Beranda / Romansa / Bidadari Spesial / Bab 4 (Ceo vs Santriwati)

Share

Bab 4 (Ceo vs Santriwati)

Penulis: Anis _Mo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.

Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya.

"Kenapa berhenti?"

"Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.

Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya.

"Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga.

"Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.

Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga.

"Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu.

"Sana ikuti gadis itu untuk sholat di masjid!"

"Maksud kamu?"

"Untuk melancarkan rencana kita, pura-puralah menyukainya."

"Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara sholat," jawab Setya. "Kamu tahu kan, dari kecil aku sekolah di luar negeri, dan selain itu aku juga tidak pernah belajar agama."

"Mmm..." Dirga membuang nafas, dan mulai berfikir. "Begini, nanti di sana, kamu ikuti saja gerakan imam."

"Imam? Siapa Imam? Aku tidak mengenal orang-orang yang ada di sana, jadi mana aku tahu siapa orang yang bernama imam."

"Imam itu orang yang memimpin sholat, nanti di sana semua jamaah akan mengikuti gerakan pemimpin sholat atau imam," terang Dirga.

"Oooh..."

Tidak lama setelah itu Satya keluar dari dalam mobil. Kakinya melangkah menghampiri Hilya yang saat itu tengah berdiri di teras masjid.

"Aku juga mau sholat," kata Satya kepada Hilya.

"Iya silahkan!"

Gadis yang wajahnya masih terlihat basah dengan air berwudhu itu mengangguk sembari tersenyum.

"Sepatunya," kata Hilya spontan, saat laki-laki itu hendak naik ke teras masjid dengan sepatu yang belum dilepas.

Tampak wajah laki-laki berjas abu-abu itu kebingungan.

"Ini lantainya suci," tambah Hilya.

"Iya," laki-laki itu mengangguk.

"Lepas sepatumu! Lantai masjid ini suci," bisik Dirga yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

Terlihat setelah itu Satya tersenyum manis ke arah Hilya sembari kemudian membungkuk melepas sepatunya.

"Mas Satya tidak wudhu dulu?" tanya Hilya saat kaki Satya melangkah cepat hendak masuk ke dalam masjid.

"Oh iya, berwudhu." Satya mengangguk-angguk sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Dirga yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Tempat wudhu laki-laki di sebelah sana!" Kata Hilya kemudian dengan menunjuk tempat wudhu laki-laki yang berada di pojok sebelah kanannya berdiri.

"Iya," jawab Satya seraya melangkah menuju tempat wudhu yang ditunjukkan oleh Hilya.

Tiga puluh menit kemudian jamaah sholat magrib, dan dzikir bersama di masjid itu  selesai.

"Bagaimana sholat pertama kamu?" tanya Dirga saat Satya masuk ke dalam mobilnya.

"Kacau."

"Kenapa?"

"Karena gadis itu memintaku untuk... Apa tadi ya namanya? Aku lupa,"  kata Satya dengan mengerutkan dahinya sembari memijit-mijit kepalanya seolah mengingat-ingat sesuatu.

"Apa?" tanya Dirga

"Cuci muka dan cuci kaki sebelum sholat."

"Oooh, wudhu?"

"Iya benar, itu maksudku," jawab Satya.

"Hmmh..."

Dirga menghelan nafas seraya menghempaskannya dengan keras setelah mendengar jawaban dari sahabatnya. Kedua tangannya mulai menyentuh setir dan melajukan mobilnya kembali dengan kencang.

Enam puluh menit kemudian mobilnya berhenti disebuah halaman parkir gedung berbintang. Sepertinya tujuannya telah sampai.

"Ayo masuk!" kata Satya pada gadis berhijab yang baru saja dia hampiri.

Gadis yang baru keluar dari mobil itupun mengangguk sembari berjalan mengikuti langkah Satya.

"Mas Satya jalan di depanku saja!" kata Hilya saat Satya mengurangi kecepatan langkahnya berjalan menemani Hilya.

"Kenapa?"

"Laki-laki adalah imam seorang perempuan, jadi berjalanlah di depan."

"Bukanlah lebih baik jika kita berjalan beriringan?" jawab Satya.

"Itu jika sudah dihalalkan. Jika belum, jagalah kehormatan perempuan  dengan berjalan di depannya," terang Hilya sembari tersenyum.

"Oooh." Satya membalas senyum Hilya sembari mengangguk-angguk, dan kemudian melanjutkan langkahnya. "Jika sudah menikah boleh berjalan beriringan dan bergandengan tangan?" sejenak Satya menghentikan langkah, menoleh ke arah Hilya sembari bertanya.

"Tentu, karena seorang suami harus selalu di samping istri untuk melindunginya."

Setelah mendengar jawaban Hilya Satya kembali melanjutkan langkahnya, hingga sampailah mereka pada tempat yang dituju.

"Ayo duduk!" kata Satya pada Hilya saat mereka telah sampai di meja sebuah restoran mewah yang ada hotel bintang lima.

Hilya dan Romlah segera menarik kursi yang telah dipesan oleh Satya untuk duduk. Dan tidak lama kemudian Dirga datang menghampiri mereka.

"Maaf aku tadi masih ada urusan," kata Dirga sembari menarik kursi untuk duduk di sebelah Satya.

"Menurutku ini adalah restoran dan hotel termewah yang ada di kota ini, di sini masakannya enak, pelayanannya bagus, dan aku sangat cocok. Kalau menurut kamu bagaimana?" tanya Satya pada Hilya membuka obrolan.

"Aku tidak tahu, aku baru pertama kali kesini," jawab Hilya polos.

"Oooh," Satya mengangguk sembari tersenyum.

"Kalau dengan restoran yang lain bagaimana? Mungkin kamu punya rekomendasi restoran terbaik di kotamu ini?"

"Emmm... Tidak, aku tidak tau," jawab Hilya. "Aku jarang makan di luar," tambahnya dengan meringis.

"Oooh..."

"Jadi kamu jarang keluar rumah?" tanya Dirga menyela percakapan mereka.

"Iya, aku tinggal di pesantren, jarang pulang, dan mungkin paling cepat pulang satu tahun sekali," terang Hilya.

"Oooh..."

Dirga menjawab dengan mengangguk-angguk.

Tidak lama setelah itu pelayan datang membawa makanan, ada beberapa masakan Eropa yang dipesan oleh Satya, beberapa steak daging dengan jamur dan sayuran, spaghetti carbonara, beberapa roti khas Eropa, galota ice cream, dan masih banyak yang lainnya.

"Ayo makan!"

Satya mulai mempersilahkan Hilya untuk menyantap steak daging yang sudah terhidang di hadapannya.

Hilya tidak segera menyantap makanan itu, terlihat dia menatap hot plate, pisau dan garpu yang tertata rapi di meja.

"Kenapa hanya dilihat?" tanya Satya. "Ayo makan!"

"Mmm... Aku bingung bagaimana cara makannya," jawab Hilya polos.

Bibir Satya sedikit menganga, dia tampak heran mendengar jawaban gadis desa itu. "Di zaman modern seperti ini masih ada orang yang tidak bisa makan menggunakan pisau dan garpu," pikir Satya dalam hati.

"Sudah tampak jelas, kalau gadis kampung ini, lugu, polos, dan bodoh," bisik Dirga di telinga Satya.

Satya tersenyum tanpa menoleh ke arah Dirga, dia tetap memperhatikan Hilya yang duduk di hadapannya.

"Aku ke toilet dulu," pamit Dirga kemudian dengan menepuk lengan sahabatnya.

Dan setelah Dirga pergi, Satya mulai mengajari Hilya cara memotong steak daging menggunakan pisau dan garpu yang ada di tangannya.

"Begini caranya! Taruh pisau di sebelah kanan, dan garpu di sebelah kiri! Setelah itu potong daging seperti ini, dan kemudian ambil dagingnya dengan garpu, lalu makan!" terang Satya dengan mempraktekan memotong steak daging tersebut sembari memakannya.

"Makan dengan tangan kiri?" tanya Hilya kemudian.

"Iya, kenapa?" tanya Satya.

"Dalam agama kita, yang makan dengan tangan kiri itu setan mas," jawab Hilya.

Seketika Satya berhenti mengunyah makanannya, dan menatap gadis cantik yang disebut gadis kampung oleh sahabatnya itu.

"Garpunya dipindah di tangan kanan boleh kan mas?" tanya Hilya kemudian.

"Mmm... Iya." Satya mengangguk sembari tersenyum. "Garpuku juga aku pindah ke tangan kanan," lanjutnya.

Satya menghelan nafas, sembari melanjutkan menyantap makanannya yang masih mengepul di atas hot plate.

"Kenapa kamu blum makan?" Tanya Satya saat melihat Hilya masih belum menyantap makanannya.

"Masih panas."

"Makanan ini memang enak dimakan saat panas," jawab Satya.

"Bukankah lebih sehat jika dimakan saat dingin, tidak merusak email gigi dan juga tidak membuat lidah kita panas."

"Mmm, iya." Jawab Satya.

Laki-laki itu kembali menghelan nafas, dan kemudian meraih tisu di samping hot platenya sembari mengusap percikan bumbu makanan di bibirnya.

"Mmm... Kamu tiup saja biar cepat dingin! Dan kamu bisa segera makan," kata Satya kemudian.

"Rasulullah tidak memperbolehkan kita meniup makanan. Selain itu, meniup makanan tidak bagus juga dalam kesehatan, kan? Aku pernah baca di buku, jika kita meniup makanan, kuman yang ada di mulut akan berpindah ke makanan, dan dapat menyebabkan kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit." Terang Hilya.

"Iya." Satya tersenyum seraya kembali menghelan nafasnya.

Akhirnya meski tidak begitu menyenangkan, makan malam Satya dan gadis desa bernama Hilya itupun selesai.

Setelah mengantar Hilya dan pembantunya masuk ke dalam mobil, Satya segera melangkah menuju mobil miliknya, dan terlihat Dirga sudah ada di dalam mobil BMW X4 warna hitam itu.

"Bagaimana makan malamnya?" tanya Dirga.

"Mmm... Sepertinya kita harus pertimbangkan kembali rencana pernikahanku dengan anak pak haji itu."

"Kenapa?"

"Dirga, dia tidak sebodoh seperti yang kamu pikirkan, mungkin dia memang gadis desa yang masih polos dan lugu, tapi dia bukan gadis yang bodoh. Dan aku lihat dia gadis yang cukup cerdas dan pintar," jelas Satya.

"Satya! Dengarkan aku! Gadis itu hanya sekolah di pesantren, pergaulannya terbatas, pengalaman hidupnya juga pasti terbatas, karena dia hanya belajar ilmu agama saja di sana," jawab Dirga dengan menekan suaranya. "Mungkin dia hanya pintar ilmu agama, tapi untuk yang lain, noool," lanjut Dirga. "Jadi kamu tenang, kamu tidak perlu khawatir, rencana kita tetap harus berjalan seperti semula, dan aku optimis kalau rencana ini akan berhasil. Okey!"

Dirga berusaha meyakinkan Satya kalau rencana mereka akan berhasil.

"Okey! Terserah kamu saja! Tapi aku minta semuanya harus berjalan dengan rapi. Aku tidak mau ada kata gagal setelah rencana ini kita jalankan."

Terlihat Dirga mengangguk-angguk saat mendengarkan jawaban Satya.

"Dan satu hal lagi, aku tidak mau ada orang yang tahu tentang pernikahan konyol ini. Kolegaku, keluargaku. Dan yang terpenting adalah tunanganku. Aku tidak ingin Clarissa sampai tahu tentang pernikahan yang kita rencanakan ini."

Rencana licik yang di prakarsai oleh Dirga yang tidak lain adalah pengacara perusahaan sekaligus sahabatnya ini cukup membuat Satya ragu dan khawatir. Namun dia tetap mengiyakannya, karena selama ini ide dan masukan yang diberikan oleh pengacaranya itu selalu berhasil.

Bersambung

Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.

Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya.

"Kenapa berhenti?"

"Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.

Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya.

"Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga.

"Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.

Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga.

"Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu.

"Sana ikuti gadis itu untuk sholat di masjid!"

"Maksud kamu?"

"Untuk melancarkan rencana kita, pura-puralah menyukainya."

"Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara sholat," jawab Setya. "Kamu tahu kan, dari kecil aku sekolah di luar negeri, dan selain itu aku juga tidak pernah belajar agama."

"Mmm..." Dirga membuang nafas, dan mulai berfikir. "Begini, nanti di sana, kamu ikuti saja gerakan imam."

"Imam? Siapa Imam? Aku tidak mengenal orang-orang yang ada di sana, jadi mana aku tahu siapa orang yang bernama imam."

"Imam itu orang yang memimpin sholat, nanti di sana semua jamaah akan mengikuti gerakan pemimpin sholat atau imam," terang Dirga.

"Oooh..."

Tidak lama setelah itu Satya keluar dari dalam mobil. Kakinya melangkah menghampiri Hilya yang saat itu tengah berdiri di teras masjid.

"Aku juga mau sholat," kata Satya kepada Hilya.

"Iya silahkan!"

Gadis yang wajahnya masih terlihat basah dengan air berwudhu itu mengangguk sembari tersenyum.

"Sepatunya," kata Hilya spontan, saat laki-laki itu hendak naik ke teras masjid dengan sepatu yang belum dilepas.

Tampak wajah laki-laki berjas abu-abu itu kebingungan.

"Ini lantainya suci," tambah Hilya.

"Iya," laki-laki itu mengangguk.

"Lepas sepatumu! Lantai masjid ini suci," bisik Dirga yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

Terlihat setelah itu Satya tersenyum manis ke arah Hilya sembari kemudian membungkuk melepas sepatunya.

"Mas Satya tidak wudhu dulu?" tanya Hilya saat kaki Satya melangkah cepat hendak masuk ke dalam masjid.

"Oh iya, berwudhu." Satya mengangguk-angguk sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Dirga yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Tempat wudhu laki-laki di sebelah sana!" Kata Hilya kemudian dengan menunjuk tempat wudhu laki-laki yang berada di pojok sebelah kanannya berdiri.

"Iya," jawab Satya seraya melangkah menuju tempat wudhu yang ditunjukkan oleh Hilya.

Tiga puluh menit kemudian jamaah sholat magrib, dan dzikir bersama di masjid itu  selesai.

"Bagaimana sholat pertama kamu?" tanya Dirga saat Satya masuk ke dalam mobilnya.

"Kacau."

"Kenapa?"

"Karena gadis itu memintaku untuk... Apa tadi ya namanya? Aku lupa,"  kata Satya dengan mengerutkan dahinya sembari memijit-mijit kepalanya seolah mengingat-ingat sesuatu.

"Apa?" tanya Dirga

"Cuci muka dan cuci kaki sebelum sholat."

"Oooh, wudhu?"

"Iya benar, itu maksudku," jawab Satya.

"Hmmh..."

Dirga menghelan nafas seraya menghempaskannya dengan keras setelah mendengar jawaban dari sahabatnya. Kedua tangannya mulai menyentuh setir dan melajukan mobilnya kembali dengan kencang.

Enam puluh menit kemudian mobilnya berhenti disebuah halaman parkir gedung berbintang. Sepertinya tujuannya telah sampai.

"Ayo masuk!" kata Satya pada gadis berhijab yang baru saja dia hampiri.

Gadis yang baru keluar dari mobil itupun mengangguk sembari berjalan mengikuti langkah Satya.

"Mas Satya jalan di depanku saja!" kata Hilya saat Satya mengurangi kecepatan langkahnya berjalan menemani Hilya.

"Kenapa?"

"Laki-laki adalah imam seorang perempuan, jadi berjalanlah di depan."

"Bukanlah lebih baik jika kita berjalan beriringan?" jawab Satya.

"Itu jika sudah dihalalkan. Jika belum, jagalah kehormatan perempuan  dengan berjalan di depannya," terang Hilya sembari tersenyum.

"Oooh." Satya membalas senyum Hilya sembari mengangguk-angguk, dan kemudian melanjutkan langkahnya. "Jika sudah menikah boleh berjalan beriringan dan bergandengan tangan?" sejenak Satya menghentikan langkah, menoleh ke arah Hilya sembari bertanya.

"Tentu, karena seorang suami harus selalu di samping istri untuk melindunginya."

Setelah mendengar jawaban Hilya Satya kembali melanjutkan langkahnya, hingga sampailah mereka pada tempat yang dituju.

"Ayo duduk!" kata Satya pada Hilya saat mereka telah sampai di meja sebuah restoran mewah yang ada hotel bintang lima.

Hilya dan Romlah segera menarik kursi yang telah dipesan oleh Satya untuk duduk. Dan tidak lama kemudian Dirga datang menghampiri mereka.

"Maaf aku tadi masih ada urusan," kata Dirga sembari menarik kursi untuk duduk di sebelah Satya.

"Menurutku ini adalah restoran dan hotel termewah yang ada di kota ini, di sini masakannya enak, pelayanannya bagus, dan aku sangat cocok. Kalau menurut kamu bagaimana?" tanya Satya pada Hilya membuka obrolan.

"Aku tidak tahu, aku baru pertama kali kesini," jawab Hilya polos.

"Oooh," Satya mengangguk sembari tersenyum.

"Kalau dengan restoran yang lain bagaimana? Mungkin kamu punya rekomendasi restoran terbaik di kotamu ini?"

"Emmm... Tidak, aku tidak tau," jawab Hilya. "Aku jarang makan di luar," tambahnya dengan meringis.

"Oooh..."

"Jadi kamu jarang keluar rumah?" tanya Dirga menyela percakapan mereka.

"Iya, aku tinggal di pesantren, jarang pulang, dan mungkin paling cepat pulang satu tahun sekali," terang Hilya.

"Oooh..."

Dirga menjawab dengan mengangguk-angguk.

Tidak lama setelah itu pelayan datang membawa makanan, ada beberapa masakan Eropa yang dipesan oleh Satya, beberapa steak daging dengan jamur dan sayuran, spaghetti carbonara, beberapa roti khas Eropa, galota ice cream, dan masih banyak yang lainnya.

"Ayo makan!"

Satya mulai mempersilahkan Hilya untuk menyantap steak daging yang sudah terhidang di hadapannya.

Hilya tidak segera menyantap makanan itu, terlihat dia menatap hot plate, pisau dan garpu yang tertata rapi di meja.

"Kenapa hanya dilihat?" tanya Satya. "Ayo makan!"

"Mmm... Aku bingung bagaimana cara makannya," jawab Hilya polos.

Bibir Satya sedikit menganga, dia tampak heran mendengar jawaban gadis desa itu. "Di zaman modern seperti ini masih ada orang yang tidak bisa makan menggunakan pisau dan garpu," pikir Satya dalam hati.

"Sudah tampak jelas, kalau gadis kampung ini, lugu, polos, dan bodoh," bisik Dirga di telinga Satya.

Satya tersenyum tanpa menoleh ke arah Dirga, dia tetap memperhatikan Hilya yang duduk di hadapannya.

"Aku ke toilet dulu," pamit Dirga kemudian dengan menepuk lengan sahabatnya.

Dan setelah Dirga pergi, Satya mulai mengajari Hilya cara memotong steak daging menggunakan pisau dan garpu yang ada di tangannya.

"Begini caranya! Taruh pisau di sebelah kanan, dan garpu di sebelah kiri! Setelah itu potong daging seperti ini, dan kemudian ambil dagingnya dengan garpu, lalu makan!" terang Satya dengan mempraktekan memotong steak daging tersebut sembari memakannya.

"Makan dengan tangan kiri?" tanya Hilya kemudian.

"Iya, kenapa?" tanya Satya.

"Dalam agama kita, yang makan dengan tangan kiri itu setan mas," jawab Hilya.

Seketika Satya berhenti mengunyah makanannya, dan menatap gadis cantik yang disebut gadis kampung oleh sahabatnya itu.

"Garpunya dipindah di tangan kanan boleh kan mas?" tanya Hilya kemudian.

"Mmm... Iya." Satya mengangguk sembari tersenyum. "Garpuku juga aku pindah ke tangan kanan," lanjutnya.

Satya menghelan nafas, sembari melanjutkan menyantap makanannya yang masih mengepul di atas hot plate.

"Kenapa kamu blum makan?" Tanya Satya saat melihat Hilya masih belum menyantap makanannya.

"Masih panas."

"Makanan ini memang enak dimakan saat panas," jawab Satya.

"Bukankah lebih sehat jika dimakan saat dingin, tidak merusak email gigi dan juga tidak membuat lidah kita panas."

"Mmm, iya." Jawab Satya.

Laki-laki itu kembali menghelan nafas, dan kemudian meraih tisu di samping hot platenya sembari mengusap percikan bumbu makanan di bibirnya.

"Mmm... Kamu tiup saja biar cepat dingin! Dan kamu bisa segera makan," kata Satya kemudian.

"Rasulullah tidak memperbolehkan kita meniup makanan. Selain itu, meniup makanan tidak bagus juga dalam kesehatan, kan? Aku pernah baca di buku, jika kita meniup makanan, kuman yang ada di mulut akan berpindah ke makanan, dan dapat menyebabkan kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit." Terang Hilya.

"Iya." Satya tersenyum seraya kembali menghelan nafasnya.

Akhirnya meski tidak begitu menyenangkan, makan malam Satya dan gadis desa bernama Hilya itupun selesai.

Setelah mengantar Hilya dan pembantunya masuk ke dalam mobil, Satya segera melangkah menuju mobil miliknya, dan terlihat Dirga sudah ada di dalam mobil BMW X4 warna hitam itu.

"Bagaimana makan malamnya?" tanya Dirga.

"Mmm... Sepertinya kita harus pertimbangkan kembali rencana pernikahanku dengan anak pak haji itu."

"Kenapa?"

"Dirga, dia tidak sebodoh seperti yang kamu pikirkan, mungkin dia memang gadis desa yang masih polos dan lugu, tapi dia bukan gadis yang bodoh. Dan aku lihat dia gadis yang cukup cerdas dan pintar," jelas Satya.

"Satya! Dengarkan aku! Gadis itu hanya sekolah di pesantren, pergaulannya terbatas, pengalaman hidupnya juga pasti terbatas, karena dia hanya belajar ilmu agama saja di sana," jawab Dirga dengan menekan suaranya. "Mungkin dia hanya pintar ilmu agama, tapi untuk yang lain, noool," lanjut Dirga. "Jadi kamu tenang, kamu tidak perlu khawatir, rencana kita tetap harus berjalan seperti semula, dan aku optimis kalau rencana ini akan berhasil. Okey!"

Dirga berusaha meyakinkan Satya kalau rencana mereka akan berhasil.

"Okey! Terserah kamu saja! Tapi aku minta semuanya harus berjalan dengan rapi. Aku tidak mau ada kata gagal setelah rencana ini kita jalankan."

Terlihat Dirga mengangguk-angguk saat mendengarkan jawaban Satya.

"Dan satu hal lagi, aku tidak mau ada orang yang tahu tentang pernikahan konyol ini. Kolegaku, keluargaku. Dan yang terpenting adalah tunanganku. Aku tidak ingin Clarissa sampai tahu tentang pernikahan yang kita rencanakan ini."

Rencana licik yang di prakarsai oleh Dirga yang tidak lain adalah pengacara perusahaan sekaligus sahabatnya ini cukup membuat Satya ragu dan khawatir. Namun dia tetap mengiyakannya, karena selama ini ide dan masukan yang diberikan oleh pengacaranya itu selalu berhasil.

Bersambung

Bab terkait

  • Bidadari Spesial   Bab 5 (Menikah)

    Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga akhirnya sampailah acara pernikahan Satya dan Hilya.Acara pernikahan itu digelar dengan sangat mewah dan meriah di rumah orang tua Hilya, Haji Abdul Ghofur.Dirga beserta rombongan yang kurang lebih sebanyak lima puluh orang, datang ke acara pernikahan itu sebagai keluarga Satya.Acara pun berjalan dengan hikmad, meski pernikahan itu hanya sandiwara bagi Satya, namun Satya mengucapkan Ijab Kabul dengan sempurna, dan Hilya seorang gadis yang dia nikahi, benar-benar menganggap pria itu ikhlas menikahinya.Hilya yang saat itu dibalut kerudung dan baju pengantin warna putih tampak mencium tangan Satya setelah semua saksi mengatakan shah. Dan kini mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri.Setelah acara pernikahan, Dirga yang mengaku sebagai keluarga terdekat Satya, meminta izin kepada orang tua Hilya untuk membawa Hilya ikut bersama mereka.Enta

  • Bidadari Spesial   Bab 6

    Satya berjalan menyusuri koridor hotel, hingga sampai di depan pintu kamar bernomor 102. Satya terlihat mulai menggedor-gedor pintu tersebut."Cepat buka pintunya!" teriak Satya dengan suara lantang."Ada apa?" tanya seorang laki-laki berwajah lesu yang sepertinya baru bangun tidur itu.Dengan wajah memerah Satya masuk ke dalam kamar laki-laki yang baru membuka pintu itu."Brengsek!!!" Maki Satya dengan melempar handphone yang ada ditangannya ke tempat tidur."Ada apa ini?" tanya laki-laki itu seraya mengambil handphone tersebut. "Handphone siapa ini?" tanyanya lagi."Kamu tau, gadis desa yang kamu bilang lugu dan bodoh itu! Dia adalah gadis yang sangat pintar!"Satya mengatakan hal itu dengan menunjuk muka laki-laki yang berdiri di hadapannya, yang tidak lain adalah Dirga."Maksud kamu?" tanya Dirga bingung."Mana berkas-berkas pernikahanku?" tanya Satya sembari memeriksa laci yang ada di samping tempat tidur Dirga.

  • Bidadari Spesial   Bab 7 (Ditinggalkan saat Malam Pertama)

    Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu."Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang kebingungan."Handphoneku hilang," kata Hilya."Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar."Kenapa?"Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya."Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."Hilya bergeming mendengar jawaban Satya."Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," kata Satya kemudian."Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan berlahan duduk di ranjang tidurnya."O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini.""Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah."Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."

  • Bidadari Spesial   Bab 8

    Satu hari telah berlalu, Hilya masih berada di dalam ruangan berukuran 35 meter persegi itu sendirian, sebuah ruangan yang sengaja Satya kunci dari luar.Hilya menunduk cemas, wajahnya tampak gelisah, ada rasa takut di hatinya, ketika dia harus sendirian berada dalam ruangan itu selama berjam-jam. Terbersit keinginan untuk menghubungi Satya, namun dia tidak bisa melakukannya, karena handphone miliknya pun telah disimpan oleh laki-laki itu."Kreek!!"Tiba-tiba suara pintu terbuka. Hilya segera bangkit dan menoleh ke arah pintu tersebut. Berharap Satya yang datang dan mengusir rasa ketakutan yang sedang dia hadapi."Mas Dirga? Mana suamiku?" tanya Hilya penuh harap dengan mata menyelidik ke luar pintu."Suamimu sibuk, dia ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan," sahut Dirga. "O iya, ini aku bawakan makanan, suamimu berpesan kamu harus banyak makan," lanjut Dirga dengan menyerahkan makanan itu pada Hilya."Ini dari suamiku?" tanya Hilya saa

  • Bidadari Spesial   Bab 9

    Kini Satya telah berada di kantornya. Wajahnya tampak gelisah."Kamu kenapa?" tanya Dirga mengejutkan pria tampan yang bersandar di meja kerjanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada."Mmm..." Satya tersenyum saat menoleh ke arah laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya itu."Ini ada beberapa berkas yang harus kamu pelajari!" kata laki-laki itu dengan meletakkan beberapa file di atas mejanya."Iya," jawab Satya dengan raut wajah masih gelisah."Okey!" sahut Dirga seraya berbalik untuk meninggalkan ruangan sahabatnya itu."Tunggu!" tiba-tiba Satya menghentikan langkahnya."Apa?" spontan Dirga menoleh ke arah Satya."Aku ingin bicara sebentar.""Bicara apa?"Satya mengajak Dirga untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya itu."Aku berniat untu

  • Bidadari Spesial   Bab 10

    Keesokan harinya Dirga benar-benar menepati janjinya, dia membeli semua kebutuhan dapur untuk Hilya. Bukan hanya itu, Dirga juga membelikan peralatan memasak untuk istri sahabatnya yang masih gadis itu.Tepat jam sembilan pagi, Dirga sudah berada di apartemen sahabatnya."Hilya! Hilya!"Dirga memangil-manggil Hilya yang tidak terlihat di setiap sudut ruangan itu.Hingga kemudian terdengar suara."Allahu Akbar!" suara lembut yang keluar dari mulut Hilya saat dia dudukdi antara dua sujud.Dirga memandang lekat gadis yang kembali bersujud itu. Ada suatu getaran di hatinya saat memperhatikan gadis yang sedang beribadah itu. Sepertinya hati kecilnya mulai berbisik, bahwa tidak seharusnya dia mempermainkan gadis desa yang begitu baik ini.Dan tiga menit kemudian."Maaf ya mas, aku masih sholat Dhuha," kata Hilya memecah lamunan Dirga."Iya, tidak apa-apa. Ini aku bawakan barang-barang pesananmu."Dirga menunjukkan

  • Bidadari Spesial   Bab 11

    Hari terus berganti, dan dua minggu telah berlalu. Sampai saat ini Satya belum juga mengunjungi apartemennya untuk menemui Hilya.Sore itu disebuah ruang kerja direktur Agung Wijaya group, tampak dua orang laki-laki duduk berhadap-hadapan sedang berkonsentrasi dengan laptopnya masing-masing."Sehari saja temui gadis itu, aku bilang padanya kalau kamu sekitar dua Minggu di luar kota, aku takut dia menanyakan kamu lagi padaku?"Dirga yang saat telah selesai mengerjakan tugas di laptopnya, mulai membujuk sahabatnya untuk menemui Hilya."Kamu cari alasan lagi saja! Aku tidak bisa menemuinya," sahut pria yang sedang berkutat dengan laptopnya itu acuh."Ayolah, berbuatlah baik pada gadis itu sebelum kamu menceraikannya!" rayu Dirga lagi."Kenapa kamu tiba-tiba simpati pada gadis itu?" tanya Satya dengan mengerutkan alisnya."Bukan begitu, masalahnya gadis itu kelihatannya sangat baik padamu.""Maksudmu?""Bayangkan saja saat t

  • Bidadari Spesial   Bab 12

    Hari itu telah berlalu, dan satu minggu telah terlewati.Siang ini Satya meluangkan waktu untuk menemui Dirga di kantornya, karena sudah beberapa hari ini pengacara muda itu tidak datang menemuinya."Kamu dimana?"Satya mulai menelepon dan bertanya tentang keberadaan sahabatnya itu, saat sampai di depan kantor konsultan hukum yang di papanya bertuliskan Dirgantara Prawira Dirja S.H M.H."Aku di kantor.""Aku di depan kantormu."Terlihat Satya masuk ke dalam kantor pengacara muda itu, dan menuju ruangannya."Kenapa tidak pernah muncul di kantorku?" tanya Satya saat melihat temannya itu sibuk dengan berkas-berkas hukum di mejanya."Aku sibuk," jawabnya datar."Jane, Vany, Jessy, Sarah, mereka semua meneleponku, mereka bilang akhir-akhir ini kamu susah dihubungi," kata Satya kemudian."Hmm..." Dirga membuang nafas keras sembari menatap pria berjas hitam dengan kemeja putih yang duduk di hadapannya. "Aku sedang tidak

Bab terbaru

  • Bidadari Spesial   Bab 83 (Tamat)

    Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata

  • Bidadari Spesial   Bab 82 (Ciuman Penahan Sakit)

    Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior

  • Bidadari Spesial   Bab 81 (proses persalinan)

    Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"

  • Bidadari Spesial   Bab 80 (Kontraksi)

    Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb

  • Bidadari Spesial   Bab 79 (Gugatan Cerai)

    Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand

  • Bidadari Spesial   Bab 79 (Gugatan Cerai)

    Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand

  • Bidadari Spesial   Bab 78 (Mencari Jodoh)

    Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men

  • Bidadari Spesial   Bab 77 (Belajar agama)

    Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de

  • Bidadari Spesial   Bab 76 (Satya Frustasi)

    Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me

DMCA.com Protection Status