Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Hilya mulai menunduk saat Abahnya meninggikan suara. Abah Hilya, Haji Abdul Ghofur sangat marah ketika Hilya bersikukuh menolak perjodohan yang telah dia putuskan."Wanita itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula apa sih yang kamu cari? Uang Abah banyak, nggak mungkin habis kamu gunakan sampai tujuh turunan. Kamu nggak perlu kerja, jadi untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, ijazah S1 kamu itu sudah cukup, nggak perlu kamu kuliah S2, S3, atau kuliah apalah itu namanya," ucap Haji Abdul Ghofur menyeranga. "Abah dan ummi sudah cukup menyekolahkan kamu, sekarang kewajiban Abah dan ummi adalah menikahkan kamu, jadi kamu tidak boleh menentang keputusan Abah!" putus Haji Abdul Ghofur seraya beranjak dari kursi yang semula dia duduki, meninggalkan Hilya dan umminya.Terlihat Hajjah Halimah, ibunda Hilya yang biasa dia panggil ummi, mengelus-elus kepala Hilya yang dibalut oleh kerudung syar'i warna coklat muda."Abahmu be
Waktu terus berjalan, satu minggu sudah Hilya berada di rumahnya, dan lima hari lagi adalah hari pernikahannya.Tampak kesibukan di tengah-tengah rumah keluarga Hilya, rumah termewah yang ada di Desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat Hilya dilahirkan.Semilirnya angin sore hari di Desa Kemuning menjadikan saksi kegundahan hati Hilya. Gadis cantik itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kekecewaan, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga."Hilya! Ada telepon!" seru Hajjah Halimah dengan membawa telepon genggam milik Hilya yang tergeletak di meja ruang keluarga.Hilya yang saat itu berdiri di samping jendela kamarnya seketika keluar menuju suara yang memanggilnya.Hilya segera meraih telepon dari tangan umminya dan mengangkat telepon tersebut."Assalamualaikum ustadz!"Berlahan
Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur."Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya."Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya."Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum."Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.