Pagi telah menjelang. Terlihat Hilya berjalan di koridor sekolah menuju kelas dimana dia akan mengajar.
"Hilya!" seru seorang laki-laki menghentikan langkahnya saat hendak memasuki pintu kelas.
Hilya spontan menoleh.
"Assalamualaikum, Dokter!" sapa Hilya dengar tersenyum ke arah laki-laki yang hampir setiap hari mengunjunginya itu.
"Waalaikumus salam!" sahut Dokter Candra. "Aku ingin bicara sebentar, bisa kan?"
"Iya."
Hilya mengangguk sembari mengikuti langkah dokter Candra yang berjalan menuju mobilnya.
Terlihat dokter Candra membukakan pintu mobil untuk Hilya.
Dengan rasa penasaran Hilya pun masuk ke dalam mobil itu.
"Ada apa ya, Dok?" tanya Hilya saat dokter Candra sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya.
"Hilya! Kamu perlu tahu, kalau aku dan mama benar-benar tulus, ingin menolongmu! Jadi, tolong katakan yang jujur kepada kami!"
"Maksud dokter?" Hilya mengernyitkan dahi.
"Hilya, jangan
Seharian ini, Satya tampak berkeliling di area lembaga pendidikan milik Ustadz Ja'far. Entah apa yang Satya lakukan. Namun terlihat Ustadz Ja'far sangat bahagia saat menemani laki-laki itu berkeliling melihat-lihat gedung sekolah miliknya.Hingga kemudian dia meminta ijin pada Ustadz Ja'far untuk bertemu dengan Hilya."O, iya. Ustadz! Boleh tidak saya bertemu dengan Ustadzah Hilya. Mmm, dulu dia pernah bekerja sebagai guru privat keponakan saya. Jadi, saya ingin menyapanya!" kata Satya."O, iya, tentu saja. Apa perlu saya panggil biar Ustadzah Hilya ke sini?"Ustadz Ja'far menawarkan pada Satya untuk memanggil Hilya ke kantornya."Tidak usah, biar saya cari dia ke kelasnya saja!""Oooh, iya. Boleh, silahkan! Sebentar lagi anak-anak istirahat kedua dan sholat dzuhur berjamaah, jadi bapak Satya bisa langsung bertemu dengan Ustadzah Hilya!""Iya, terima kasih!" sahut Satya.Sesaat setelah itu, Satya melangkah menuju kelas di mana
Clarissa terlihat bersandar lemas di tembok rumah itu, dengan air mata yang terus berlinang. "Maafkan aku!" kata Satya lirih dengan kembali menyentuh lengan wanita cantik itu. Seketika Clarissa menepis tangan Satya. "Katakan padaku? Seperti apa wanita yang sudah merebut kamu dariku?" Clarisa menegakkan kepalanya dan kembali menarik kerah baju Satya. "Selama ini. Kamu selalu memujiku, mengagumiku, mengatakan kalau aku adalah kebahagiaanmu! Katakan padaku! Siapa wanita itu?" teriak Clarissa lagi. "Apa yang membuat kamu, lebih memilih dia dari pada aku?" pekik Clarissa. "Apa dia lebih baik dari aku?" tanya Clarissa dengan semakin kuat menarik kerah baju Satya hingga kancing baju Satya berjatuhan. "Iya," sahut Satya lirih dengan menatap sendu mata Clarissa. "Apa?" tanya Clarissa lagi meyakinkan dirinya dengan jawaban Satya yang baru saja dia dengar. "Iya," sahut Satya dengan jawaban yang sama. Seketi
Sore telah menjelang. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu telah selesai.Setelah membereskan lembar kerja murid-muridnya, Hilya bergegas keluar dari kelas.Dia berjalan menyusuri ruang-ruang kelas menuju kantor sekolah.Di tengah perjalanan, Ustadzah Naila memanggilnya."Ustadzah! Tunggu!"Ustadzah Naila menghampiri Hilya dan menjejeri langkahnya."Ustadzah, terima kasih ya! Aku nggak nyangka, pak direktur benar-benar perhatian, membawakan aku makanan dan buket buah juga," kata Ustadzah Naila.Hilya tersenyum tipis mendengar uangkapan bahagia sahabatnya. Meski sebenarnya ada rasa bersalah di hati Hilya, karena sudah berbohong dengan mengatakan kalau buket buah dan makanan itu adalah hadiah dari Pak Direktur untuk Ustadzah Naila yang dititipkan padanya.Ditengah keasyikan Ustadzah Naila bercerita tentang kebahagiaannya. Tiba-tiba Pak Direktur Satya berdiri di hadapan mereka berdua."Assalamualaikum, Ustadzah!" sapa S
Keesokan paginya, mobil Satya sudah terparkir di halaman gedung sekolah tempat Hilya mengajar.Satya mengurungkan niatnya untuk keluar dari dalam mobil, ketika sebuah mini bus warna hitam berhenti, dan parkir di sebelah mobil mewahnya.Terlihat seorang laki-laki berkemeja hijau, keluar dari dalam mobil.Dia adalah Ustadz Imran. Dia tampak bercermin di jendela kaca mobilnya, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Saat Ustadz Imran masih berdiri di samping mobilnya. Tiba-tiba Satya membuka pintu mobil, dan menghempaskan pintu itu dengan keras hingga mengenai tubuh Ustadz Imran."Astaghfirullah!"Ustadz Imran terkejut."Maaf! Aku tidak sengaja!" kata Satya pura-pura tidak sengaja melakukannya."Mmm, tidak apa-apa!" sahut Ustadz Imran dengan tersenyum."O, iya. Kenalkan! Aku Satya. Donatur yang sedang menyelesaikan pembangunan gedung baru di sekolah ini!" kata Satya dengan menjulurkan tangannya untuk bersalaman."Iya."Ustadz Imran langsung menjabat tangan Satya dengan mengangguk."
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Ibu Diana sudah duduk rapi di meja makan.Satya yang baru turun dari lantai dua rumahnya, segera menghampiri wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu."Selamat pagi, Ma!" sapanya dengan mencium pipi mamanya.Pagi ini Satya terlihat berpenampilan casual dengan celana jeans dan sweater panjang yang lengannya dia tarik ke atas hingga mendekati siku.Laki-laki itu tampak duduk di hadapan mamanya dengan menyendok nasi dan sayuran untuk dia makan."Hari ini mama akan ke rumah sakit lagi! Mama harap, kamu bisa menemani mama ke sana!""Maaf, Ma! Pagi ini aku sudah janji pada Clara, akan mengantarnya jalan-jalan ke toko buku.""Satya!"Ibu Diana menatap Satya kesal."Mama akan tunggu!" timpal Ibu Diana."Setelah mengantar Clara. Satya ada janji dengan klien," sahut Satya."Ini hari minggu! Apa tidak ada hari lain untuk bertemu dengan klien?""Sudah terlanjur janji.""Hmmmh!"Ibu Diana membuang napas kesal."Kenapa kamu berubah menjadi jahat pada Clar
"Lepas!"Hilya berusaha menggerakkan tangannya untuk melepaskan cengkraman kuat tangan Satya."Aku sudah cukup bersabar dengan sikap angkuh, kamu! Dan sekarang aku tidak akan melepaskanmu!" kata Satya kesal."Kamu mau apa?" tanya Hilya dengan membalikkan badan, dan mendongakkan wajahnya melihat ke arah Satya."Sudah cukup kamu menyiksa aku seperti ini!" tegas Satya. "Berhenti menolak diriku! Berhenti bersikap angkuh padaku! Berhenti mengacuhkanku! Sekarang juga ikut aku!" kata Satya dengan menarik lengan Hilya."Aku tidak mau! Lepas!" pekik Hilya dengan berusaha melepaskan tangan kuat Satya yang menarik lengannya hingga terasa sakit.Dengan mengerahkan semua tenaganya, akhirnya Hilya dapat melepaskan cengkraman tangan kuat Satya itu. Dan, Satya kembali menarik tangan Hilya yang hendak berlari meninggalkannya."Mau kemana kamu? Aku tidak akan melepaskanmu!"Satya terlihat geram."Dengar ya Hilya! Aku benar-benar tidak habis pikir dengan sikapmu. Kamu bisa bersikap ramah pada laki-laki
Satya masih tampak berlutut di ujung kaki Ibu Diana.Ibu Diana masih bergeming dan terisak tangis."Keluarga pasien Hilya!" panggil seorang perawat rumah sakit.Seketika Satya bangkit dan menoleh ke arah suara itu."Saya suaminya!" kata Satya dengan menghampiri perawat perempuan itu."Pasien Hilya masih kritis. Dia kehabisan darah yang cukup banyak. Kita sudah melakukan donor darah, dan persediaan darah di bank darah, tidak mencukupi. Tolong! Mungkin ada keluarga atau sanak saudara yang memiliki golongan darah sama, dan bisa mendonorkan!" kata perawat itu.Terlihat kemudian, perawat itu menjelaskan tentang golongan darah Hilya di depan Satya dan Ibu Diana.Setelah perawat itu pergi. Satya mulai menoleh ke arah mamanya."Ma, tolong Hilya dan anakku, Ma!" kata laki-laki itu dengan mengatupkan kedua tangan.Ibu Diana yang masih diselimuti rasa kesal dan kesedihan segera meraih handphone dari dalam tas kecilnya, dan mulai menghubungi entah siapa untuk meminta pertolongan donor darah.Seme
Setelah kepergian Dirga dari kamarnya, Satya kembali memikirkan kata-kata Dirga. Timbul pertanyaan di benaknya, mungkinkan dokter Candra akan mempengaruhi Hilya untuk menuntut dirinya.Ada perasaan cemas di pikirannya, kalau-kalau dokter Candra benar-benar akan melakukan hal itu."Hmmmh!"Terdengar dia membuang napas kuat, dan kemudian menepis perasaannya itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.Kakinya mulai melangkah mendekat ke arah tempat tidur Hilya. Dengan perasaan kacau, dia memandangi wanita yang terkulai lemas di atas bed rumah sakit karena keegoisannya itu.Ada rasa bersalah di hatinya. Apalagi saat ini, wanita itu tengah mengandung anaknya.Namun tiba-tiba di tengah kegundahannya, seorang wanita dengan selang infus di tangan masuk ke dalam kamar itu mengejutkan dirinya."Clarissa? Kenapa kamu ada sini?" tanyanya kaget, saat melihat mantan tunangannya tiba-tiba berdiri di belakangnya."Sayang! Aku tahu kamu adalah laki-laki yang baik! Aku tahu kamu memutuskan hubungan kita
Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata
Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior
Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"
Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand
Siang itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dirga bergegas menuju kantor Satya."Aku lupa, kita hampir saja terlambat. Hari ini kamu ada jadwal kencan dengan Lily Harland. Putri pengungusa Cokro Harland. Dia baru saja menyelesaikan sekolah bisnisnya di Eropa, dan saat ini, menjabat sebagai direktur di anak perusahaan ayahnya," terang Dirga."Ayo cepat!" kata Dirga kemudian seraya keluar dari ruang kerja Satya.Satya pun bergegas mengikuti langkah Dirga dengan merapikan kancing jasnya.Pengusaha kaya itu, terlihat sangat tampan saat mengenakan setelan jas dengan warna apa pun.Dua puluh menit kemudian mobil yang dinaiki Satya sudah berhenti di halaman parkir hotel bintang lima.Ternyata Dirga mengatur pertemuan Satya dengan putri pengusaha kaya itu, di sebuah restoran mewah yang ada di dalam hotel ini.Saat ini Satya telah duduk di restoran, menunggu wanita cantik yang akan dia temui."Dia masih di jalan," bisik Dirga saat Satya berkali-kali melihat arloji di tangannya.Beberapa men
Pukul dua puluh satu malam, Satya baru sampai di rumahnya. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan membersihkan diri.Setelah itu dia tampak membuka laci, mengambil sebuah buku kecil tuntutan salat yang pernah diberikan oleh istrinya.Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan membaca buku tersebut."Aaaaagh!" desahnya."Hmmmh!" kemudian dia membuang napas keras, dan meraih handphone yang ada di meja lampu tidurnya.Dia menyentuh layar handphone tersebut. Terlihat gambar Hilya, wanita yang pernah dinikahinya di layar utama handphone tersebut.Gambar wanita cantik itu, tampak tersenyum manis ke arahnya.Satya tersebut kecil. Entah apa yang laki-laki kaya itu pikirkan, mungkin rasa rindu, karena sudah hampir satu Minggu mereka tidak bertemu.Namun tiba-tiba senyum di bibir Satya menghilang, berganti dengan wajah kesal."Wanita macam apa kamu? Keluar dari rumah tanpa izin. Kamu pikir, aku akan meneleponmu? Tidak akan pernah!"Satya tampak berbicara de
Kini pagi telah tiba. Satya sudah berada di ruang kerjanya berjibaku dengan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di meja.Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Satya."Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki yang tidak lain adalah pengacara Satya tersebut.Satya melirik laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaannya, seraya kemudian melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya."O, iya. Bagaiman kabar Clarissa? Kapan kalian menikah?" tanya pengacara itu kemudian sembari duduk di hadapan Satya."Clarissa sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali ke Jepang setelah kejadian kemarin," sahut Satya dengan masih mengerjakan sesuatu di laptopnya."Oooh.... Pantas, kamu terlihat frustrasi sekali. Ternya, dua orang wanita yang sangat mencintaimu, kompak meninggalkan kamu secara bersamaan," ejek Dirga dengan terkekeh."Hmmmh!"Satya membuang napas keras sembari melirik Dirga dengan wajah kesal."Kapan rencana kamu menyusul Clarissa ke Jepang?" tanya Dirga lagi."Siapa bilang aku mau me