Satya terlihat gelisah saat berada di dalam mobil. Sesekali Dian menghela napas panjang dan mengusap-usap kepalanya. Sepertinya, kata-kata mamanya yang baru saja dia dengar sangat mempengaruhi pikirannya. Namun sekalipun demikian, dia mencoba sejenak menepis kekalutannya, untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan yang ada di kantor.Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga delapan jam telah berlalu.Tepat jam lima sore. Mobil Satya sudah berada di halaman rumahnya.Satya bergegas masuk ke dalam rumah dan berjalan cepat masuk ke dalam kamar.Sepertinya laki-laki itu terburu-buru untuk segera menemui Hilya.Ketika hendak masuk ke dalam kamar, Satya melihat mamanya sedang berada di dalam kamar itu, dan berbicara dengan istrinya.Satya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar, dia memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan mama dan istrinya dari luar kamar. Hingga selang beberapa menit kemudian mamanya dan Hilya mengakhiri pembicaraan itu."Satya!"Ibu Diana terperanjat saat membuka pintu da
Hari itu telah berganti, kini pagi menjelang. Hilya sudah bersiap untuk meninggalkan rumah laki-laki yang telah menikahinya beberapa bulan yang lalu.Di dalam kamar, Hilya sudah bersiap untuk membawa barang-barangnya keluar.Tok tok tok!Terdengar suara seseorang mengetuk pintu.Ceklek!Terlihat seorang gadis kecil masuk ke dalam kamar yang ditempati Hilya.Tiba-tiba gadis kecil itu berlari ke arah Hilya yang saat itu hendak mengangkat barang-barangnya."Aku tidak ingin kakak pergi!" kata gadis itu dengan memeluk erat tubuh Hilya. "Oma bilang kakak sedang sakit, dan aku tidak boleh menemui kakak! Aku mematuhi perintah Oma, meski aku sangat rindu kakak," lanjut gadis kecil itu."Tapi saat aku dengar hari ini kakak mau pergi, aku ingin segera bertemu dengan kakak. Aku sedih! Aku tidak ingin kakak pergi!" ungkapnya. "Kakak belum pernah bermain bersamaku meski pun kakak ada di rumah ini. Kakak juga belum pernah membantuku belajar. Lalu, kenapa kakak sudah mau pergi?"Gadis kecil itu terli
Kini orang tua Hilya telah meninggalkan rumah keluarga Agung Wijaya. Sementara Hilya tetap berada di rumah itu. Entah apa alasan Hilya untuk tetap berada di rumah itu, mungkinkah karena rasa cinta pada Satya, ataukah hanya sekedar mempertahankan pernikahan demi anak yang ada dalam kandungannya.Dua hari telah berlalu. Malam ini di rumah ibu Diana, terlihat Clarissa dengan membawa koper masuk ke dalam rumah itu.Hilya yang saat itu tidak sengaja melihat Clarissa penuh tanda tanya di lama hati, apalagi saat mendengar percakapan wanita itu dengan Ibu Diana."Mama! Kenapa wanita itu masih ada di sini?" tanya Clarissa yang melihat Hilya baru turun dari lantai dua kamarnya."Duduklah dulu! Nanti mama jelaskan," sahut Ibu Diana dengan meminta Clarissa duduk di sampingnya saat berada di meja makan.Hilya yang saat itu hendak bergabung di meja makan bersama mereka mengurungkan niatnya. Hilya bergegas melangkah menuju dapur, dan pura-pura mengambil minuman di dalam kulkas yang ada di dapur.Ter
Kini pagi telah menjelang. Setelah berpakaian rapi Satya bergegas keluar dari kamarnya, dia terlihat menuju kamar Ibu Diana.Ceklek!Satya membuka pintu kamar yang tidak dikunci tersebut."Ada apa?" tanya wanita yang masih duduk di depan meja riasnya tersebut, saat melihat putranya masuk ke dalam kamar."Ma! Aku merasa tidak nyaman Clarissa berada di rumah ini. Tolong suruh dia pergi!" kata Satya."Satya! Mama yang meminta Clarissa untuk tinggal di rumah ini sampai orang tuanya datang. Jadi, mana mungkin mama menyuruh dia pergi!" sahut Ibu Diana. "Lagi pula, mama memang sengaja meminta Clarissa untuk tinggal di rumah ini, karena mama ingin menyadarkan kamu. Kalau kamu tidak pernah mencintai Hilya," kata Ibu Diana."Mama!" Satya menekan suaranya. "Tindakan Mama ini bisa melukai perasaan Hilya!" sahut Satya. "Dan Mama, juga bisa semakin melukai hati Clarissa," tambahnya. "Kerena, aku sama sekali sudah tidak menginginkan Clarissa.""Tidak menginginkan? Bukan berarti tidak mencintai, kan?
Selepas sarapan, Satya mengikuti langkah Hilya menuju kamarnya."Aku minta maaf, tadi aku tidak sengaja memanggil Clarissa dengan sebutan seperti itu!" Jelas Satya saat mengikuti langkah Hilya masuk ke dalam kamarnya. "Mmm... Semua terjadi begitu saja, aku spontan mengatakannya saat aku melihat selai kacang itu."Hilya menoleh ke arah Satya sembari tersenyum tipis, seraya duduk di tepi ranjang."Jangan marah, ya! Aku mohon!" pinta Satya dengan berlutut dihadapan Hilya sembari menggenggam tangannya."Aku mengerti, bertahun-tahun kalian menjalin hubungan, bahkan setelah kita menikah pun, kamu masih menjalin hubungan dengannya. Jadi, mana mungkin kenangan tentang dia bisa kamu lupakan begitu saja," jawab Hilya."Jadi kamu tidak marah?""Hmmmh!"Hilya kembali tersenyum."Kamu tidak cemburu?" tanya Satya dengan masih menggenggam tangan Hilya."Menurut Mas Satya?"Hilya berbalik tanya."Jika kamu cemburu aku sangat bahagia, karena itu artinya kamu takut kehilangan aku," sahut Satya dengan s
Hilya bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Setelah sampai di kamar, Hilya melangkah menuju tempat tidur dan berniat untuk membaringkan tubuhnya, namun disaat dia hampir berbaring, tiba-tiba Clarissa membuka pintu kamar dengan paksa tanpa permisi.Gubrak!!"Ada apa?" tanya Hilya dengan wajah kesal."Hmmmh!"Clarissa menyahutinya dengan tersenyum sinis."Dengar ya, gadis kampung!" ujar Clarissa kemudian. "Kalau kamu berpikir aku iri dengan statusmu sebagai istri tuan muda rumah ini, kamu keliru besar," lanjutnya. "Kamu bukanlah wanita yang diinginkan Satya. Kamu juga sama sekali bukan tipe Satya," tambahnya. "Dan kalau pun saat ini Satya memperhatikan kamu, itu bukan karena dia menginginkan kamu, melainkan, karena anak dalam kandungan kamu itu. Jadi, berhenti bersikap seolah kamu permaisuri di rumah ini!"Clarissa terlihat sangat geram saat mengatakan hal tersebut pada Hilya.Sementara Hilya masih terlihat duduk tenang di tepi ranjang tidurnya, dengan memperhatikan Clarissa
Subuh menjelang. Hilya sudah duduk di atas sajadahnya.Setelah melaksanakan salat subuh, dia menoleh ke arah Satya, yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Berlahan Hilya menghampiri laki-laki itu. Duduk di sampingnya, dan menyentuh lembut pipinya."Mas!"Hilya menepuk-nepuk pipinya dengan lembut."Sayang!"Satya terjaga dengan senyum menyapa Hilya."Katanya Mas Satya mau belajar bertaubat. Ayo bangun, salat subuh!""Sayang! Mas masih ngantuk," sahut Satya manja dengan merangkul pinggang Hilya dan tidur di pangkuannya."Mas! Ayo bangun! Nanti kalau sudah salat subuh! Hilya kasih hadiah!" rayu Hilya dengan mengusap-usap lembut rambut Satya."Apa?"Seketika Satya mendongakkan kepala."Waktu mandi, aku gosokin punggungnya," ucap Hilya dengan senyum nakal.Satya pun tersenyum girang, sembari langsung duduk tegap."Bener? Janji?"Satya mengangkat jari kelingkingnya di hadapan Hilya."Iya janji!" sahut Hilya dengan menyatukan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Satya.Satya pun te
Sore itu, Satya membawa Hilya ke salah satu butik milik seorang desainer terbaik yang ada di kota itu.Satya mulai meminta pemilik butik untuk memilihkan gaun terbaik yang bisa Hilya pakai di pesta malam nanti.Setelah lama memilih, pilihan Satya jatuh pada gaun mewah berwarna merah jambu.Kulit Hilya yang mulus, putih bersi, tentu sangat cocok dengan warna gaun pilihan Satya tersebut.Tidak hanya itu. Satya juga membawa Hilya ke salon milik seorang tata rias ternama.Satya meminta seorang penata rias dan seorang desainer ternama tersebut, memberikan sentuhan yang luar biasa pada penampilan Hilya.Akhirnya dengan bantuan penata rias tersebut, malam ini Hilya dapat mendampingi Satya dengan penampilan yang sangat sempurna.Tepat jam tujuh malam. Mobil Satya telah sampai di tempat parkir hotel berbintang lima.Satya meminta Hilya untuk menggandeng tangannya.Mereka berdua masuk ke dalam hall sebuah hotel berbintang tersebut.Sekalipun saat itu hanya Hilya satu-satunya pengunjung pesta ya