Hilya mulai menunduk saat Abahnya meninggikan suara. Abah Hilya, Haji Abdul Ghofur sangat marah ketika Hilya bersikukuh menolak perjodohan yang telah dia putuskan.
"Wanita itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula apa sih yang kamu cari? Uang Abah banyak, nggak mungkin habis kamu gunakan sampai tujuh turunan. Kamu nggak perlu kerja, jadi untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, ijazah S1 kamu itu sudah cukup, nggak perlu kamu kuliah S2, S3, atau kuliah apalah itu namanya," ucap Haji Abdul Ghofur menyeranga. "Abah dan ummi sudah cukup menyekolahkan kamu, sekarang kewajiban Abah dan ummi adalah menikahkan kamu, jadi kamu tidak boleh menentang keputusan Abah!" putus Haji Abdul Ghofur seraya beranjak dari kursi yang semula dia duduki, meninggalkan Hilya dan umminya.
Terlihat Hajjah Halimah, ibunda Hilya yang biasa dia panggil ummi, mengelus-elus kepala Hilya yang dibalut oleh kerudung syar'i warna coklat muda.
"Abahmu benar, kamu adalah anak satu-satunya abah dan ummi, usiamu juga sudah cukup untuk menikah, jadi wajar jika abah sangat menginginkan menantu." Hajjah Halimah mencoba menjelaskan keinginan suaminya kepada putri semata wayangnya dengan suara lembut.
"Untuk apa sih nak kamu ingin melanjutkan S2? Ummi rasa pendidikan S1 kamu itu sudah cukup sebagai bekal mendidik anak-anak kamu nanti," sambung Hajjah Halimah dengan kembali mengelus-elus kepala putrinya yang masih menunduk lesu.
Terpancar kesedihan mendalam di raut wajah Hilya. Gadis yang baru satu hari pulang dari pesantren ini, meresa sangat kecewa dengan sikap abahnya yang tiba-tiba hendak menikahkannya dengan seorang pria pilihannya tanpa sebuah perundingan.
"Hilya sudah berjuang ummi untuk mendapatkan beasiswa S2 ini, dari sepuluh teman Hilya di pesantren, hanya Hilya yang lolos saat mengikuti tes. Hilya sedih ummi, Hilya harus melepaskan beasiswa S2 Hilya, dan harus melepaskan kesempatan untuk bisa belajar di luar negeri."
Hilya masih menunduk saat mengatakan hal tersebut pada umminya.
"Memangnya tujuan kamu apa sih nak, ingin jauh-jauh belajar di luar negeri?"
Hajjah Halimah kembali mengelus kepala putrinya dengan lembut.
"Hilya punya impian besar ummi, Hilya ingin setelah selesai pendidikan nanti, Hilya dapat membangun dan mengembangkan pendidikan yang berbasis Islam di desa ini, syukur-syukur Hilya bisa membangun pesantren," jelas Hilya.
"Hilya ingin ilmu Hilya bermanfaat ummi," tambahnya dengan suara masih diselimuti kesedihan.
Terlihat tangan lembut Hajjah Halimah menggenggam jari jemari putrinya.
"Dengan menikah, ilmu kamu juga bisa bermanfaat kok nak, kamu bisa mendidik anak-anak kamu nanti." Hajjah Halimah berusaha memberikan semangat.
"Bukan masalah itu ummi, Hilya sangat ingin membangun desa ini, membangun pendidikan di tanah abah yang sangat luas, agar menjadi manfaat dan pahalanya terus mengalir," sahut Hilya dengan menekan suaranya.
Hilya, gadis cantik nan pintar yang namanya memiliki arti perhiasan ini, mempunyai sebuah impian besar. Dia ingin membangun desanya setelah lulus dari pendidikan S2nya nanti.
Semula perasaan Hilya sangat bahagia ketika mendapatkan beasiswa pendidikan Pascasarjana di Khartoum International Institute For Arabic Language Sudan. Namun impiannya untuk belajar di luar negeri kini telah pupus, ketika abahnya tanpa sebuah perundingan telah menentukan tanggal pernikahan dirinya dengan laki-laki yang sama sekali belum dia kenal.
"Dengarkan ummi nak! Untuk masalah impianmu membangun pendidikan di desa ini, kamu tidak perlu khawatir. Calon suamimu adalah orang kaya, dia pasti sanggup membangunkan sekolah atau pun pesantren yang besar seperti impian kamu. Hotel berbintang saja dia bangun, apalagi hanya sebuah sekolahan," kata Hajjah Halimah dengan merangkul tubuh putrinya.
"Maksud ummi?"
"Nak, suami kamu itu seorang pengusaha besar, pengusaha sukses, dia telah banyak membangun rumah dan gedung-gedung bertingkat di kota. Seperti di kota kita saat ini, kamu tahu kan gedung berbintang yang masih dalam tahap pembangunan di tengah kota, itu calon suami kamu yang menangani proyek pembangunannya."
"Maksud ummi, gedung yang akan dijadikan mall dan rumah sakit itu?"
"Iya, benar."
"Berarti dia orang kaya ummi?"
"Hmm..." Hajjah Halimah tersenyum. "Iya, nak," lanjutnya dengan mengangkuk. "Tampan lagi," tambahnya.
"Bagaimana dengan akhlak dan agamanya ummi? Apa abah juga telah melihat dua hal itu, sebelum memutuskan menikahkan aku dengannya?"
Seketika Hajjah Halimah diam tak bergeming mendengar suara datar dari mulut putrinya. Matanya berkedip-kedip seolah memikirkan jawaban apa yang hendak dia berikan dari pertanyaan putrinya tersebut.
"Ummi yakin, abahmu pasti sudah memikirkan hal itu nak!" sahut Hajja Halimah dengan menepuk-nepuk bahu putrinya seraya meninggalkan gadis itu pergi.
Bersambung
Hilya mulai menunduk saat Abahnya meninggikan suara. Abah Hilya, Haji Abdul Ghofur sangat marah ketika Hilya bersikukuh menolak perjodohan yang telah dia putuskan.
"Wanita itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula apa sih yang kamu cari? Uang Abah banyak, nggak mungkin habis kamu gunakan sampai tujuh turunan. Kamu nggak perlu kerja, jadi untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, ijazah S1 kamu itu sudah cukup, nggak perlu kamu kuliah S2, S3, atau kuliah apalah itu namanya," ucap Haji Abdul Ghofur menyeranga. "Abah dan ummi sudah cukup menyekolahkan kamu, sekarang kewajiban Abah dan ummi adalah menikahkan kamu, jadi kamu tidak boleh menentang keputusan Abah!" putus Haji Abdul Ghofur seraya beranjak dari kursi yang semula dia duduki, meninggalkan Hilya dan umminya.
Terlihat Hajjah Halimah, ibunda Hilya yang biasa dia panggil ummi, mengelus-elus kepala Hilya yang dibalut oleh kerudung syar'i warna coklat muda.
"Abahmu benar, kamu adalah anak satu-satunya abah dan ummi, usiamu juga sudah cukup untuk menikah, jadi wajar jika abah sangat menginginkan menantu." Hajjah Halimah mencoba menjelaskan keinginan suaminya kepada putri semata wayangnya dengan suara lembut.
"Untuk apa sih nak kamu ingin melanjutkan S2? Ummi rasa pendidikan S1 kamu itu sudah cukup sebagai bekal mendidik anak-anak kamu nanti," sambung Hajjah Halimah dengan kembali mengelus-elus kepala putrinya yang masih menunduk lesu.
Terpancar kesedihan mendalam di raut wajah Hilya. Gadis yang baru satu hari pulang dari pesantren ini, meresa sangat kecewa dengan sikap abahnya yang tiba-tiba hendak menikahkannya dengan seorang pria pilihannya tanpa sebuah perundingan.
"Hilya sudah berjuang ummi untuk mendapatkan beasiswa S2 ini, dari sepuluh teman Hilya di pesantren, hanya Hilya yang lolos saat mengikuti tes. Hilya sedih ummi, Hilya harus melepaskan beasiswa S2 Hilya, dan harus melepaskan kesempatan untuk bisa belajar di luar negeri."
Hilya masih menunduk saat mengatakan hal tersebut pada umminya.
"Memangnya tujuan kamu apa sih nak, ingin jauh-jauh belajar di luar negeri?"
Hajjah Halimah kembali mengelus kepala putrinya dengan lembut."Hilya punya impian besar ummi, Hilya ingin setelah selesai pendidikan nanti, Hilya dapat membangun dan mengembangkan pendidikan yang berbasis Islam di desa ini, syukur-syukur Hilya bisa membangun pesantren," jelas Hilya.
"Hilya ingin ilmu Hilya bermanfaat ummi," tambahnya dengan suara masih diselimuti kesedihan.
Terlihat tangan lembut Hajjah Halimah menggenggam jari jemari putrinya.
"Dengan menikah, ilmu kamu juga bisa bermanfaat kok nak, kamu bisa mendidik anak-anak kamu nanti." Hajjah Halimah berusaha memberikan semangat.
"Bukan masalah itu ummi, Hilya sangat ingin membangun desa ini, membangun pendidikan di tanah abah yang sangat luas, agar menjadi manfaat dan pahalanya terus mengalir," sahut Hilya dengan menekan suaranya.
Hilya, gadis cantik nan pintar yang namanya memiliki arti perhiasan ini, mempunyai sebuah impian besar. Dia ingin membangun desanya setelah lulus dari pendidikan S2nya nanti.
Semula perasaan Hilya sangat bahagia ketika mendapatkan beasiswa pendidikan Pascasarjana di Khartoum International Institute For Arabic Language Sudan. Namun impiannya untuk belajar di luar negeri kini telah pupus, ketika abahnya tanpa sebuah perundingan telah menentukan tanggal pernikahan dirinya dengan laki-laki yang sama sekali belum dia kenal.
"Dengarkan ummi nak! Untuk masalah impianmu membangun pendidikan di desa ini, kamu tidak perlu khawatir. Calon suamimu adalah orang kaya, dia pasti sanggup membangunkan sekolah atau pun pesantren yang besar seperti impian kamu. Hotel berbintang saja dia bangun, apalagi hanya sebuah sekolahan," kata Hajjah Halimah dengan merangkul tubuh putrinya.
"Maksud ummi?"
"Nak, suami kamu itu seorang pengusaha besar, pengusaha sukses, dia telah banyak membangun rumah dan gedung-gedung bertingkat di kota. Seperti di kota kita saat ini, kamu tahu kan gedung berbintang yang masih dalam tahap pembangunan di tengah kota, itu calon suami kamu yang menangani proyek pembangunannya."
"Maksud ummi, gedung yang akan dijadikan mall dan rumah sakit itu?"
"Iya, benar."
"Berarti dia orang kaya ummi?"
"Hmm..." Hajjah Halimah tersenyum. "Iya, nak," lanjutnya dengan mengangkuk. "Tampan lagi," tambahnya.
"Bagaimana dengan akhlak dan agamanya ummi? Apa abah juga telah melihat dua hal itu, sebelum memutuskan menikahkan aku dengannya?"
Seketika Hajjah Halimah diam tak bergeming mendengar suara datar dari mulut putrinya. Matanya berkedip-kedip seolah memikirkan jawaban apa yang hendak dia berikan dari pertanyaan putrinya tersebut.
"Ummi yakin, abahmu pasti sudah memikirkan hal itu nak!" sahut Hajja Halimah dengan menepuk-nepuk bahu putrinya seraya meninggalkan gadis itu pergi.
Bersambung
Waktu terus berjalan, satu minggu sudah Hilya berada di rumahnya, dan lima hari lagi adalah hari pernikahannya.Tampak kesibukan di tengah-tengah rumah keluarga Hilya, rumah termewah yang ada di Desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat Hilya dilahirkan.Semilirnya angin sore hari di Desa Kemuning menjadikan saksi kegundahan hati Hilya. Gadis cantik itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kekecewaan, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga."Hilya! Ada telepon!" seru Hajjah Halimah dengan membawa telepon genggam milik Hilya yang tergeletak di meja ruang keluarga.Hilya yang saat itu berdiri di samping jendela kamarnya seketika keluar menuju suara yang memanggilnya.Hilya segera meraih telepon dari tangan umminya dan mengangkat telepon tersebut."Assalamualaikum ustadz!"Berlahan
Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur."Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya."Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya."Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum."Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.
Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya."Kenapa berhenti?""Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya."Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga."Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga."Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu."Sana ikuti gadis itu unt
Satu hari, dua hari, tiga hari, hingga akhirnya sampailah acara pernikahan Satya dan Hilya.Acara pernikahan itu digelar dengan sangat mewah dan meriah di rumah orang tua Hilya, Haji Abdul Ghofur.Dirga beserta rombongan yang kurang lebih sebanyak lima puluh orang, datang ke acara pernikahan itu sebagai keluarga Satya.Acara pun berjalan dengan hikmad, meski pernikahan itu hanya sandiwara bagi Satya, namun Satya mengucapkan Ijab Kabul dengan sempurna, dan Hilya seorang gadis yang dia nikahi, benar-benar menganggap pria itu ikhlas menikahinya.Hilya yang saat itu dibalut kerudung dan baju pengantin warna putih tampak mencium tangan Satya setelah semua saksi mengatakan shah. Dan kini mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri.Setelah acara pernikahan, Dirga yang mengaku sebagai keluarga terdekat Satya, meminta izin kepada orang tua Hilya untuk membawa Hilya ikut bersama mereka.Enta
Satya berjalan menyusuri koridor hotel, hingga sampai di depan pintu kamar bernomor 102. Satya terlihat mulai menggedor-gedor pintu tersebut."Cepat buka pintunya!" teriak Satya dengan suara lantang."Ada apa?" tanya seorang laki-laki berwajah lesu yang sepertinya baru bangun tidur itu.Dengan wajah memerah Satya masuk ke dalam kamar laki-laki yang baru membuka pintu itu."Brengsek!!!" Maki Satya dengan melempar handphone yang ada ditangannya ke tempat tidur."Ada apa ini?" tanya laki-laki itu seraya mengambil handphone tersebut. "Handphone siapa ini?" tanyanya lagi."Kamu tau, gadis desa yang kamu bilang lugu dan bodoh itu! Dia adalah gadis yang sangat pintar!"Satya mengatakan hal itu dengan menunjuk muka laki-laki yang berdiri di hadapannya, yang tidak lain adalah Dirga."Maksud kamu?" tanya Dirga bingung."Mana berkas-berkas pernikahanku?" tanya Satya sembari memeriksa laci yang ada di samping tempat tidur Dirga.
Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu."Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang kebingungan."Handphoneku hilang," kata Hilya."Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar."Kenapa?"Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya."Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."Hilya bergeming mendengar jawaban Satya."Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," kata Satya kemudian."Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan berlahan duduk di ranjang tidurnya."O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini.""Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah."Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."
Satu hari telah berlalu, Hilya masih berada di dalam ruangan berukuran 35 meter persegi itu sendirian, sebuah ruangan yang sengaja Satya kunci dari luar.Hilya menunduk cemas, wajahnya tampak gelisah, ada rasa takut di hatinya, ketika dia harus sendirian berada dalam ruangan itu selama berjam-jam. Terbersit keinginan untuk menghubungi Satya, namun dia tidak bisa melakukannya, karena handphone miliknya pun telah disimpan oleh laki-laki itu."Kreek!!"Tiba-tiba suara pintu terbuka. Hilya segera bangkit dan menoleh ke arah pintu tersebut. Berharap Satya yang datang dan mengusir rasa ketakutan yang sedang dia hadapi."Mas Dirga? Mana suamiku?" tanya Hilya penuh harap dengan mata menyelidik ke luar pintu."Suamimu sibuk, dia ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan," sahut Dirga. "O iya, ini aku bawakan makanan, suamimu berpesan kamu harus banyak makan," lanjut Dirga dengan menyerahkan makanan itu pada Hilya."Ini dari suamiku?" tanya Hilya saa
Kini Satya telah berada di kantornya. Wajahnya tampak gelisah."Kamu kenapa?" tanya Dirga mengejutkan pria tampan yang bersandar di meja kerjanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada."Mmm..." Satya tersenyum saat menoleh ke arah laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya itu."Ini ada beberapa berkas yang harus kamu pelajari!" kata laki-laki itu dengan meletakkan beberapa file di atas mejanya."Iya," jawab Satya dengan raut wajah masih gelisah."Okey!" sahut Dirga seraya berbalik untuk meninggalkan ruangan sahabatnya itu."Tunggu!" tiba-tiba Satya menghentikan langkahnya."Apa?" spontan Dirga menoleh ke arah Satya."Aku ingin bicara sebentar.""Bicara apa?"Satya mengajak Dirga untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya itu."Aku berniat untu