Lana menatap nota hotel itu berulang kali seperti dia baru saja melihat benda itu untuk pertama kalinya. Hari sudah malam, Kaisar sudah tertidur pulas di sampingnya, tetapi Yoga belum juga terlihat batang hidungnya. Lana mengira jika lelaki itu pasti tengah berada di kamar hotel bersama dengan perempuan yang dibawanya tadi.
Gigi Lana bergemeletuk mengingat perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami di belakangnya. Tidak pernah menyangka dia akan diperlakukan tidak adil oleh lelaki yang sudah memberinya satu anak tersebut.
Menatap jam di dinding kamar Kaisar, sudah pukul delapan malam. Perasaan Lana semakin tidak tenang dan emosi terasa menguap. Dia sudah menahan diri untuk tidak mengeluarkan amarahnya seharian ini karena tidak ingin membuat Kaisar bingung. Memutuskan untuk keluar dari kamar Kaisar setelah dia mengecup pipi putranya tersebut.
Hampir pukul sepuluh malam ketika Yoga masuk ke dalam rumah dengan ekspresi terkejut luar biasa. Lelaki itu tersenyum canggung.
“Sayang, maaf aku telat pulang.” Begitu katanya mendekati Lana.
Lana tidak menjawab dan mengarahkan tatapannya pada Yoga yang tampak lelah. Tidak juga bertanya kenapa suaminya itu baru pulang di jam ini. Lana tampak tenang, tetapi kepalanya seolah mengeluarkan asap amarah tak terbendung.
‘Tahan, Lana. Belum waktunya kamu bersuara,’ batinnya menyadarkan.
“Mas sudah makan?” tanya Lana mencoba menekan perasaannya sampai dasar.
“Sudah, Sayang. Aku ke kamar dulu, ya. Langsung istirahat.”
Tanpa menunggu Lana menjawab ucapannya, lelaki itu berlalu begitu saja meninggalkan sang istri yang tengah berdiri kaku di ruang keluarga. Lana terkekeh sinis, menertawakan dirinya sendiri. Meraba-raba tentang hidupnya yang tiba-tiba terasa tak berguna dan hancur.
Apa yang sebenarnya kurang darinya sampai sang suami berani mengambil cara kotor dengan mengkhianatinya? Selama ini dia merasa mampu menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Pakaian kantor Yoga selalu licin dan wangi, sarapan tidak penah telat, bahkan kalau lelaki itu menginginkan bekal makan siang, dia juga akan membawakannya.
Sayangnya, benar yang dikatakan oleh orang-orang di luar sana. Seorang lelaki yang memiliki banyak uang, dia seperti membutuhkan banyak wanita. Tidak peduli jika di rumah dia sudah memiliki istri sekalipun.
Memutuskan masuk ke kamar, Lana mendapati Yoga baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Senyum lelaki itu lagi-lagi merekah.
“Kamu nungguin aku lama ya, Sayang, tadi? Maaf, ya. Kerjaan di kantor sekarang lagi banyak-banyaknya. Jadi, mungkin aku juga akan banyak lembur kedepannya nanti.” Yoga memberikan penjelasan tanpa Lana meminta. “Naik jabatan sedikit aja, tanggung jawab juga udah bertambah.”
Yoga memang baru saja mendapatkan kenaikan jabatan menjadi kepala divisi di kantornya. Dia yang tadinya hanya karyawan biasa, pada akhirnya mendapatkan posisi yang menjanjikan. Mungkin karena itulah lelaki itu semakin banyak tingkah.
“Kalau memang lemburnya buat kerja, ya, aku doakan selalu lancar kerjaannya, Mas. Tapi, kalau lemburnya ngelakuin hal yang tidak-tidak, beda lagi ceritanya.” Lana santai ketika menjawab dan membuat Yoga terkejut seketika. Ekspresinya tampak gusar dan tidak tenang.
Lelaki itu tersenyum kecut berusaha menutupi kegugupannya. “Kamu ini ngomong apa sih, Lan. Tentu saja aku lembur untuk kerja. Aku bukan orang yang suka aneh-aneh. Aku kerja keras demi kehidupan kita lebih baik dan lebih baik lagi. Ingat ‘kan, kita punya mimpi-mimpi indah untuk hidup kita kedepannya.” Yoga mengelus rambat Lana dengan lembut sebelum berlalu dari hadapan perempuan itu untuk meletakkan handuk di sudut kamar.
Meskipun pernikahan Lana dan Yoga atas dasar perjodohan, kehidupan pernikahan mereka sama sekali tidak melalui drama yang menyakitkan. Mereka seolah bisa langsung jatuh cinta dan menerima satu sama lain. Namun, kali ini justru Yoga yang berpaling lebih dulu dari istri cantiknya.
“Ayo, tidur.” Yoga bergumam tanpa menatap ke arah Lana sebelum menutup matanya bersiap untuk menyelami alam mimpi.
Lana menarik napasnya panjang, alih-alih menyusul Yoga tidur, dia justru masuk ke dalam kamar mandi. Mengecek kemeja Yoga yang tadi dipakai dengan menciumnya. Sayangnya, dia tak menemukan wangi lain selain wangi parfum sang suami yang masih menempel.
Lana melemparkan kemeja itu ke dalam keranjang cucian kotor. Napasnya naik turun karena rasa kesal yang menyerbunya.
***
“Mas hari ini lembur lagi?” tanya Lana pagi ini setelah menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Kaisar juga sudah tampan duduk dengan tenang di kursinya menyantap nasi goreng buatan sang bunda.
“Sepertinya iya, Sayang. Kerjaan benar-benar numpuk.” Begitu katanya setelah menelan makanannya.
“Mau dibawakan makan siang nggak? Atau nanti aku kirim pakai ojek online?”
“Oh, nggak perlu, Sayang. Kalau masalah makan sih nggak perlu khawatir.”
Lana tidak lagi menjawab dan memilih bergabung untuk sarapan. Ini sudah genap satu minggu setelah Lana mendapati sang suami bersama dengan kekasih gelapnya di minimarket saat itu. Lana masih berpura-pura bodoh dan mencari lebih jauh lagi aksi sang suami di belakangnya. Dia membutuhkan bukti yang akurat untuk bisa membalas lelaki itu dan juga si pelakor. Aksinya tidak boleh terburu-buru.
Sore itu, Lana menitipkan Kaisar di rumah temannya. Dia harus mulai bergerak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh Yoga di kantor. Lana menunggu secara diam-diam di depan kantor lelaki itu saat waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Ada warung tenda tak jauh dari sana, dan Lana menyembunyikan dirinya di tempat itu.
“Sekarang, kayaknya Ratri sedang dekat dengan Pak Yoga, ya.”
Satu kalimat itu membuat Lana menajamkan pendengarannya. Mendengar nama Yoga disebut, tentu saja membuat Lana bersikap awas.
“Jangan buat omong. Pak Yoga sama kita-kita kan memang baik.” Suara lain menimpali. “Pak Yoga udah punya istri dan anak, jangan sampai ini jadi fitnah.”
Sepertinya keberuntungan tengah Lana dapatkan hari ini. Menunggu selama satu minggu untuk bisa bergerak, ternyata ada sedikit celah yang dia dapatkan untuk mengulik sedikit demi sedikit tentang tingkah Yoga di luar rumah terutama di kantor. Jika ada dugaan seperti itu, sudah pasti hubungan Yoga sudah terendus oleh orang lain.
Namun, Lana tidak boleh gegabah menyimpulkan jika Yoga yang orang-orang itu bicarakan adalah Yoga suaminya.
“Tapi beda kalau sama Ratri, kayak lebih gimana gitu. Coba deh sekali-kali kalian perhatikan cara mereka bekerja. Pokoknya ada yang aneh.”
Lana yang sejak tadi mendengarkan itu merasa yakin jika yang disebut oleh orang-orang itu adalah Yoga suaminya. Obrolan mereka memang tidak berlanjut setelah itu dan Lana tentu tidak bisa mendengarkan lebih banyak lagi tentang Yoga dan Ratri. Rasa penasaran tentu saja semakin meledak di dalam kepala Lana.
“Mbak!” Lana terkesiap ketika pemilik warung memanggilnya. “Mbak lagi nunggu seseorang, ya?” tanya perempuan paruh baya tersebut. Merasa aneh karena sejak tadi Lana hanya diam di sana dan hanya membeli sebotol air mineral.
Melihat perempuan itu, Lana tiba-tiba memiliki ide di kepalanya. Dia mengangguk sebelum berbicara serius dengan perempuan tersebut.
“Bu, saya butuh bantuan Ibu.”
***
“Mbak-nya yakin?”Lana selesai mengatakan rencananya kepada perempuan paruh baya tersebut dan disambut dengan sedikit keterkejutan.“Saya yakin, Bu. Ibu bisa bantu saya, ‘kan?” Lana berucap penuh harap. “Ibu yang ada di sini, saya nggak bisa kalau harus menunggu terus-menerus. Kasihan anak saya kalau saya tinggal terus, Bu.” Lana memohon. “Ibu pegang ini.” Lana mengeluarkan uang dari dalam tasnya kemudian memberikan kepada ibu tersebut. “Saya nggak minta banyak kok, Bu. Hanya yang saya bilang tadi saja.”Lana sudah tidak bisa lagi membiarkan perasaannya diobrak-abrik oleh Yoga. Semakin dia memikirkan obrolan karyawan tadi, semakin dia yakin jika Yoga yang mereka maksud adalah Yoga suaminya.“Baiklah kalau gitu, Mbak. Saya akan menyimpan nomor Mbak. Kita akan kerja sama mulai sekarang.” Sebut saja dia Ibu Titik, perempuan bertubuh tambun itu menyetujui. “Saya akan membantu Mbak Lana.”Lana tersenyum lebar mendengar persetujuan Bu Titik. Kemudian memastikan sekali lagi kepada perempuan
“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan m
“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“