semua bisa dipelajari, Mas,” ucap Lana santai, “aku nggak maksa sih, pikirkan aja dulu.”

Lana berlalu dari hadapan Yoga setelah itu untuk menyudahi kegiatannya di dapur. Tanpa banyak kata, dia segera bersiap-siap untuk mengantarkan Kaisar ke sekolah. Dia tidak ingin moodnya pagi ini menjadi berantakan karena Yoga. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi dengan amarah yang begitu menggelegak. Sudah waktunya dia memulai aksinya yang lain.

***

“Bu Titik mendapatkan sesuatu?”

Lana kembali menemui Bu Titik setelah perempuan itu menghubunginya tiba-tiba. Setelah mengantarkan putranya ke sekolah, Lana segera meluncur ke warung tenda perempuan itu. Lana tidak sabar sebenarnya apa yang ingin Bu Titik katakan kepadanya.

“Mbak coba lihat ini deh.” Bu Titik menunjukkan layar ponselnya di depan Lana untuk memastikan.

Wajah lana sudah menggelap karena melihat foto yang ada di layar ponsel Bu Titik sampai tidak menjawab pertanyaan perempuan paruh baya tersebut. Ada beberapa foto yang cukup intens antara laki-laki dan perempuan dalam keremangan malam.

“Kapan Ibu mengambil foto ini?” tanya Lana. Matanya sudah memerah karena air mata yang ingin keluar dari netranya.

“Semalam, Mbak. Setelah beberapa hari, akhirnya Ibu bisa mendapatkannya. Tadinya Ibu udah nggak yakin bakalan bisa nemuin bukti.”

“Ibu tolong jangan bilang kepada siapa-siapa tentang masalah ini ya, Bu. Cukup kita aja yang tahu. Biarkan saya sendiri nanti yang membongkar semuanya.” Lana tetap mewanti-wanti agar perselingkuhan suaminya tidak bocor kepada siapa pun.

“Saya tahu kok, Mbak. Mbak Lana tenang saja. Sebenarnya, si Ratri itu juga sering makan di sini. Pak Yoga apalagi. Ratri itu memang karyawan baru. Mungkin baru beberapa bulan terakhir ini bekerja di sini.”

Bu Titik sepertinya memang sudah banyak tahu tentang karyawan di kantor Yoga. Khas penjual yang sudah dekat dengan pelanggan-pelanggan setianya.

Lana mengangguk mengerti. Sedikit lagi, Lana akan membongkar semua ulah suaminya di belakangnya. Tetapi dia harus tahu terlebih dulu siapa Ratri sebenarnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status