Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur.
"Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.
Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya.
"Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya.
"Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum.
"Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.
Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.
"Ayo-ayo diminum dulu kopinya!" kata laki-laki separuh baya itu kemudian.
Laki-laki berjas abu-abu itu seketika mengangguk dan meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya.
"Maaf menunggu lama!"
Suara seorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari kelambu ruang tengah rumah itu sontak membuat dua orang tamu laki-laki itu terperangah.
"Ehm!!" terdengar batuk dari mulut laki-laki berjas hitam. Mungkin dia kaget melihat Hilya dan umminya yang tiba-tiba masuk ruang tamu.
"Nak Setya, nak Dirga! Kenalkan, ini putri kami Hilya!"
Ummi Halimah ibunda Hilya memperkenalkan putrinya pada kedua laki-laki itu.
"Hilya El Jameela. Kata ustadz abah, artinya, perhiasan yang cantik," ujar Abah Hilya dengan tersenyum kepada kedua tamunya, membanggakan paras cantik putri semata wayangnya itu.
Seketika Satya dan Dirga berdiri dari tempat duduknya.
"Hai, aku Satya!" kata laki-laki berjas abu-abu itu menyapa Hilya dan menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
"Assalamualaikum!" sahut Hilya dengan mengatupkan kedua tangan, menolak dengan lembut jabat tangan yang ditawarkan Satya.
Seketika Satya bergeming memperhatikan sikap santun Hilya. Dan tiba-tiba, kaki kekar Dirga menginjak dengan kuat sepatu Satya.
Satya terperanjat, dia terjaga dari lamunan, sembari kemudian mengikuti isyarat mata yang diberikan Dirga untuk membalas salam Hilya.
"Waalaikum salam!"
Terdengar suara dua orang laki-laki itu menjawab salam Hilya secara bersamaan.
"O iya pak haji, apa kita bisa pergi sekarang?" tanya Dirga pada Haji Abdul Ghofur kemudian.
"Ooh, iya tentu," jawab Abah Hilya. "Hilya, ayo sana berangkat!" kata abahnya, meminta Hilya untuk ikut pergi bersama mereka.
Hilya mengerutkan kedua alisnya, menatap heran abah yang memintanya untuk ikut bersama dua orang laki-laki yang baru dia kenal.
"Maaf saya ke belakang dulu!" kata Hilya sembari berbalik meninggalkan ruangan itu.
Abah dan ummi Hilya seketika mengikuti langkah Hilya.
"Hilya! Kamu mau kemana?" tanya Haji Abdul Ghofur mengikuti langkah Hilya. "Calon suami kamu itu ingin lebih dekat kenal sama kamu, ayo ikut dengan mereka sebentar, mereka hanya ingin mengajak kamu makan malam!" kata Haji Abdul Ghofur menghentikan langkah Hilya yang hendak masuk ke dalam kamar.
"Abah! Kita bukan muhrim, tidak benar jika aku harus ikut dengan mereka sendirian tanpa seorang teman. Apa abah tidak memikirkan hal itu?" jawab Hilya dengan meninggikan suara.
"Hilya, abah percaya dengan Satya dan Dirga, mereka adalah orang-orang baik, orang terhormat, jadi pasti mereka bisa menjaga kamu," sahut abah. "Lagi pula Satya itu calon suami kamu, jadi tidak ada salahnya jika kalian berdua keluar sebentar untuk saling mengenal. Masak Abah dan ummi harus ikut untuk menemani kamu, pasti nak Satya nanti jadi sungkan," terang abah.
"Abah? Apa semudah itu abah percaya dengan orang yang baru abah kenal?" tanya Hilya. "Hilya tidak mau Bah, Hilya tidak mau keluar dengan laki-laki itu sendirian, karena kita bukan muhrim." Hilya bersikukuh menolak keinginan abahnya.
"Kalau begitu biar Romlah yang menemani kamu," sela Ummi Halimah di tengah-tengah ketegangan pembicaraan Hilya dan abahnya.
"Iya, biar Romlah yang akan menemani kamu," sahut Abah Hilya.
"Dua jam lagi magrib bah, Hilya tidak mau keluar, nanti sholat magrib Hilya bagaimana?"
Hilya masih mencoba memberikan alasan yang tepat untuk menolak perintah abahnya.
"Kamu bisa sholat di masjid, banyak kok masjid di sepanjang jalan." Putus Abah Hilya. "Ummi panggil Romlah sekarang, biar dia bisa menemani Hilya pergi!" perintahnya kemudian pada istrinya, untuk memanggil Romlah anak pembantu rumah tangga mereka.
Tidak lama setelah itu keluarga Haji Abdul Ghofur kembali menemui dua orang laki-laki yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.
"Maaf ya nak sudah menunggu lama!" kata laki-laki paruh baya itu.
"Tidak apa-apa pak," sahut Setya.
"Begini, Hilya bersedia pergi jika ada yang menemani, jadi..."
Belum selesai Haji Abdul Ghofur menjelaskan keinginan putrinya pada dua orang laki-laki itu, salah satu dari mereka menyela pembicaraan Haji Abdul Ghofur.
"Tidak apa-apa pak, saya mengerti, saya dan Hilya memang belum muhrim, jadi seharusnya kita memang tidak boleh pergi berdua."
Laki-laki berjas abu-abu itu berkata dengan santun.
"Saya bawa tiga mobil," katanya kemudian dengan menoleh keluar rumah, menunjukkan tiga mobil sedan yang terparkir di halaman rumah Hilya, mobil BMW X4 warna hitam, dan dua mobil all new Honda Civic. "Jika Hilya tidak berkenan satu mobil dengan saya, saya juga tidak masalah, Hilya bisa naik mobil saya yang lain," tambahnya dengan lembut.
"Saya mau diantar Pak Jamal saja, naik mobil abah," sahut Hilya.
"Hilya?"
Seketika Haji Abdul Ghofur menoleh ke arah putrinya dan menatapnya penuh kekesalan.
"Tidak apa-apa pak, Hilya boleh naik mobil mana saja, yang penting Hilya merasa nyaman," sahut laki-laki itu masih dengan suara lembut.
"Maaf ya Nak!" kata Haji Abdul Ghofur dengan menepuk lengan Satya.
"Iya, pak." Satya mengangguk-angguk.
"Okey, kalau begitu kita bisa berangkat sekarang kan pak haji?" tanya Dirga kemudian, seorang laki-laki berjas hitam yang berdiri di samping Satya.
"Iya, iya, tentu saja," sahut Haji Abdul Ghofur. "Titip putri bapak ya nak!" katanya saat Satya berjabat tangan untuk berpamitan.
Akhirnya ditemani oleh Romlah, Hilya ikut bersama Satya dan Dirga. Dua orang laki-laki tampan, berpenampilan elegan yang sangat dibanggakan oleh abahnya.
Mobil Abah Hilya yang dikemudikan oleh pak Jamal, mulai mengikuti mobil BMW X4 yang dinaiki oleh Satya dan Dirga.
Sementara dua mobil all new Honda Civic yang dinaiki oleh bodyguard dan asisten Satya berada di belakang mobil mereka berdua.
"Gila! Aku pikir putri pak haji itu gadis kampung yang jelek dan tidak menarik," celetuk Dirga saat dalam perjalanan. "Ternyata, wow! Kulitnya mulus, putih, bersih, dan bibirnya kemerah-merahan, padahal aku lihat tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya."
Satya yang saat itu sibuk mengotak-atik ponselnya tersenyum licik sembari melirik Dirga yang tengah menyetir mobil.
"Dasar mata keranjang!" maki pria itu lirih.
"Hai, bukan mata keranjang, tapi mataku ini hanya terlalu jeli dalam menilai, menilai wanita cantik maksudku," sahut Dirga dengan tersenyum genit.
"Ya, aku percaya." Satya mengangguk-angguk. "Tapi kali ini kekuatan pradugamu salah. Kemarin kamu bilang putri pak haji itu jelek, kampungan, dan sama sekali tidak menarik. Ternyata?"
"Hahahahaha!!!..."
Kedua laki-laki itu terkekeh. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, namun sepertinya sebuah rencana yang tidak benar.
"Tapi ini keuntungan buat kamu, setidaknya kamu bisa bernafas lega, karena kamu tidak jadi menikah dengan gadis desa buruk rupa seperti dugaanku," kata Dirga masih dengan tawa. "Dan setidaknya kamu juga bisa menikmati kebersamaan kamu dengan gadis itu sampai rencana kita selesai," ucapnya.
Bersambung
Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur.
"Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.
Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya.
"Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya.
"Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum.
"Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.
Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.
"Ayo-ayo diminum dulu kopinya!" kata laki-laki separuh baya itu kemudian.
Laki-laki berjas abu-abu itu seketika mengangguk dan meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya.
"Maaf menunggu lama!"
Suara seorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari kelambu ruang tengah rumah itu sontak membuat dua orang tamu laki-laki itu terperangah.
"Ehm!!" terdengar batuk dari mulut laki-laki berjas hitam. Mungkin dia kaget melihat Hilya dan umminya yang tiba-tiba masuk ruang tamu.
"Nak Setya, nak Dirga! Kenalkan, ini putri kami Hilya!"
Ummi Halimah ibunda Hilya memperkenalkan putrinya pada kedua laki-laki itu.
"Hilya El Jameela. Kata ustadz abah, artinya, perhiasan yang cantik," ujar Abah Hilya dengan tersenyum kepada kedua tamunya, membanggakan paras cantik putri semata wayangnya itu.
Seketika Satya dan Dirga berdiri dari tempat duduknya.
"Hai, aku Satya!" kata laki-laki berjas abu-abu itu menyapa Hilya dan menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
"Assalamualaikum!" sahut Hilya dengan mengatupkan kedua tangan, menolak dengan lembut jabat tangan yang ditawarkan Satya.
Seketika Satya bergeming memperhatikan sikap santun Hilya. Dan tiba-tiba, kaki kekar Dirga menginjak dengan kuat sepatu Satya.
Satya terperanjat, dia terjaga dari lamunan, sembari kemudian mengikuti isyarat mata yang diberikan Dirga untuk membalas salam Hilya.
"Waalaikum salam!"
Terdengar suara dua orang laki-laki itu menjawab salam Hilya secara bersamaan.
"O iya pak haji, apa kita bisa pergi sekarang?" tanya Dirga pada Haji Abdul Ghofur kemudian.
"Ooh, iya tentu," jawab Abah Hilya. "Hilya, ayo sana berangkat!" kata abahnya, meminta Hilya untuk ikut pergi bersama mereka.
Hilya mengerutkan kedua alisnya, menatap heran abah yang memintanya untuk ikut bersama dua orang laki-laki yang baru dia kenal.
"Maaf saya ke belakang dulu!" kata Hilya sembari berbalik meninggalkan ruangan itu.
Abah dan ummi Hilya seketika mengikuti langkah Hilya.
"Hilya! Kamu mau kemana?" tanya Haji Abdul Ghofur mengikuti langkah Hilya. "Calon suami kamu itu ingin lebih dekat kenal sama kamu, ayo ikut dengan mereka sebentar, mereka hanya ingin mengajak kamu makan malam!" kata Haji Abdul Ghofur menghentikan langkah Hilya yang hendak masuk ke dalam kamar.
"Abah! Kita bukan muhrim, tidak benar jika aku harus ikut dengan mereka sendirian tanpa seorang teman. Apa abah tidak memikirkan hal itu?" jawab Hilya dengan meninggikan suara.
"Hilya, abah percaya dengan Satya dan Dirga, mereka adalah orang-orang baik, orang terhormat, jadi pasti mereka bisa menjaga kamu," sahut abah. "Lagi pula Satya itu calon suami kamu, jadi tidak ada salahnya jika kalian berdua keluar sebentar untuk saling mengenal. Masak Abah dan ummi harus ikut untuk menemani kamu, pasti nak Satya nanti jadi sungkan," terang abah.
"Abah? Apa semudah itu abah percaya dengan orang yang baru abah kenal?" tanya Hilya. "Hilya tidak mau Bah, Hilya tidak mau keluar dengan laki-laki itu sendirian, karena kita bukan muhrim." Hilya bersikukuh menolak keinginan abahnya.
"Kalau begitu biar Romlah yang menemani kamu," sela Ummi Halimah di tengah-tengah ketegangan pembicaraan Hilya dan abahnya.
"Iya, biar Romlah yang akan menemani kamu," sahut Abah Hilya.
"Dua jam lagi magrib bah, Hilya tidak mau keluar, nanti sholat magrib Hilya bagaimana?"
Hilya masih mencoba memberikan alasan yang tepat untuk menolak perintah abahnya."Kamu bisa sholat di masjid, banyak kok masjid di sepanjang jalan." Putus Abah Hilya. "Ummi panggil Romlah sekarang, biar dia bisa menemani Hilya pergi!" perintahnya kemudian pada istrinya, untuk memanggil Romlah anak pembantu rumah tangga mereka.
Tidak lama setelah itu keluarga Haji Abdul Ghofur kembali menemui dua orang laki-laki yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.
"Maaf ya nak sudah menunggu lama!" kata laki-laki paruh baya itu.
"Tidak apa-apa pak," sahut Setya.
"Begini, Hilya bersedia pergi jika ada yang menemani, jadi..."
Belum selesai Haji Abdul Ghofur menjelaskan keinginan putrinya pada dua orang laki-laki itu, salah satu dari mereka menyela pembicaraan Haji Abdul Ghofur.
"Tidak apa-apa pak, saya mengerti, saya dan Hilya memang belum muhrim, jadi seharusnya kita memang tidak boleh pergi berdua."
Laki-laki berjas abu-abu itu berkata dengan santun.
"Saya bawa tiga mobil," katanya kemudian dengan menoleh keluar rumah, menunjukkan tiga mobil sedan yang terparkir di halaman rumah Hilya, mobil BMW X4 warna hitam, dan dua mobil all new Honda Civic. "Jika Hilya tidak berkenan satu mobil dengan saya, saya juga tidak masalah, Hilya bisa naik mobil saya yang lain," tambahnya dengan lembut.
"Saya mau diantar Pak Jamal saja, naik mobil abah," sahut Hilya.
"Hilya?"
Seketika Haji Abdul Ghofur menoleh ke arah putrinya dan menatapnya penuh kekesalan.
"Tidak apa-apa pak, Hilya boleh naik mobil mana saja, yang penting Hilya merasa nyaman," sahut laki-laki itu masih dengan suara lembut.
"Maaf ya Nak!" kata Haji Abdul Ghofur dengan menepuk lengan Satya.
"Iya, pak." Satya mengangguk-angguk.
"Okey, kalau begitu kita bisa berangkat sekarang kan pak haji?" tanya Dirga kemudian, seorang laki-laki berjas hitam yang berdiri di samping Satya.
"Iya, iya, tentu saja," sahut Haji Abdul Ghofur. "Titip putri bapak ya nak!" katanya saat Satya berjabat tangan untuk berpamitan.
Akhirnya ditemani oleh Romlah, Hilya ikut bersama Satya dan Dirga. Dua orang laki-laki tampan, berpenampilan elegan yang sangat dibanggakan oleh abahnya.
Mobil Abah Hilya yang dikemudikan oleh pak Jamal, mulai mengikuti mobil BMW X4 yang dinaiki oleh Satya dan Dirga.
Sementara dua mobil all new Honda Civic yang dinaiki oleh bodyguard dan asisten Satya berada di belakang mobil mereka berdua.
"Gila! Aku pikir putri pak haji itu gadis kampung yang jelek dan tidak menarik," celetuk Dirga saat dalam perjalanan. "Ternyata, wow! Kulitnya mulus, putih, bersih, dan bibirnya kemerah-merahan, padahal aku lihat tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya."
Satya yang saat itu sibuk mengotak-atik ponselnya tersenyum licik sembari melirik Dirga yang tengah menyetir mobil.
"Dasar mata keranjang!" maki pria itu lirih.
"Hai, bukan mata keranjang, tapi mataku ini hanya terlalu jeli dalam menilai, menilai wanita cantik maksudku," sahut Dirga dengan tersenyum genit.
"Ya, aku percaya." Satya mengangguk-angguk. "Tapi kali ini kekuatan pradugamu salah. Kemarin kamu bilang putri pak haji itu jelek, kampungan, dan sama sekali tidak menarik. Ternyata?"
"Hahahahaha!!!..."
Kedua laki-laki itu terkekeh. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, namun sepertinya sebuah rencana yang tidak benar.
"Tapi ini keuntungan buat kamu, setidaknya kamu bisa bernafas lega, karena kamu tidak jadi menikah dengan gadis desa buruk rupa seperti dugaanku," kata Dirga masih dengan tawa. "Dan setidaknya kamu juga bisa menikmati kebersamaan kamu dengan gadis itu sampai rencana kita selesai," ucapnya.
Bersambung
Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya."Kenapa berhenti?""Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya."Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga."Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga."Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu."Sana ikuti gadis itu unt
Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga akhirnya sampailah acara pernikahan Satya dan Hilya.Acara pernikahan itu digelar dengan sangat mewah dan meriah di rumah orang tua Hilya, Haji Abdul Ghofur.Dirga beserta rombongan yang kurang lebih sebanyak lima puluh orang, datang ke acara pernikahan itu sebagai keluarga Satya.Acara pun berjalan dengan hikmad, meski pernikahan itu hanya sandiwara bagi Satya, namun Satya mengucapkan Ijab Kabul dengan sempurna, dan Hilya seorang gadis yang dia nikahi, benar-benar menganggap pria itu ikhlas menikahinya.Hilya yang saat itu dibalut kerudung dan baju pengantin warna putih tampak mencium tangan Satya setelah semua saksi mengatakan shah. Dan kini mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri.Setelah acara pernikahan, Dirga yang mengaku sebagai keluarga terdekat Satya, meminta izin kepada orang tua Hilya untuk membawa Hilya ikut bersama mereka.Enta
Satya berjalan menyusuri koridor hotel, hingga sampai di depan pintu kamar bernomor 102. Satya terlihat mulai menggedor-gedor pintu tersebut."Cepat buka pintunya!" teriak Satya dengan suara lantang."Ada apa?" tanya seorang laki-laki berwajah lesu yang sepertinya baru bangun tidur itu.Dengan wajah memerah Satya masuk ke dalam kamar laki-laki yang baru membuka pintu itu."Brengsek!!!" Maki Satya dengan melempar handphone yang ada ditangannya ke tempat tidur."Ada apa ini?" tanya laki-laki itu seraya mengambil handphone tersebut. "Handphone siapa ini?" tanyanya lagi."Kamu tau, gadis desa yang kamu bilang lugu dan bodoh itu! Dia adalah gadis yang sangat pintar!"Satya mengatakan hal itu dengan menunjuk muka laki-laki yang berdiri di hadapannya, yang tidak lain adalah Dirga."Maksud kamu?" tanya Dirga bingung."Mana berkas-berkas pernikahanku?" tanya Satya sembari memeriksa laci yang ada di samping tempat tidur Dirga.
Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu."Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang kebingungan."Handphoneku hilang," kata Hilya."Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar."Kenapa?"Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya."Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."Hilya bergeming mendengar jawaban Satya."Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," kata Satya kemudian."Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan berlahan duduk di ranjang tidurnya."O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini.""Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah."Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."
Satu hari telah berlalu, Hilya masih berada di dalam ruangan berukuran 35 meter persegi itu sendirian, sebuah ruangan yang sengaja Satya kunci dari luar.Hilya menunduk cemas, wajahnya tampak gelisah, ada rasa takut di hatinya, ketika dia harus sendirian berada dalam ruangan itu selama berjam-jam. Terbersit keinginan untuk menghubungi Satya, namun dia tidak bisa melakukannya, karena handphone miliknya pun telah disimpan oleh laki-laki itu."Kreek!!"Tiba-tiba suara pintu terbuka. Hilya segera bangkit dan menoleh ke arah pintu tersebut. Berharap Satya yang datang dan mengusir rasa ketakutan yang sedang dia hadapi."Mas Dirga? Mana suamiku?" tanya Hilya penuh harap dengan mata menyelidik ke luar pintu."Suamimu sibuk, dia ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan," sahut Dirga. "O iya, ini aku bawakan makanan, suamimu berpesan kamu harus banyak makan," lanjut Dirga dengan menyerahkan makanan itu pada Hilya."Ini dari suamiku?" tanya Hilya saa
Kini Satya telah berada di kantornya. Wajahnya tampak gelisah."Kamu kenapa?" tanya Dirga mengejutkan pria tampan yang bersandar di meja kerjanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada."Mmm..." Satya tersenyum saat menoleh ke arah laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya itu."Ini ada beberapa berkas yang harus kamu pelajari!" kata laki-laki itu dengan meletakkan beberapa file di atas mejanya."Iya," jawab Satya dengan raut wajah masih gelisah."Okey!" sahut Dirga seraya berbalik untuk meninggalkan ruangan sahabatnya itu."Tunggu!" tiba-tiba Satya menghentikan langkahnya."Apa?" spontan Dirga menoleh ke arah Satya."Aku ingin bicara sebentar.""Bicara apa?"Satya mengajak Dirga untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya itu."Aku berniat untu
Keesokan harinya Dirga benar-benar menepati janjinya, dia membeli semua kebutuhan dapur untuk Hilya. Bukan hanya itu, Dirga juga membelikan peralatan memasak untuk istri sahabatnya yang masih gadis itu.Tepat jam sembilan pagi, Dirga sudah berada di apartemen sahabatnya."Hilya! Hilya!"Dirga memangil-manggil Hilya yang tidak terlihat di setiap sudut ruangan itu.Hingga kemudian terdengar suara."Allahu Akbar!" suara lembut yang keluar dari mulut Hilya saat dia dudukdi antara dua sujud.Dirga memandang lekat gadis yang kembali bersujud itu. Ada suatu getaran di hatinya saat memperhatikan gadis yang sedang beribadah itu. Sepertinya hati kecilnya mulai berbisik, bahwa tidak seharusnya dia mempermainkan gadis desa yang begitu baik ini.Dan tiga menit kemudian."Maaf ya mas, aku masih sholat Dhuha," kata Hilya memecah lamunan Dirga."Iya, tidak apa-apa. Ini aku bawakan barang-barang pesananmu."Dirga menunjukkan
Hari terus berganti, dan dua minggu telah berlalu. Sampai saat ini Satya belum juga mengunjungi apartemennya untuk menemui Hilya.Sore itu disebuah ruang kerja direktur Agung Wijaya group, tampak dua orang laki-laki duduk berhadap-hadapan sedang berkonsentrasi dengan laptopnya masing-masing."Sehari saja temui gadis itu, aku bilang padanya kalau kamu sekitar dua Minggu di luar kota, aku takut dia menanyakan kamu lagi padaku?"Dirga yang saat telah selesai mengerjakan tugas di laptopnya, mulai membujuk sahabatnya untuk menemui Hilya."Kamu cari alasan lagi saja! Aku tidak bisa menemuinya," sahut pria yang sedang berkutat dengan laptopnya itu acuh."Ayolah, berbuatlah baik pada gadis itu sebelum kamu menceraikannya!" rayu Dirga lagi."Kenapa kamu tiba-tiba simpati pada gadis itu?" tanya Satya dengan mengerutkan alisnya."Bukan begitu, masalahnya gadis itu kelihatannya sangat baik padamu.""Maksudmu?""Bayangkan saja saat t