Hilya mulai menunduk saat Abahnya meninggikan suara. Abah Hilya, Haji Abdul Ghofur sangat marah ketika Hilya bersikukuh menolak perjodohan yang telah dia putuskan."Wanita itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula apa sih yang kamu cari? Uang Abah banyak, nggak mungkin habis kamu gunakan sampai tujuh turunan. Kamu nggak perlu kerja, jadi untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, ijazah S1 kamu itu sudah cukup, nggak perlu kamu kuliah S2, S3, atau kuliah apalah itu namanya," ucap Haji Abdul Ghofur menyeranga. "Abah dan ummi sudah cukup menyekolahkan kamu, sekarang kewajiban Abah dan ummi adalah menikahkan kamu, jadi kamu tidak boleh menentang keputusan Abah!" putus Haji Abdul Ghofur seraya beranjak dari kursi yang semula dia duduki, meninggalkan Hilya dan umminya.Terlihat Hajjah Halimah, ibunda Hilya yang biasa dia panggil ummi, mengelus-elus kepala Hilya yang dibalut oleh kerudung syar'i warna coklat muda."Abahmu be
Waktu terus berjalan, satu minggu sudah Hilya berada di rumahnya, dan lima hari lagi adalah hari pernikahannya.Tampak kesibukan di tengah-tengah rumah keluarga Hilya, rumah termewah yang ada di Desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat Hilya dilahirkan.Semilirnya angin sore hari di Desa Kemuning menjadikan saksi kegundahan hati Hilya. Gadis cantik itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kekecewaan, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga."Hilya! Ada telepon!" seru Hajjah Halimah dengan membawa telepon genggam milik Hilya yang tergeletak di meja ruang keluarga.Hilya yang saat itu berdiri di samping jendela kamarnya seketika keluar menuju suara yang memanggilnya.Hilya segera meraih telepon dari tangan umminya dan mengangkat telepon tersebut."Assalamualaikum ustadz!"Berlahan
Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur."Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya."Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya."Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum."Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.
Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya."Kenapa berhenti?""Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya."Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga."Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga."Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu."Sana ikuti gadis itu unt
Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga akhirnya sampailah acara pernikahan Satya dan Hilya.Acara pernikahan itu digelar dengan sangat mewah dan meriah di rumah orang tua Hilya, Haji Abdul Ghofur.Dirga beserta rombongan yang kurang lebih sebanyak lima puluh orang, datang ke acara pernikahan itu sebagai keluarga Satya.Acara pun berjalan dengan hikmad, meski pernikahan itu hanya sandiwara bagi Satya, namun Satya mengucapkan Ijab Kabul dengan sempurna, dan Hilya seorang gadis yang dia nikahi, benar-benar menganggap pria itu ikhlas menikahinya.Hilya yang saat itu dibalut kerudung dan baju pengantin warna putih tampak mencium tangan Satya setelah semua saksi mengatakan shah. Dan kini mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri.Setelah acara pernikahan, Dirga yang mengaku sebagai keluarga terdekat Satya, meminta izin kepada orang tua Hilya untuk membawa Hilya ikut bersama mereka.Enta
Satya berjalan menyusuri koridor hotel, hingga sampai di depan pintu kamar bernomor 102. Satya terlihat mulai menggedor-gedor pintu tersebut."Cepat buka pintunya!" teriak Satya dengan suara lantang."Ada apa?" tanya seorang laki-laki berwajah lesu yang sepertinya baru bangun tidur itu.Dengan wajah memerah Satya masuk ke dalam kamar laki-laki yang baru membuka pintu itu."Brengsek!!!" Maki Satya dengan melempar handphone yang ada ditangannya ke tempat tidur."Ada apa ini?" tanya laki-laki itu seraya mengambil handphone tersebut. "Handphone siapa ini?" tanyanya lagi."Kamu tau, gadis desa yang kamu bilang lugu dan bodoh itu! Dia adalah gadis yang sangat pintar!"Satya mengatakan hal itu dengan menunjuk muka laki-laki yang berdiri di hadapannya, yang tidak lain adalah Dirga."Maksud kamu?" tanya Dirga bingung."Mana berkas-berkas pernikahanku?" tanya Satya sembari memeriksa laci yang ada di samping tempat tidur Dirga.
Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu."Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang kebingungan."Handphoneku hilang," kata Hilya."Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar."Kenapa?"Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya."Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."Hilya bergeming mendengar jawaban Satya."Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," kata Satya kemudian."Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan berlahan duduk di ranjang tidurnya."O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini.""Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah."Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."
Satu hari telah berlalu, Hilya masih berada di dalam ruangan berukuran 35 meter persegi itu sendirian, sebuah ruangan yang sengaja Satya kunci dari luar.Hilya menunduk cemas, wajahnya tampak gelisah, ada rasa takut di hatinya, ketika dia harus sendirian berada dalam ruangan itu selama berjam-jam. Terbersit keinginan untuk menghubungi Satya, namun dia tidak bisa melakukannya, karena handphone miliknya pun telah disimpan oleh laki-laki itu."Kreek!!"Tiba-tiba suara pintu terbuka. Hilya segera bangkit dan menoleh ke arah pintu tersebut. Berharap Satya yang datang dan mengusir rasa ketakutan yang sedang dia hadapi."Mas Dirga? Mana suamiku?" tanya Hilya penuh harap dengan mata menyelidik ke luar pintu."Suamimu sibuk, dia ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan," sahut Dirga. "O iya, ini aku bawakan makanan, suamimu berpesan kamu harus banyak makan," lanjut Dirga dengan menyerahkan makanan itu pada Hilya."Ini dari suamiku?" tanya Hilya saa