“Aku menemukan cast receipt ini di saku kemeja kerjamu, Mas!” Lana meletakkan sebuah nota bertuliskan nama hotel beserta total nominal uang tercatat di nota tersebut di atas meja. Tepat di depan sang suami. Kamu bisa jelaskan untuk apa kamu menyewa kamar hotel sedangkan kamu pulang setiap hari?”
Yoga yang baru saja menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu segera terbatuk karena terkejut. Susah payah menelan makanannya, tetapi justru terasa tersangkut di tenggorokan. Buru-buru, Yoga mengambil minumannya dan menenggaknya sampai tandas hanya untuk mendorong makanannya agar bisa masuk ke dalam lambung. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa diselubungi balok besar dan buntu seketika.
Yoga menarik nota tersebut lalu membolak-balikkannya. Ekspresi wajahnya tampak suram dan salah tingkah. Lana menatap suaminya itu dengan tenang meskipun di dalam kepalanya dipenuhi dengan gelegak emosi. Dilihat dari gerak-gerik Yoga, lelaki itu sepertinya tengah mencari jawaban aman.
“Itu ….” Lantas Yoga menjawab. “Nota ini aku dapatkan dari acara meeting waktu itu, Sayang. Karena aku kelelahan, jadi aku memutuskan untuk pesan kamar.” Yoga tersenyum kaku berusaha menyembunyikan kebohongannya. Lelaki itu bahkan terus menghindari tatapan Lana yang mengarah lurus kepadanya.
Insting seorang istri tidak akan pernah salah. Meskipun Yoga mencoba untuk menyembunyikannya, pikiran buruk Lana sudah tidak bisa dicegah. Perempuan itu tidak membalas senyuman garing suaminya dan tetap menatap lelaki itu dengan tegas. Perasaannya terlalu peka untuk bisa meraba sebuah kebohongan yang dilemparkan kepadanya.
“Seberapa lelahnya sampai Mas harus pesan kamar di hotel? Dan di jam kerja? Perusahaan juga punya peraturan, kan, Mas?” Lana mencoba sabar ketika bertanya demikian. Dia bukan perempuan bodoh yang akan percaya begitu saja dengan penjelasan sang suami yang dia pikir tak masuk akal.
“Ya, capek banget, Lan. Aku ada meeting di beberapa tempat berbeda. Salah satunya di sebuah hotel. Jadi, aku pikir nggak masalah keluar uang untuk bisa istirahat di sana. Sesekali ‘kan nggak masalah. Itu nggak lama kok, Sayang. Sekitar satu atau dua jam sebelum lanjut meeting lagi.”
Suara Yoga terdengar bergetar karena tuntutan pertanyaan dari sang istri yang harus dia berikan jawabannya. Kali ini Yoga memberanikan diri membalas tatapan Lana meskipun jantungnya terasa ingin melompat keluar. Meletakkan nota tersebut di atas meja kembali, Yoga menarik tangan Lana.
“Lan, aku nggak bohong. Memang itulah kenyataannya. Kamu percaya sama aku, ‘kan?” Ketakutan Yoga terlihat dalam tatapan matanya. Tampaknya, lelaki itu tidak ingin kehilangan sang istri yang sudah memberinya satu orang anak laki-laki yang begitu disayanginya. “Kamu bisa tanya ke Rizki kalau memang nggak percaya. Dia ada sama aku waktu itu.” Yoga mencoba untuk meyakinkan sang istri atas masalah nota tersebut.
“Oh ....” Alih-alih ingin membombardir dengan banyak pertanyaan, Lana dengan mudah menunjukkan kepercayaannya. “Aku pikir, Mas melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Maaf, kalau begitu, Mas. Aku udah salah sangka.”
Yoga segera mengulas senyum lega dan kali ini menatap istrinya dengan lembut. “Kamu pantas curiga kok, Sayang. Tapi, kamu harus ingat, aku selalu mengatakan apa pun kepadamu dengan jujur.” Yoga menggenggam tangan Lana semakin erat seolah membuktikan jika dirinya mengatakan sesuatu yang benar.
“Ya, Mas, juga harus ingat. Aku ini selalu percaya dengan ucapan, Mas. Jangan sampai Mas mengkhianati kepercayaanku.”
“Nggak bakalan, Lana. Aku ini pasti setia sama kamu.”
Lana memilih mengangguk dan menyembunyikan keresahan di dalam hatinya seorang diri. Perempuan itu mengingat-ingat lagi bagaimana sikap sang suami akhir-akhir ini di rumah. Yoga selalu pulang tepat waktu, paling-paling jika telat pun tidak sampai tengah malam. Sikapnya kepada dirinya dan juga putranya pun tidak ada yang berubah. Entah Yoga yang terlalu pandai menyembunyikan perselingkuhannya, atau memang dia benar-benar tidak melakukannya.
Meskipun begitu, Lana tidak bisa tenang jika dia tak mengungkap masalah ini. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Bukti sudah ada di depan mata dan dia tak bisa hanya berpangku tangan dan membiarkan begitu saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia merasa kalau memang inilah cara Tuhan memberi tahu dirinya jika kehidupan rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja.
Hari-hari selanjutnya, kehidupan Lana dan Yoga tampak baik-baik saja meskipun ganjalan di hati Lana terasa begitu besar untuk sang suami. Dia tetap Lana biasanya, Lana yang akan selalu mengurus Yoga dengan baik selayaknya seorang istri mengurus suami. Urusan rumah pun tidak ada yang terbengkalai. Kaisar – putra pertamanya bersama Yoga yang kini berusia lima tahun pun cukup penurut. Tidak ada hal-hal yang membebani Lana kecuali tentang nota hotel tersebut.
“Bunda, aku mau es krim.” Kaisar mendongakkan kepalanya dari buku mewarnainya untuk sekedar menatap ibunya yang sejak tadi melamun.
Bocah lima tahun itu lantas beranjak dari karpet berbulu yang ada di atas lantai, lalu duduk di samping Lana. “Bunda, aku mau es krim,” ulangnya lagi karena Lana tak kunjung menjawab.
“Di minimarket depan aja, ya. Jangan jauh-jauh.” Lana mencoba bernego dengan sang putra karena cuaca di luar sangat panas. Kaisar tidak membantah dan justru mengangguk patuh sambil tersenyum lebar.
Lana bersyukur memiliki Kaisar di usianya yang masih cukup muda, 25 tahun. Dia menikah dengan Yoga saat baru saja lulus sekolah karena sebuah perjodohan. Dua tahun menjalani bahtera rumah tangga, dia dikarunia seorang putra tampan yang diberi nama Kaisar Rizalda. Bocah penurut yang sekarang sudah sekolah di bangku Paud.
Lana dan Kaisar meninggalkan rumah dengan motor bebek menuju minimarket tujuan mereka. Kaisar segera memilih es krim kesukaannya ketika tanpa sengaja, Lana mendengar suara lelaki yang sangat dikenalnya.
“Rasa apa saja, orang nggak dimakan aja kok.”
Lana mencari sumber suara dan ternyata ada dua sosok lelaki dan perempuan tengah berdiri di depan kasir. Jantung Lana terasa berdegup dengan kencang tahu apa yang sedang mereka pilih.
“Bunda ….” Lana menutup bibir Kaisar dengan telapak tangannya dan memberikan isyarat agar putranya tidak bersuara. Bocah itu mengerti sebelum mengangguk patuh.
Buru-buru, Lana menggendong putranya dan membawa bocah itu bersembunyi di balik rak display makanan ringan. Menatap pria yang sangat dikenalinya itu dari belakang.
“Beli banyak sekalian, ya, Mas buat jaga-jaga. Biar aku aja nanti yang simpan. Takutnya kalau Mas yang bawa ketahuan lagi sama Ibu Negara.” Suara perempuan di samping Yoga itu terdengar lembut syarat akan godaan. Bahkan dia tidak merasa malu berbicara seperti itu di depan kasir.
“Iya, suka-suka kamu aja. Aku mah, ikut aja.” Yoga dengan alami memeluk pinggang perempuan itu dengan lembut seolah tidak ada kecanggungan sama sekali.
Lana mengeratkan rahangnya kuat mendapati dua orang tersebut keluar dari minimarket tersebut. Lana semakin bersembunyi ketika melihat Yoga dan perempuan itu masuk ke dalam mobil. Mobil hitam milik Yoga pergi dari tempat itu diikuti oleh tatapan penuh luka istrinya.
“Berani sekali kamu, Mas,” ucap Lana dengan gigi bergemeletuk, “lihat saja apa yang bisa aku lakukan kepadamu!”
***
Lana menatap nota hotel itu berulang kali seperti dia baru saja melihat benda itu untuk pertama kalinya. Hari sudah malam, Kaisar sudah tertidur pulas di sampingnya, tetapi Yoga belum juga terlihat batang hidungnya. Lana mengira jika lelaki itu pasti tengah berada di kamar hotel bersama dengan perempuan yang dibawanya tadi.Gigi Lana bergemeletuk mengingat perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami di belakangnya. Tidak pernah menyangka dia akan diperlakukan tidak adil oleh lelaki yang sudah memberinya satu anak tersebut.Menatap jam di dinding kamar Kaisar, sudah pukul delapan malam. Perasaan Lana semakin tidak tenang dan emosi terasa menguap. Dia sudah menahan diri untuk tidak mengeluarkan amarahnya seharian ini karena tidak ingin membuat Kaisar bingung. Memutuskan untuk keluar dari kamar Kaisar setelah dia mengecup pipi putranya tersebut.Hampir pukul sepuluh malam ketika Yoga masuk ke dalam rumah dengan ekspresi terkejut luar biasa. Lelaki itu tersenyum canggung.“Sayang, maaf
“Mbak-nya yakin?”Lana selesai mengatakan rencananya kepada perempuan paruh baya tersebut dan disambut dengan sedikit keterkejutan.“Saya yakin, Bu. Ibu bisa bantu saya, ‘kan?” Lana berucap penuh harap. “Ibu yang ada di sini, saya nggak bisa kalau harus menunggu terus-menerus. Kasihan anak saya kalau saya tinggal terus, Bu.” Lana memohon. “Ibu pegang ini.” Lana mengeluarkan uang dari dalam tasnya kemudian memberikan kepada ibu tersebut. “Saya nggak minta banyak kok, Bu. Hanya yang saya bilang tadi saja.”Lana sudah tidak bisa lagi membiarkan perasaannya diobrak-abrik oleh Yoga. Semakin dia memikirkan obrolan karyawan tadi, semakin dia yakin jika Yoga yang mereka maksud adalah Yoga suaminya.“Baiklah kalau gitu, Mbak. Saya akan menyimpan nomor Mbak. Kita akan kerja sama mulai sekarang.” Sebut saja dia Ibu Titik, perempuan bertubuh tambun itu menyetujui. “Saya akan membantu Mbak Lana.”Lana tersenyum lebar mendengar persetujuan Bu Titik. Kemudian memastikan sekali lagi kepada perempuan
“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan m
“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-