Satya berjalan menyusuri koridor hotel, hingga sampai di depan pintu kamar bernomor 102. Satya terlihat mulai menggedor-gedor pintu tersebut.
"Cepat buka pintunya!" teriak Satya dengan suara lantang.
"Ada apa?" tanya seorang laki-laki berwajah lesu yang sepertinya baru bangun tidur itu.
Dengan wajah memerah Satya masuk ke dalam kamar laki-laki yang baru membuka pintu itu.
"Brengsek!!!" Maki Satya dengan melempar handphone yang ada ditangannya ke tempat tidur.
"Ada apa ini?" tanya laki-laki itu seraya mengambil handphone tersebut. "Handphone siapa ini?" tanyanya lagi.
"Kamu tau, gadis desa yang kamu bilang lugu dan bodoh itu! Dia adalah gadis yang sangat pintar!"
Satya mengatakan hal itu dengan menunjuk muka laki-laki yang berdiri di hadapannya, yang tidak lain adalah Dirga.
"Maksud kamu?" tanya Dirga bingung.
"Mana berkas-berkas pernikahanku?" tanya Satya sembari memeriksa laci yang ada di samping tempat tidur Dirga.
Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu."Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang kebingungan."Handphoneku hilang," kata Hilya."Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar."Kenapa?"Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya."Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."Hilya bergeming mendengar jawaban Satya."Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," kata Satya kemudian."Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan berlahan duduk di ranjang tidurnya."O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini.""Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah."Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."
Satu hari telah berlalu, Hilya masih berada di dalam ruangan berukuran 35 meter persegi itu sendirian, sebuah ruangan yang sengaja Satya kunci dari luar.Hilya menunduk cemas, wajahnya tampak gelisah, ada rasa takut di hatinya, ketika dia harus sendirian berada dalam ruangan itu selama berjam-jam. Terbersit keinginan untuk menghubungi Satya, namun dia tidak bisa melakukannya, karena handphone miliknya pun telah disimpan oleh laki-laki itu."Kreek!!"Tiba-tiba suara pintu terbuka. Hilya segera bangkit dan menoleh ke arah pintu tersebut. Berharap Satya yang datang dan mengusir rasa ketakutan yang sedang dia hadapi."Mas Dirga? Mana suamiku?" tanya Hilya penuh harap dengan mata menyelidik ke luar pintu."Suamimu sibuk, dia ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan," sahut Dirga. "O iya, ini aku bawakan makanan, suamimu berpesan kamu harus banyak makan," lanjut Dirga dengan menyerahkan makanan itu pada Hilya."Ini dari suamiku?" tanya Hilya saa
Kini Satya telah berada di kantornya. Wajahnya tampak gelisah."Kamu kenapa?" tanya Dirga mengejutkan pria tampan yang bersandar di meja kerjanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada."Mmm..." Satya tersenyum saat menoleh ke arah laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya itu."Ini ada beberapa berkas yang harus kamu pelajari!" kata laki-laki itu dengan meletakkan beberapa file di atas mejanya."Iya," jawab Satya dengan raut wajah masih gelisah."Okey!" sahut Dirga seraya berbalik untuk meninggalkan ruangan sahabatnya itu."Tunggu!" tiba-tiba Satya menghentikan langkahnya."Apa?" spontan Dirga menoleh ke arah Satya."Aku ingin bicara sebentar.""Bicara apa?"Satya mengajak Dirga untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya itu."Aku berniat untu
Keesokan harinya Dirga benar-benar menepati janjinya, dia membeli semua kebutuhan dapur untuk Hilya. Bukan hanya itu, Dirga juga membelikan peralatan memasak untuk istri sahabatnya yang masih gadis itu.Tepat jam sembilan pagi, Dirga sudah berada di apartemen sahabatnya."Hilya! Hilya!"Dirga memangil-manggil Hilya yang tidak terlihat di setiap sudut ruangan itu.Hingga kemudian terdengar suara."Allahu Akbar!" suara lembut yang keluar dari mulut Hilya saat dia dudukdi antara dua sujud.Dirga memandang lekat gadis yang kembali bersujud itu. Ada suatu getaran di hatinya saat memperhatikan gadis yang sedang beribadah itu. Sepertinya hati kecilnya mulai berbisik, bahwa tidak seharusnya dia mempermainkan gadis desa yang begitu baik ini.Dan tiga menit kemudian."Maaf ya mas, aku masih sholat Dhuha," kata Hilya memecah lamunan Dirga."Iya, tidak apa-apa. Ini aku bawakan barang-barang pesananmu."Dirga menunjukkan
Hari terus berganti, dan dua minggu telah berlalu. Sampai saat ini Satya belum juga mengunjungi apartemennya untuk menemui Hilya.Sore itu disebuah ruang kerja direktur Agung Wijaya group, tampak dua orang laki-laki duduk berhadap-hadapan sedang berkonsentrasi dengan laptopnya masing-masing."Sehari saja temui gadis itu, aku bilang padanya kalau kamu sekitar dua Minggu di luar kota, aku takut dia menanyakan kamu lagi padaku?"Dirga yang saat telah selesai mengerjakan tugas di laptopnya, mulai membujuk sahabatnya untuk menemui Hilya."Kamu cari alasan lagi saja! Aku tidak bisa menemuinya," sahut pria yang sedang berkutat dengan laptopnya itu acuh."Ayolah, berbuatlah baik pada gadis itu sebelum kamu menceraikannya!" rayu Dirga lagi."Kenapa kamu tiba-tiba simpati pada gadis itu?" tanya Satya dengan mengerutkan alisnya."Bukan begitu, masalahnya gadis itu kelihatannya sangat baik padamu.""Maksudmu?""Bayangkan saja saat t
Hari itu telah berlalu, dan satu minggu telah terlewati.Siang ini Satya meluangkan waktu untuk menemui Dirga di kantornya, karena sudah beberapa hari ini pengacara muda itu tidak datang menemuinya."Kamu dimana?"Satya mulai menelepon dan bertanya tentang keberadaan sahabatnya itu, saat sampai di depan kantor konsultan hukum yang di papanya bertuliskan Dirgantara Prawira Dirja S.H M.H."Aku di kantor.""Aku di depan kantormu."Terlihat Satya masuk ke dalam kantor pengacara muda itu, dan menuju ruangannya."Kenapa tidak pernah muncul di kantorku?" tanya Satya saat melihat temannya itu sibuk dengan berkas-berkas hukum di mejanya."Aku sibuk," jawabnya datar."Jane, Vany, Jessy, Sarah, mereka semua meneleponku, mereka bilang akhir-akhir ini kamu susah dihubungi," kata Satya kemudian."Hmm..." Dirga membuang nafas keras sembari menatap pria berjas hitam dengan kemeja putih yang duduk di hadapannya. "Aku sedang tidak
Waktu terus berjalan. Siang ini, tampak Satya sedang gelisah di ruang kerja, pikirannya serasa melayang, seperti kosong, dan pekerjaan gelisah menghilang.Dia membahas laptop yang sudah menyala, membahas tentang file yang memenuhi meja kerja. Dia termenung mengungkapkan pemandangan langit berwarna putih bersih di depan jendela kaca ruang lantai tujuh itu.berkedip-kedip sembari menghela nafas panjang. Dan tak lama kemudian ditariknya jas berwarna abu-abu muda yang menengger di kursi kerja, dia berjalan cepat sambil mengenakan jas tersebut, menuju lift untuk turun ke area parki
Pagi ini di ruang kerja Satya."Aku dengar kemarin kamu mengunjungi Hilya?" tanya seorang pria yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu."Iya," jawab Satya dengan tetap berkonsentrasi pada file yang ada di hadapannya. "Aku katakan pada gadis itu kalau aku akan jarang menemuinya, karena proyekku di luar kota belum selesai," tambah Satya."Bagaimana? Apa kamu merasakan sesuatu setelah bertemu dengannya?""Tidak, tidak ada yang berbeda dari diriku," sahut Satya seraya menutup map file yang sudah dia pelajari. "O, ya. Ayo kita pergi sekarang!" Ajak pria itu kemudian pada sahabatnya.Akhirnya mereka berdua pun pergi bersama dalam satu mobil. Tidak ada yang mereka bicarakan saat di dalam mobil, hingga kemudian sampailah mereka di sebuah tanah kosong yang ada di persimpangan jalan utama sebuah perumahan elite."Aku sudah temukan lokasi yang bagus untuk pembangunan Beutik Clarissa. Bagaimana menurutmu?" tanya pria itu pada sahabatnya saat memarkir