“Mbak-nya yakin?”
Lana selesai mengatakan rencananya kepada perempuan paruh baya tersebut dan disambut dengan sedikit keterkejutan.
“Saya yakin, Bu. Ibu bisa bantu saya, ‘kan?” Lana berucap penuh harap. “Ibu yang ada di sini, saya nggak bisa kalau harus menunggu terus-menerus. Kasihan anak saya kalau saya tinggal terus, Bu.” Lana memohon. “Ibu pegang ini.” Lana mengeluarkan uang dari dalam tasnya kemudian memberikan kepada ibu tersebut. “Saya nggak minta banyak kok, Bu. Hanya yang saya bilang tadi saja.”
Lana sudah tidak bisa lagi membiarkan perasaannya diobrak-abrik oleh Yoga. Semakin dia memikirkan obrolan karyawan tadi, semakin dia yakin jika Yoga yang mereka maksud adalah Yoga suaminya.
“Baiklah kalau gitu, Mbak. Saya akan menyimpan nomor Mbak. Kita akan kerja sama mulai sekarang.” Sebut saja dia Ibu Titik, perempuan bertubuh tambun itu menyetujui. “Saya akan membantu Mbak Lana.”
Lana tersenyum lebar mendengar persetujuan Bu Titik. Kemudian memastikan sekali lagi kepada perempuan paruh baya tersebut untuk merahasiakan misi mereka. Lana tidak ingin aksinya ini diketahui oleh siapa pun. Dia ingin menangani semuanya sendiri. Urusan nanti bagaimana, itu urusan nanti. Namun, satu yang pasti. Dia tak akan memberi Yoga ampun.
Setelah ‘perjanjian’ dengan pemilik warung tenda itu selesai dilakukan, Lana pulang. Menjemput Kaisar di rumah temannya. Setidaknya dia sudah memiliki satu orang yang bisa membantunya untuk menelusuri sebuah kebenaran.
“Kamu dari mana sih, Lan?” tanya Wika sembari meletakkan potongan buah di atas meja, “tumbenan, lho titip Kaisar. Biasanya juga kalau ke mana-mana Kaisar selalu dibawa.”
Wika adalah teman seperjuangan Lana menyelesaikan pendidikan sarjananya. Mereka sudah dekat selama beberapa tahun belakangan ini dan menjadi teman dekat.
“Ada sedikit urusan tadi. Nggak bisa bawa Kaisar juga. Takut dia kecapekan, jadi dititip di kamu. Sorry, ya, kalau ngrepotin.”
Wika melambaikan tangannya. “Aku nggak masalah. Kaisar bocahnya nggak aneh-aneh. Anteng. Tadi main sama adiknya.” Adik yang dimaksud Wika adalah putrinya yang baru berusia satu tahun. “Mas Yoga lembur lagi, ya? Udah naik jabatan, pasti makin sibuk, ya.”
“Ya, sekarang sih sering banget lembur, Ka. Katanya banyak kerjaan setelah jadi kepala divisi.” Lana tidak ingin membuka masalah rumah tangganya kepada Wika meskipun mereka adalah teman baik. Sebisa mungkin, dia akan tetap menutup rapat-rapat urusan tersebut sampai dia bisa mencari jalan keluar.
“Tapi, Lan. Kamu juga harus hati-hati. Ingat, laki-laki tetaplah laki-laki. Kalau duit udah banyak, mata nggak mungkin nggak jelalatan.”
Ada gedoran tiba-tiba yang muncul di dalam hati Lana. Namun, dia menutupinya dengan candaan. “Kalau kamu, gimana ngatasi agar nggak was-was suamimu diambil orang?”
“Aku sadap chatnya.” Wika tersenyum puas. “Siniin hp kamu.”
Lana tidak pernah berekspektasi terlalu tinggi tentang hal tersebut. Dia sepertinya cukup gaptek untuk melakukan hal-hal seperti itu. Namun, dia tetap memberikan ponselnya kepada Wika.
“Kamu beneran bisa?” tanya Lana sedikit ragu.
“Tenang aja, aku pernah diajari oleh seseorang. Kamu nggak perlu khawatir, suamimu nggak akan tahu kalau chatnya kamu sadap.”
Lana bungkam. Apakah selama ini dia yang terlalu percaya dengan suaminya? Bahkan, Wika saja melakukan hal semacam ini untuk bisa melihat tabiat sang suami di luar sana. Sungguh, Lana tidak bisa berkata-kata dan hanya terus menatap ponselnya diotak-atik oleh Wika. Ada sebuah kelegaan yang tiba-tiba menggelembung di dalam hatinya. Semoga saja, dia bisa melihat semua kebusukan yang disembunyikan oleh Yoga selama ini.
“Ini.” Wika menyerahkan kembali ponsel Lana. “Kamu bisa mengintai suamimu diam-diam. Aku berharap hanya ada hal baik di sana.”
***
Mangga Muda : Mas, sepertinya malam minggu ini kita perlu menikmati waktu berdua. Hitung-hitung syukuran tempat baru.
Lana mengeratkan rahangnya kuat ketika membaca pop up chat yang berada di layar ponselnya. Nama yang tertera di kontak Yoga untuk perempuan itu cukup unik. Mangga muda katanya? Tentu saja mangga muda, karena memang gadis itu tampaknya memang masih sangat ranum-ranumnya.
[Bagaimana tempat barunya? Kamu cocok? Kalau dibandingkan yang kos kemarin, di tempat baru kita bisa bebas]
Itu adalah jawaban yang Yoga berikan untuk si Mangga Muda. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sakitnya perasaan Lana saat ini. Seperti kulit yang disobek, lalu dibuka, kemudian dikucuri jeruk nipis. Pedih yang tidak bisa dideskripsikan.
Mangga Muda : Cocok banget. Cuma, harganya yang lumayan ngos-ngosan.
[Masalah harga nggak usah dipikirkan. Lagian, kan, aku yang bayar]
“Lana!”
Lana hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika suara Yoga terdengar di telinganya. Buru-buru, dia mengubah ekspresi wajahnya dengan sebuah ketenangan meskipun tidak sepenuhnya berhasil.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanya Yoga tampak panik. Lelaki itu mendekati Lana yang tengah berdiri di depan lemari. Wajah Lana terlihat sedikit pucat dan seperti ada tumpukan masalah. Yoga juga menyempatkan menempelkan telapak tangannya di dahi Lana untuk mengecek suhu tubuh istrinya.
“Aku nggak papa.” Lana menjauhi Yoga. “Aku lagi kesal aja.” Perempuan berdaster coklat itu duduk di pinggiran ranjang. Tatapannya kini mengarah pada Yoga yang masih berdiri di tempatnya. “Aku lagi kesel sama salah satu tokoh novel. Lelaki tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia selingkuh di belakang istrinya.”
Yoga tersenyum kecil. Mungkin dia mengira kalau kata-kata Lana adalah sebuah lelucon. Ayah anak satu itu mengikuti istrinya duduk di pinggiran ranjang. Mengelus rambut halus Lana dengan penuh sayang.
“Jangan keseringan baca novel begituan. Jadi parno nanti.”
Lana mencoba menekan kemarahannya sampai di titik terendah. Meskipun dia tiba-tiba merasa jijik dengan sang suami, tetapi dia kali ini menahannya. Senyum kecil terbit di bibirnya. Menyandarkan punggungnya pada dada Yoga.
“Sekarang ini, marak sekali laki-laki yang nggak puas dengan istrinya, Mas.” Begitu kata Lana memancing. “Meskipun di rumah sudah ada istri sahnya, justru banyak dari para laki-laki itu yang mencari mangga muda.” Lana sengaja menekan kata mangga muda tersebut. “Mas, kalau semisal melakukan itu dan ketahuan, apa yang akan Mas lakukan?”
Lana menjauhkan tubuhnya dari Yoga agar bisa melihat ekspresi lelaki itu. Dia sudah bisa menebak bagaimana raut wajah Yoga sekarang. Lelaki itu tampak terkejut yang segera ditutupinya dengan senyuman.
“Aku nggak akan pernah lakukan itu ke kamu, Lana. Kamu bisa pegang kata-kataku.” Kali ini Yoga tampak serius. “Sudah, jangan bicarakan masalah perselingkuhan. Kamu kenal aku dan aku nggak akan melakukan tindakan tidak beradab seperti itu.” Yoga tampak meyakinkan membuat rasa hati Lana terasa teriris sembilu.
“Boleh aku pinjam hp-nya, Mas?” Lana tidak ingin membiarkan Yoga lari begitu saja.
“Untuk apa?” tanya Yoga dengan kening mengernyit. “Lan, jangan bilang hanya karena pikiran burukmu tentang banyak laki-laki selingkuh di luar sana, kamu juga mulai curiga sama aku!”
Yoga tampak tidak terima dan ini menunjukkan kejanggalan dari sikapnya selama ini kepada Lana. Biasanya, lelaki itu tidak begitu peduli dengan ponselnya seandainya Lana ingin mengeceknya. Sayangnya, Lana tidak pernah melakukannya.
***
“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan m
“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is