Keesokan harinya. Hilya sudah bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya yang baru. Dan terlihat Dokter Candra juga sudah bersiap untuk mengantar wanita cantik itu.
Kini Hilya mulai bekerja di sebuah lembaga pendidikan Islam milik Ustadz Ja'far, teman baik Dokter Candra.
Ada 3 jenjang pendidikan di yayasan milik Ustadz Ja'far ini. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Bukan hanya itu, di yayasan pendidikan ini, juga memiliki asrama yang diperuntukkan bagi siswa dan siswi Tsanawiyah dan Aliyah.
Hilya menjadi guru kelas, serta guru mata pelajaran bahasa Arab dijenjang pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.
Karena rajin dan gigih dalam bekerja, akhirnya Ustadz Ja'far menawarkan kepada Hilya untuk menjadi ustadzah pendamping dia asrama putri yayasan miliknya ini.
Hilya akan mendapatkan gaji tambahan dan mess untuk tempat tinggal, jika dia berkenan menjadi ustadzah pendamping di asrama perempuan yayasan ini.
Da
Pagi telah menjelang. Terlihat Hilya berjalan di koridor sekolah menuju kelas dimana dia akan mengajar."Hilya!" seru seorang laki-laki menghentikan langkahnya saat hendak memasuki pintu kelas.Hilya spontan menoleh."Assalamualaikum, Dokter!" sapa Hilya dengar tersenyum ke arah laki-laki yang hampir setiap hari mengunjunginya itu."Waalaikumus salam!" sahut Dokter Candra. "Aku ingin bicara sebentar, bisa kan?""Iya."Hilya mengangguk sembari mengikuti langkah dokter Candra yang berjalan menuju mobilnya.Terlihat dokter Candra membukakan pintu mobil untuk Hilya.Dengan rasa penasaran Hilya pun masuk ke dalam mobil itu."Ada apa ya, Dok?" tanya Hilya saat dokter Candra sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya."Hilya! Kamu perlu tahu, kalau aku dan mama benar-benar tulus, ingin menolongmu! Jadi, tolong katakan yang jujur kepada kami!""Maksud dokter?" Hilya mengernyitkan dahi."Hilya, jangan
Seharian ini, Satya tampak berkeliling di area lembaga pendidikan milik Ustadz Ja'far. Entah apa yang Satya lakukan. Namun terlihat Ustadz Ja'far sangat bahagia saat menemani laki-laki itu berkeliling melihat-lihat gedung sekolah miliknya.Hingga kemudian dia meminta ijin pada Ustadz Ja'far untuk bertemu dengan Hilya."O, iya. Ustadz! Boleh tidak saya bertemu dengan Ustadzah Hilya. Mmm, dulu dia pernah bekerja sebagai guru privat keponakan saya. Jadi, saya ingin menyapanya!" kata Satya."O, iya, tentu saja. Apa perlu saya panggil biar Ustadzah Hilya ke sini?"Ustadz Ja'far menawarkan pada Satya untuk memanggil Hilya ke kantornya."Tidak usah, biar saya cari dia ke kelasnya saja!""Oooh, iya. Boleh, silahkan! Sebentar lagi anak-anak istirahat kedua dan sholat dzuhur berjamaah, jadi bapak Satya bisa langsung bertemu dengan Ustadzah Hilya!""Iya, terima kasih!" sahut Satya.Sesaat setelah itu, Satya melangkah menuju kelas di mana
Clarissa terlihat bersandar lemas di tembok rumah itu, dengan air mata yang terus berlinang. "Maafkan aku!" kata Satya lirih dengan kembali menyentuh lengan wanita cantik itu. Seketika Clarissa menepis tangan Satya. "Katakan padaku? Seperti apa wanita yang sudah merebut kamu dariku?" Clarisa menegakkan kepalanya dan kembali menarik kerah baju Satya. "Selama ini. Kamu selalu memujiku, mengagumiku, mengatakan kalau aku adalah kebahagiaanmu! Katakan padaku! Siapa wanita itu?" teriak Clarissa lagi. "Apa yang membuat kamu, lebih memilih dia dari pada aku?" pekik Clarissa. "Apa dia lebih baik dari aku?" tanya Clarissa dengan semakin kuat menarik kerah baju Satya hingga kancing baju Satya berjatuhan. "Iya," sahut Satya lirih dengan menatap sendu mata Clarissa. "Apa?" tanya Clarissa lagi meyakinkan dirinya dengan jawaban Satya yang baru saja dia dengar. "Iya," sahut Satya dengan jawaban yang sama. Seketi
Sore telah menjelang. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu telah selesai.Setelah membereskan lembar kerja murid-muridnya, Hilya bergegas keluar dari kelas.Dia berjalan menyusuri ruang-ruang kelas menuju kantor sekolah.Di tengah perjalanan, Ustadzah Naila memanggilnya."Ustadzah! Tunggu!"Ustadzah Naila menghampiri Hilya dan menjejeri langkahnya."Ustadzah, terima kasih ya! Aku nggak nyangka, pak direktur benar-benar perhatian, membawakan aku makanan dan buket buah juga," kata Ustadzah Naila.Hilya tersenyum tipis mendengar uangkapan bahagia sahabatnya. Meski sebenarnya ada rasa bersalah di hati Hilya, karena sudah berbohong dengan mengatakan kalau buket buah dan makanan itu adalah hadiah dari Pak Direktur untuk Ustadzah Naila yang dititipkan padanya.Ditengah keasyikan Ustadzah Naila bercerita tentang kebahagiaannya. Tiba-tiba Pak Direktur Satya berdiri di hadapan mereka berdua."Assalamualaikum, Ustadzah!" sapa S
Keesokan paginya, mobil Satya sudah terparkir di halaman gedung sekolah tempat Hilya mengajar.Satya mengurungkan niatnya untuk keluar dari dalam mobil, ketika sebuah mini bus warna hitam berhenti, dan parkir di sebelah mobil mewahnya.Terlihat seorang laki-laki berkemeja hijau, keluar dari dalam mobil.Dia adalah Ustadz Imran. Dia tampak bercermin di jendela kaca mobilnya, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Saat Ustadz Imran masih berdiri di samping mobilnya. Tiba-tiba Satya membuka pintu mobil, dan menghempaskan pintu itu dengan keras hingga mengenai tubuh Ustadz Imran."Astaghfirullah!"Ustadz Imran terkejut."Maaf! Aku tidak sengaja!" kata Satya pura-pura tidak sengaja melakukannya."Mmm, tidak apa-apa!" sahut Ustadz Imran dengan tersenyum."O, iya. Kenalkan! Aku Satya. Donatur yang sedang menyelesaikan pembangunan gedung baru di sekolah ini!" kata Satya dengan menjulurkan tangannya untuk bersalaman."Iya."Ustadz Imran langsung menjabat tangan Satya dengan mengangguk."
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Ibu Diana sudah duduk rapi di meja makan.Satya yang baru turun dari lantai dua rumahnya, segera menghampiri wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu."Selamat pagi, Ma!" sapanya dengan mencium pipi mamanya.Pagi ini Satya terlihat berpenampilan casual dengan celana jeans dan sweater panjang yang lengannya dia tarik ke atas hingga mendekati siku.Laki-laki itu tampak duduk di hadapan mamanya dengan menyendok nasi dan sayuran untuk dia makan."Hari ini mama akan ke rumah sakit lagi! Mama harap, kamu bisa menemani mama ke sana!""Maaf, Ma! Pagi ini aku sudah janji pada Clara, akan mengantarnya jalan-jalan ke toko buku.""Satya!"Ibu Diana menatap Satya kesal."Mama akan tunggu!" timpal Ibu Diana."Setelah mengantar Clara. Satya ada janji dengan klien," sahut Satya."Ini hari minggu! Apa tidak ada hari lain untuk bertemu dengan klien?""Sudah terlanjur janji.""Hmmmh!"Ibu Diana membuang napas kesal."Kenapa kamu berubah menjadi jahat pada Clar
"Lepas!"Hilya berusaha menggerakkan tangannya untuk melepaskan cengkraman kuat tangan Satya."Aku sudah cukup bersabar dengan sikap angkuh, kamu! Dan sekarang aku tidak akan melepaskanmu!" kata Satya kesal."Kamu mau apa?" tanya Hilya dengan membalikkan badan, dan mendongakkan wajahnya melihat ke arah Satya."Sudah cukup kamu menyiksa aku seperti ini!" tegas Satya. "Berhenti menolak diriku! Berhenti bersikap angkuh padaku! Berhenti mengacuhkanku! Sekarang juga ikut aku!" kata Satya dengan menarik lengan Hilya."Aku tidak mau! Lepas!" pekik Hilya dengan berusaha melepaskan tangan kuat Satya yang menarik lengannya hingga terasa sakit.Dengan mengerahkan semua tenaganya, akhirnya Hilya dapat melepaskan cengkraman tangan kuat Satya itu. Dan, Satya kembali menarik tangan Hilya yang hendak berlari meninggalkannya."Mau kemana kamu? Aku tidak akan melepaskanmu!"Satya terlihat geram."Dengar ya Hilya! Aku benar-benar tidak habis pikir dengan sikapmu. Kamu bisa bersikap ramah pada laki-laki
Satya masih tampak berlutut di ujung kaki Ibu Diana.Ibu Diana masih bergeming dan terisak tangis."Keluarga pasien Hilya!" panggil seorang perawat rumah sakit.Seketika Satya bangkit dan menoleh ke arah suara itu."Saya suaminya!" kata Satya dengan menghampiri perawat perempuan itu."Pasien Hilya masih kritis. Dia kehabisan darah yang cukup banyak. Kita sudah melakukan donor darah, dan persediaan darah di bank darah, tidak mencukupi. Tolong! Mungkin ada keluarga atau sanak saudara yang memiliki golongan darah sama, dan bisa mendonorkan!" kata perawat itu.Terlihat kemudian, perawat itu menjelaskan tentang golongan darah Hilya di depan Satya dan Ibu Diana.Setelah perawat itu pergi. Satya mulai menoleh ke arah mamanya."Ma, tolong Hilya dan anakku, Ma!" kata laki-laki itu dengan mengatupkan kedua tangan.Ibu Diana yang masih diselimuti rasa kesal dan kesedihan segera meraih handphone dari dalam tas kecilnya, dan mulai menghubungi entah siapa untuk meminta pertolongan donor darah.Seme