Terlihat Clarissa berdiri di depan kamar Satya dengan tangan dilipat di depan dada.
"Selarut ini kamu berada di kamar Clara?" tanya Clarissa menyeranga saat Satya tiba di depan pintu kamar hotelnya.
"Aku membacakan buku cerita untuk Clara," sahut Satya tenang.
"Bukankah Clara punya Neny, yang bisa membacakan dia cerita," ujar Clarissa kesal.
"Clarissa! Aku sengaja mengajak Clara ke sini untuk bersenang-senang. Jadi, tidak mungkin jika seharian penuh aku biarkan dia hanya bermain dengan Hilya," terang Satya dengan suara meninggi.
"Apa aku salah memperhatikan Clara, keponakan aku sendiri?" tanya Satya kemudian.
"Tolong kamu mengerti! Clara butuh aku sebagai pengganti orang tuanya!" Satya terdengar menurunkan nada suaranya yang semula meninggi.
"Okey! Aku minta maaf!" sahut Clarissa dengan meraih tangan Satya dan menyandarkan tubuhnya di dada bidang laki-laki itu.
"Sekarang! Ayo aku antar kamu ke kamarmu!" kata Satya kemudian deng
Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga akhirnya meeting Satya dengan klien di hotel miliknya selesai."Tolong kamu urus Clarissa di kamarnya. Aku akan segera pulang menyusul Hilya," kata Satya lirih pada pria yang duduk di sebelahnya saat di ruang meeting."Iya," sahut laki-laki berkulit sawo matang itu sembari menutup laptop yang ada di hadapannya.Satya mulai melangkah keluar dari hotel megah berbintang miliknya, setelah acara meeting berakhir.Dia terlihat masuk ke dalam mobil mewah, yang dikemudikan oleh seorang sopir, dan mobil itu melaju cepat keluar dari area hotel.Sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya mobil itu sampai tujuan.Satya bergegas keluar dari mobil setelah sampai di depan rumah mewah milik orang tuanya. Laki-laki itu berlari masuk ke dalam rumah, dengan memanggil-manggil asisten rumah tangganya."Bibi! Bibi!" seru Satya dengan berjalan menuju koridor yang mengarah ke dapur.Terdengar suara tangis dari kamar Clar
Pagi itu di rumah Dokter Melvina, tampak Hilya sedang membantu Mbok Nah menyiapkan sarapan untuk keluarga."Mbak Hilya istirahat saja! Jangan terlalu capek!" kata wanita paruh bawa itu."Nggak papa, Mbok! Aku capek kalau harus istirahat terus," sahut Hilya."Ya sudah, kalau begitu tolong bantu Mbok Nah menata makanan ini di meja!""Siap, Mbok!" sahut Hilya sembari membawa makanan yang sudah selesai Mbok Nah plating ke meja makan.Terlihat dokter Melvina sudah berada di meja makan pagi itu."Selamat pagi Hilya!" sapa dokter Melvina sembari tersenyum ketika melihat Hilya menata makanan di meja."Selamat pagi dokter."Hilya tersenyum."Jangan terlalu capek, ya!" pesan dokter Melvina kemudian.Hilya terlihat mengangguk sembari tersenyum."O,
Dokter Candra mulai melontarkan pertanyaan kepada mamanya, saat Hilya sudah tidak berada di meja makan."Mama! Apa mama tidak salah? Hilya itu masih terlihat sangat muda. Terlihat seperti gadis yang belum menikah. Apa mama yakin dia sedang hamil?""Mama dulu juga mengira seperti itu. Mama pikir, dia gadis yang sengaja kabur dari rumah karena hamil, dan pacarnya tidak bertanggung jawab. Ternyata dugaan mama salah. Setelah dia menceritakan semuanya pada mama. Mama percaya kalau gadis itu tidak berbohong!" ucap dokter Melvina.Dalam percakapan mereka tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu."Sayang! Sepertinya ada tamu, mama lihat dulu ya!"Dokter Melvina berlahan bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan menuju ruang tamu.Sementara dokter Candra, tampak melangkah menuju dapur rumahnya."Mbok Nah! Tolong buatkan aku teh, ya!" ujar dokter Candra.Hilya yang saat itu tengah membereskan piring kotor di dapur, menoleh ke
Hari telah berganti. Kini, pagi telah menjelang. Terlihat Hilya sedang merawat tanaman yang ada di halaman rumah dokter melvina."Hilya! Jangan terlalu capek, ya!" kata Dokter Melvina, saat dia hendak berangkat ke rumah sakit.Hilya menoleh ke arah dokter Melvina sembari mengangguk."Dokter!" seru Hilya saat dokter Melvina hendak masuk ke dalam mobil."Iya. Ada apa?"Hilya bergegas meletakkan selang air yang dia pegang, sembari berjalan cepat menghampiri dokter Melvina."Bagaimana tentang pekerjaan baru saya, Dok?" tanya wanita cantik itu."Nanti, ibu tanyakan lagi ya. Sekarang kamu jaga kesehatan, yang banyak makan, terus jangan kecapean!"Hilya mengangguk sembari tersenyum, saat mendengar pesan dari dokter cantik yang selama ini telah menolongnya."Hmmmh!"Terde
Keesokan harinya. Hilya sudah bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya yang baru. Dan terlihat Dokter Candra juga sudah bersiap untuk mengantar wanita cantik itu.Kini Hilya mulai bekerja di sebuah lembaga pendidikan Islam milik Ustadz Ja'far, teman baik Dokter Candra.Ada 3 jenjang pendidikan di yayasan milik Ustadz Ja'far ini. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.Bukan hanya itu, di yayasan pendidikan ini, juga memiliki asrama yang diperuntukkan bagi siswa dan siswi Tsanawiyah dan Aliyah.Hilya menjadi guru kelas, serta guru mata pelajaran bahasa Arab dijenjang pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.Karena rajin dan gigih dalam bekerja, akhirnya Ustadz Ja'far menawarkan kepada Hilya untuk menjadi ustadzah pendamping dia asrama putri yayasan miliknya ini.Hilya akan mendapatkan gaji tambahan dan mess untuk tempat tinggal, jika dia berkenan menjadi ustadzah pendamping di asrama perempuan yayasan ini.Da
Pagi telah menjelang. Terlihat Hilya berjalan di koridor sekolah menuju kelas dimana dia akan mengajar."Hilya!" seru seorang laki-laki menghentikan langkahnya saat hendak memasuki pintu kelas.Hilya spontan menoleh."Assalamualaikum, Dokter!" sapa Hilya dengar tersenyum ke arah laki-laki yang hampir setiap hari mengunjunginya itu."Waalaikumus salam!" sahut Dokter Candra. "Aku ingin bicara sebentar, bisa kan?""Iya."Hilya mengangguk sembari mengikuti langkah dokter Candra yang berjalan menuju mobilnya.Terlihat dokter Candra membukakan pintu mobil untuk Hilya.Dengan rasa penasaran Hilya pun masuk ke dalam mobil itu."Ada apa ya, Dok?" tanya Hilya saat dokter Candra sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya."Hilya! Kamu perlu tahu, kalau aku dan mama benar-benar tulus, ingin menolongmu! Jadi, tolong katakan yang jujur kepada kami!""Maksud dokter?" Hilya mengernyitkan dahi."Hilya, jangan
Seharian ini, Satya tampak berkeliling di area lembaga pendidikan milik Ustadz Ja'far. Entah apa yang Satya lakukan. Namun terlihat Ustadz Ja'far sangat bahagia saat menemani laki-laki itu berkeliling melihat-lihat gedung sekolah miliknya.Hingga kemudian dia meminta ijin pada Ustadz Ja'far untuk bertemu dengan Hilya."O, iya. Ustadz! Boleh tidak saya bertemu dengan Ustadzah Hilya. Mmm, dulu dia pernah bekerja sebagai guru privat keponakan saya. Jadi, saya ingin menyapanya!" kata Satya."O, iya, tentu saja. Apa perlu saya panggil biar Ustadzah Hilya ke sini?"Ustadz Ja'far menawarkan pada Satya untuk memanggil Hilya ke kantornya."Tidak usah, biar saya cari dia ke kelasnya saja!""Oooh, iya. Boleh, silahkan! Sebentar lagi anak-anak istirahat kedua dan sholat dzuhur berjamaah, jadi bapak Satya bisa langsung bertemu dengan Ustadzah Hilya!""Iya, terima kasih!" sahut Satya.Sesaat setelah itu, Satya melangkah menuju kelas di mana
Clarissa terlihat bersandar lemas di tembok rumah itu, dengan air mata yang terus berlinang. "Maafkan aku!" kata Satya lirih dengan kembali menyentuh lengan wanita cantik itu. Seketika Clarissa menepis tangan Satya. "Katakan padaku? Seperti apa wanita yang sudah merebut kamu dariku?" Clarisa menegakkan kepalanya dan kembali menarik kerah baju Satya. "Selama ini. Kamu selalu memujiku, mengagumiku, mengatakan kalau aku adalah kebahagiaanmu! Katakan padaku! Siapa wanita itu?" teriak Clarissa lagi. "Apa yang membuat kamu, lebih memilih dia dari pada aku?" pekik Clarissa. "Apa dia lebih baik dari aku?" tanya Clarissa dengan semakin kuat menarik kerah baju Satya hingga kancing baju Satya berjatuhan. "Iya," sahut Satya lirih dengan menatap sendu mata Clarissa. "Apa?" tanya Clarissa lagi meyakinkan dirinya dengan jawaban Satya yang baru saja dia dengar. "Iya," sahut Satya dengan jawaban yang sama. Seketi
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me