Satya masih tampak berlutut di ujung kaki Ibu Diana.Ibu Diana masih bergeming dan terisak tangis."Keluarga pasien Hilya!" panggil seorang perawat rumah sakit.Seketika Satya bangkit dan menoleh ke arah suara itu."Saya suaminya!" kata Satya dengan menghampiri perawat perempuan itu."Pasien Hilya masih kritis. Dia kehabisan darah yang cukup banyak. Kita sudah melakukan donor darah, dan persediaan darah di bank darah, tidak mencukupi. Tolong! Mungkin ada keluarga atau sanak saudara yang memiliki golongan darah sama, dan bisa mendonorkan!" kata perawat itu.Terlihat kemudian, perawat itu menjelaskan tentang golongan darah Hilya di depan Satya dan Ibu Diana.Setelah perawat itu pergi. Satya mulai menoleh ke arah mamanya."Ma, tolong Hilya dan anakku, Ma!" kata laki-laki itu dengan mengatupkan kedua tangan.Ibu Diana yang masih diselimuti rasa kesal dan kesedihan segera meraih handphone dari dalam tas kecilnya, dan mulai menghubungi entah siapa untuk meminta pertolongan donor darah.Seme
Setelah kepergian Dirga dari kamarnya, Satya kembali memikirkan kata-kata Dirga. Timbul pertanyaan di benaknya, mungkinkan dokter Candra akan mempengaruhi Hilya untuk menuntut dirinya.Ada perasaan cemas di pikirannya, kalau-kalau dokter Candra benar-benar akan melakukan hal itu."Hmmmh!"Terdengar dia membuang napas kuat, dan kemudian menepis perasaannya itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.Kakinya mulai melangkah mendekat ke arah tempat tidur Hilya. Dengan perasaan kacau, dia memandangi wanita yang terkulai lemas di atas bed rumah sakit karena keegoisannya itu.Ada rasa bersalah di hatinya. Apalagi saat ini, wanita itu tengah mengandung anaknya.Namun tiba-tiba di tengah kegundahannya, seorang wanita dengan selang infus di tangan masuk ke dalam kamar itu mengejutkan dirinya."Clarissa? Kenapa kamu ada sini?" tanyanya kaget, saat melihat mantan tunangannya tiba-tiba berdiri di belakangnya."Sayang! Aku tahu kamu adalah laki-laki yang baik! Aku tahu kamu memutuskan hubungan kita
Sore ini, Satya sudah berada di kamar Hilya. Hilya masih juga belum terjaga dari tidurnya.Perasaan Satya mulai cemas, karena sudah hampir dua hari Hilya belum juga terjaga.Dreeet! Terasa handphone di saku jasnya bergetar. Satya segera mengangkat handphone tersebut."Aku dan orang tua Hilya sudah berada di depan kamar," kata Dirga pada laki-laki itu.Tidak lama setelah menutup telepon.Ceklek!Suara pintu dibuka."Assalamualaikum!"Dirga membawa seorang perempuan berbaju syar'i warna hijau dengan balutan kerudung dengan warna senada, bersama seorang laki-laki tua mengenakan baju koko dan sarung serta kopiyah warna putih di kepalanya."Waalaikum salam!" jawab Satya. "Ummi, Abah! Mari masuk!"Satya bergegas menghampiri sepasang suami istri itu, sembari mencium tangannya."Jangan cemas ya, Nak! Wanita hamil itu, keluar masuk rumah sakit sudah biasa. Dulu waktu ummi hamil Hilya, ummi juga sakit selama berhari-hari!" kata seorang wanita cantik yang kurang lebih berusia 45 tahun itu, menc
Sudah lima hari Hilya berada di rumah sakit, ditemani oleh ibunya. Satya menjaga dan merawat Hilya dengan baik saat di rumah sakit.Kini dokter sudah mengijinkan Hilya untuk pulang.Dengan suka cita Satya membawa Hilya pulang ke rumahnya, bersama ayah mertua dan ibu mertua juga."Abah tidak salah kan, Mi? Memilihkan jodoh untuk putri kita. Menantu kita benar-benar orang kaya!" ujar Haji Abdul Ghofur dengan wajah sangat bahagia ketika sampai di depan rumah Satya.Tampak laki-laki tua itu memperhatikan sekeliling rumah menantunya dengan takjub."Masya Allah! Kaya sekali ya, Bah, Nak Satya!" sahut Hajjah Halimah dengan melihat sekeliling rumah Satya dari dalam mobil mewah yang mereka naiki.Tidak lama kemudian mereka keluar dari dalam mobil.Hilya yang mengendarai mobil berbeda dengan orang tuanya, keluar dari mobil terlebih dahulu."Abah bangga punya menantu kamu, Nak! Kamu benar-benar kaya!"Terlihat Haji Abdul Ghofur menghampiri Satya dan menepuk-nupuk pundak menantunya dengan rasa ba
Satya terlihat gelisah saat berada di dalam mobil. Sesekali Dian menghela napas panjang dan mengusap-usap kepalanya. Sepertinya, kata-kata mamanya yang baru saja dia dengar sangat mempengaruhi pikirannya. Namun sekalipun demikian, dia mencoba sejenak menepis kekalutannya, untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan yang ada di kantor.Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga delapan jam telah berlalu.Tepat jam lima sore. Mobil Satya sudah berada di halaman rumahnya.Satya bergegas masuk ke dalam rumah dan berjalan cepat masuk ke dalam kamar.Sepertinya laki-laki itu terburu-buru untuk segera menemui Hilya.Ketika hendak masuk ke dalam kamar, Satya melihat mamanya sedang berada di dalam kamar itu, dan berbicara dengan istrinya.Satya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar, dia memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan mama dan istrinya dari luar kamar. Hingga selang beberapa menit kemudian mamanya dan Hilya mengakhiri pembicaraan itu."Satya!"Ibu Diana terperanjat saat membuka pintu da
Hari itu telah berganti, kini pagi menjelang. Hilya sudah bersiap untuk meninggalkan rumah laki-laki yang telah menikahinya beberapa bulan yang lalu.Di dalam kamar, Hilya sudah bersiap untuk membawa barang-barangnya keluar.Tok tok tok!Terdengar suara seseorang mengetuk pintu.Ceklek!Terlihat seorang gadis kecil masuk ke dalam kamar yang ditempati Hilya.Tiba-tiba gadis kecil itu berlari ke arah Hilya yang saat itu hendak mengangkat barang-barangnya."Aku tidak ingin kakak pergi!" kata gadis itu dengan memeluk erat tubuh Hilya. "Oma bilang kakak sedang sakit, dan aku tidak boleh menemui kakak! Aku mematuhi perintah Oma, meski aku sangat rindu kakak," lanjut gadis kecil itu."Tapi saat aku dengar hari ini kakak mau pergi, aku ingin segera bertemu dengan kakak. Aku sedih! Aku tidak ingin kakak pergi!" ungkapnya. "Kakak belum pernah bermain bersamaku meski pun kakak ada di rumah ini. Kakak juga belum pernah membantuku belajar. Lalu, kenapa kakak sudah mau pergi?"Gadis kecil itu terli
Kini orang tua Hilya telah meninggalkan rumah keluarga Agung Wijaya. Sementara Hilya tetap berada di rumah itu. Entah apa alasan Hilya untuk tetap berada di rumah itu, mungkinkah karena rasa cinta pada Satya, ataukah hanya sekedar mempertahankan pernikahan demi anak yang ada dalam kandungannya.Dua hari telah berlalu. Malam ini di rumah ibu Diana, terlihat Clarissa dengan membawa koper masuk ke dalam rumah itu.Hilya yang saat itu tidak sengaja melihat Clarissa penuh tanda tanya di lama hati, apalagi saat mendengar percakapan wanita itu dengan Ibu Diana."Mama! Kenapa wanita itu masih ada di sini?" tanya Clarissa yang melihat Hilya baru turun dari lantai dua kamarnya."Duduklah dulu! Nanti mama jelaskan," sahut Ibu Diana dengan meminta Clarissa duduk di sampingnya saat berada di meja makan.Hilya yang saat itu hendak bergabung di meja makan bersama mereka mengurungkan niatnya. Hilya bergegas melangkah menuju dapur, dan pura-pura mengambil minuman di dalam kulkas yang ada di dapur.Ter
Kini pagi telah menjelang. Setelah berpakaian rapi Satya bergegas keluar dari kamarnya, dia terlihat menuju kamar Ibu Diana.Ceklek!Satya membuka pintu kamar yang tidak dikunci tersebut."Ada apa?" tanya wanita yang masih duduk di depan meja riasnya tersebut, saat melihat putranya masuk ke dalam kamar."Ma! Aku merasa tidak nyaman Clarissa berada di rumah ini. Tolong suruh dia pergi!" kata Satya."Satya! Mama yang meminta Clarissa untuk tinggal di rumah ini sampai orang tuanya datang. Jadi, mana mungkin mama menyuruh dia pergi!" sahut Ibu Diana. "Lagi pula, mama memang sengaja meminta Clarissa untuk tinggal di rumah ini, karena mama ingin menyadarkan kamu. Kalau kamu tidak pernah mencintai Hilya," kata Ibu Diana."Mama!" Satya menekan suaranya. "Tindakan Mama ini bisa melukai perasaan Hilya!" sahut Satya. "Dan Mama, juga bisa semakin melukai hati Clarissa," tambahnya. "Kerena, aku sama sekali sudah tidak menginginkan Clarissa.""Tidak menginginkan? Bukan berarti tidak mencintai, kan?
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me