“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”
Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.
“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”
Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan menjadi suaminya, Lana merasa ikatan pernikahannya akan semakin kuat. Ternyata justru sebaliknya.
Yoga menodai kepercayaannya dengan pengkhianatan yang dilakukan. Lelaki itu mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumah tangganya dan tanpa dia sadari akan menghancurkan hubungan yang sudah dibangun selama ini.
“Oh, ya, Mas tadi cari aku ada apa?” Akan percuma membahas masalah ini sekarang karena Yoga pasti akan terus mengelak.
“Nggak ada apa-apa. Aku udah lupa mau bilang apa.” Yoga lantas kembali meninggalkan kamar setelah memberikan jawaban setengah ketus kepada Lana. Tampak sekali kalau lelaki itu tengah kesal karena ucapan Lana tadi.
Lana tidak ingin mengambil pusing sikap Yoga kepadanya. Semakin Yoga menyimpan rapat perselingkuhannya, semakin dia akan menemukan bukti akurat untuk menumbangkan mereka. Dia tak akan mengizinkan orang-orang yang sudah bermain di belakangnya itu bahagia di atas dukanya.
***
“Lan, malam minggu nanti aku ada acara sama teman-teman kantor. Kita sepertinya nggak bisa jalan-jalan ajak Kaisar. Kalau hari minggunya gimana?”
Lana sempat memancing Yoga dan mengajaknya keluar bersama dengan Kaisar. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama. Tadinya, Yoga memberikan jawaban ketidakpastian dengan mengatakan, ‘Lihat nanti, ya.’ Kepada Lana, tetapi kini kepastian itu akhirnya diberikan juga.
“Yang ngajak duluan pergi ‘kan aku, Mas. Kenapa Mas lebih milih pergi sama teman-teman kantor Mas? Atau kalau enggak, aku dan Kaisar ikut deh. Emangnya mau kumpul-kumpul di mana?”
Beruntunglah Lana karena dia sudah tahu tentang rencana Yoga dan selingkuhannya, sehingga dia bisa memulai langkahnya.
“Nggak perlu ikut lah, Sayang. Kami mau main futsal. Mereka nggak ada yang bawa pasangan.”
Menjadikan alasan keluar dengan teman kantor, tampaknya adalah senjata paling ampuh yang dimiliki oleh Yoga. Dia tentu tahu, selama ini Lana tidak begitu rewel jika sudah menggunakan alasan tersebut. Bedanya, dia dulu jujur dan sekarang tidak.
“Aku sebenarnya juga ingin kenal sama teman-teman kantor Mas. Tapi, selama ini Mas nggak pernah ajak mereka datang juga, ‘kan? Bagaimana kalau kita undang mereka ke sini?”
Tidak ada dari teman-teman kantor Yoga yang mengenal Lana, bagaimana sosoknya, dan seperti apa orangnya. Yoga seolah menutup rapat tentang keluarga kecilnya dari orang-orang disekitarnya. Pada awalnya, Lana tidak pernah mempermasalahkan itu dan dia juga lebih nyaman dengan tidak mengenal mereka. Ketika menghadiri undangan pun, Yoga akan memilih berangkat dengan teman-temannya tanpa sekalipun membawa Lana.
“Untuk apa?” Yoga bereaksi cepat. “Aku nggak suka kamu kenal mereka, Sayang. Aku nggak mau ada dari mereka yang tertarik sama kamu.”
Alasan yang sama pun diutarakan oleh Yoga. Lana memang cantik. Dia tak pernah lupa merawat dirinya meskipun dia adalah ibu rumah tangga. Namun, perasaan Lana terasa tercubit ketika dia mengingat kalau kecantikannya bahkan masih tidak berguna ketika sang suami tetap mencari perempuan lain untuk dijadikan yang kedua.
“Nggak semua lelaki matanya jelalatan kalau ngelihat perempuan cantik, Mas. Apalagi perempuan itu adalah istri temannya. Jangan suka parno lah, Mas. Nggak baik,” tukas Lana santai, “lagian, perselingkuhan itu ada kalau dua-duanya sama-sama mau. Aku mah setia, Mas. Paham kalau aku punya suami dan anak. Nggak bakalan gatel sama laki-laki lain.”
“Bukan gitu maksud aku, Lana ….”
“Alah, udahlah, Mas. Jadi nggak mood aja kalau bahas masalah ini. Sekarang gini aja deh, kalau Mas malam minggu nggak bisa keluar jalan sama aku dan Kaisar, biar kami jalan sendiri. Transfer aku uang lebih.”
“Lho, kamu nggak boleh pergi kalau nggak sama aku dong, Sayang.”
“Kalau Mas bisa pergi dengan teman-teman Mas, aku juga bisa pergi berdua dengan Kaisar.”
“Lan!” Yoga menahan istrinya agar tidak beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu terlihat tidak senang ketika Lana pergi tanpa dirinya. Dia tidak bisa membayangkan kalau-kalau ada lelaki yang akan menggoda istri cantiknya.
Yoga sebenarnya menyadari jika pesona sang istri tidak main-main. Pergi dengannya saja, Lana akan dilirik oleh banyak lelaki, bagaimana kalau dia akan keluar berdua saja dengan Kaisar? Yoga tentu saja tidak ingin hal-hal buruk terjadi. Hati Yoga sungguh serakah. Dia tak ingin kehilangan istrinya, tetapi dia juga sedang dimabuk cinta oleh perempuan lain.
“Aku kan bilang kalau minggu saja keluarnya. Aku janji hari minggu kita jalan-jalan ajak Kaisar. Ke mana saja kamu mau.” Itu adalah janji yang diberikan Yoga kepada Lana.
Sayangnya, Lana bukan perempuan bodoh. Perempuan itu menggeleng tegas. “Malam minggu atau transfer aku uang lebih. Aku berani kok, Mas, belanja tanpa Mas. Jangan transfer deh. ATM aja siniin.”
Lana tidak merasa takut ketika mengarahkan tatapan tegasnya pada sang suami. Telapak tangannya terbuka untuk meminta barang yang diinginkan. Yoga sudah berani membiayai perempuan lain dengan hasil kerja kerasnya. Dia juga tidak ingin kalah meskipun Yoga sudah memberikannya lebih dari cukup.
Lana yang selama ini mengurus Yoga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia yang selalu memastikan penampilan lelaki itu tidak kalah dengan para laki-laki di luar sana yang berpenampilan parlente. Dia yang selalu memastikan Yoga makan dengan benar, dia yang mengurus Yoga ketika Yoga sakit. Namun, ketika Yoga sekarang menduakannya, tentu saja Lana tidak akan membiarkannya.
“Sayang, kamu ini sebenarnya kenapa sih? Aku lihat-lihat kamu ini beda dari kemarin. Kamu masih takut kalau aku selingkuh seperti di novel yang kamu baca?”
Ada keinginan besar di hati Lana untuk menghajar wajah tampan Yoga dengan kedua tangannya sendiri ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Yoga. Lana masih menahannya. Dia tak ingin aksinya itu justru membuat Yoga marah dan dia tak bisa mendapatkan uang lelaki itu.
“Mana ATM-nya?” tanya Lana tidak memedulikan Yoga, “aku tahu Mas juga punya simpanan uang. Biarkan aku yang pegang itu mulai sekarang.”
“Lana!” Yoga sedikit meninggikan suaranya. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. “Kamu ini kenapa?”
***
“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is
“Apa kamu bilang? Rumah tangga kita tidak baik-baik saja? Kalau kamu seperti ini terus, jelas rumah tangga kita akan berantakan!” Yoga mendesis sinis mendengar ucapan Lana yang baginya sudah kelewat batas.Alih-alih menanggapi, Lana justru melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sorry, Mas. Aku harus pergi. Masih ada klien yang harus aku temui hari ini. Kalau mau bahas rumah tangga, nanti aja kalau udah di rumah. Lagian, udah waktunya Mas balik ke kantor, ‘kan? Udah kelewat jam makan siang, lho, ini.”Barang-barang lana sudah dimasukkan ke dalam tas sepenuhnya dan dia siap untuk pergi. Namun, Yoga menahan tangan perempuan itu. “Berhentilah, Lana. Aku mohon!”Lana melepaskan cekalan tangan Yoga sedikit kasar, sembari memberikan tatapan penuh peringatan. “Aku baru mengawali, Mas. Terlalu cepat kalau aku harus mengakhiri.”Setelah mengatakan itu, Lana memilih pergi dari restoran tersebut meninggalkan Yoga yang sedikit mematung di tempatnya. Ketika kesadarannya kembali, lelaki itu
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga
“Setelah kamu memperburuk suasana, kamu masih berani mengatakan itu kepadaku? Kamu benar-benar tidak punya malu.” Yoga membentak Ratri dengan mata melotot. “Aku dulu mengatakan untuk menjelaskan kepada Lana agar aku bisa kembali sama dia. Lalu apa yang kamu lakukan!”Yoga tidak bisa menahan amarahnya yang sudah melambung begitu tinggi. Seharusnya dia bisa menggagalkan keputusan Lana seandainya Ratri tidak mengatakan dusta kepada perempuan itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Yoga. Kini semua benar-benar hancur. Sebelum ini, Yoga merasa semua ini memang pure kesalahannya, tetapi Ratri juga ikut andil memperkeruh keadaan.“Kenapa Mas menyalahkan aku?” Ratri balas membentak Yoga. “Kalau ada yang patut disalahkan dalam hubungan kita, itu adalah Mas sendiri. Kenapa Mas menjadi laki-laki mata keranjang, lalu melakukan sesuatu denganku.”“Karena kamu menggodaku! Kalau kamu tidak bersikap seperti gadis murahan, semua ini tidak akan terjadi.”“Apa kamu bilang, Mas? Aku seperti gadis mura
“Tadi Tirta datang ke sini.”Ibu Lana memberitahukan kepada putrinya tentang kedatangan Tirta ke rumah mereka karena sampai waktu yang ditunggu, Lana tidak kunjung pulang. Kaisar benar-benar mengajak pergi ke tempat-tempat yang dia mau seolah tidak ingin dibantah. Lana tentu saja menuruti dan merasa kalau harus mengganti waktunya yang terkadang habis untuk bekerja. Meskipun dia bekerja di rumah, dia juga harus bertemu dengan klien. Meninjau lokasi, serta membicarakan banyak hal tentang sebuah pembangunan yang akan dilakukan.“Lho. Kenapa, Bu?” tanya Lana tampak penasaran. “Dia nggak ada hubungi aku kalau memang ada pekerjaan yang harus aku kerjakan.”“Dia datang bukan untuk pekerjaan.” Sang ayah menimpali. “Dia, melamar kamu langsung kepada Ayah dan Ibu.”Sontak saja hal itu membuat Lana terkejut luar biasa. Matanya berkedip pelan, tetapi semua kata yang dimiliki seolah hilang tanpa bekas. Tirta sungguh serius ingin bersamanya. Setelah menembak langsung kepadanya, kini dia menunjukkan
“Ternyata benar, kamu punya hubungan dengan lelaki yang pernah aku temui waktu itu.”Tidak ada angin tidak ada hujan, Yoga tiba-tiba memberikan tuduhan kepada Lana. Lelaki itu bahkan baru saja datang ke kediaman orang tua Lana dengan alasan untuk bertemu dengan Kaisar.Lana yang akan masuk ke dalam mobilnya itu urung hanya untuk memberikan sedikit perhatian kepada Yoga. Lelaki itu sudah menatap sang mantan istri itu dengan tatapan menyelidik.“Siapa yang Mas maksud?” tanya Lana santai.“Yang di restoran saat itu.” Yoga segera menjawab dengan cepat.Lana bisa segera menangkap siapa yang dimaksud oleh Yoga. Namun, Lana harus menahan Yoga agar lelaki itu tidak ikut campur lagi dengan urusannya. Mereka sekarang tidak memiliki ikatan apa pun yang membuat Lana harus menjelaskan tentang semua itu.“Dia temanku.”“Dia bilang dia mencintaimu.” Yoga keceplosan. Sudah kepalang tanggung, Yoga tidak akan menarik lagi ucapannya.“Lalu kenapa kalau dia mencintaiku?” Lana bertanya datar. “Semua orang