Pagi telah menjelang. Seperti biasa Ibu Diana sudah duduk rapi di meja makan.Satya yang baru turun dari lantai dua rumahnya, segera menghampiri wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu."Selamat pagi, Ma!" sapanya dengan mencium pipi mamanya.Pagi ini Satya terlihat berpenampilan casual dengan celana jeans dan sweater panjang yang lengannya dia tarik ke atas hingga mendekati siku.Laki-laki itu tampak duduk di hadapan mamanya dengan menyendok nasi dan sayuran untuk dia makan."Hari ini mama akan ke rumah sakit lagi! Mama harap, kamu bisa menemani mama ke sana!""Maaf, Ma! Pagi ini aku sudah janji pada Clara, akan mengantarnya jalan-jalan ke toko buku.""Satya!"Ibu Diana menatap Satya kesal."Mama akan tunggu!" timpal Ibu Diana."Setelah mengantar Clara. Satya ada janji dengan klien," sahut Satya."Ini hari minggu! Apa tidak ada hari lain untuk bertemu dengan klien?""Sudah terlanjur janji.""Hmmmh!"Ibu Diana membuang napas kesal."Kenapa kamu berubah menjadi jahat pada Clar
"Lepas!"Hilya berusaha menggerakkan tangannya untuk melepaskan cengkraman kuat tangan Satya."Aku sudah cukup bersabar dengan sikap angkuh, kamu! Dan sekarang aku tidak akan melepaskanmu!" kata Satya kesal."Kamu mau apa?" tanya Hilya dengan membalikkan badan, dan mendongakkan wajahnya melihat ke arah Satya."Sudah cukup kamu menyiksa aku seperti ini!" tegas Satya. "Berhenti menolak diriku! Berhenti bersikap angkuh padaku! Berhenti mengacuhkanku! Sekarang juga ikut aku!" kata Satya dengan menarik lengan Hilya."Aku tidak mau! Lepas!" pekik Hilya dengan berusaha melepaskan tangan kuat Satya yang menarik lengannya hingga terasa sakit.Dengan mengerahkan semua tenaganya, akhirnya Hilya dapat melepaskan cengkraman tangan kuat Satya itu. Dan, Satya kembali menarik tangan Hilya yang hendak berlari meninggalkannya."Mau kemana kamu? Aku tidak akan melepaskanmu!"Satya terlihat geram."Dengar ya Hilya! Aku benar-benar tidak habis pikir dengan sikapmu. Kamu bisa bersikap ramah pada laki-laki
Satya masih tampak berlutut di ujung kaki Ibu Diana.Ibu Diana masih bergeming dan terisak tangis."Keluarga pasien Hilya!" panggil seorang perawat rumah sakit.Seketika Satya bangkit dan menoleh ke arah suara itu."Saya suaminya!" kata Satya dengan menghampiri perawat perempuan itu."Pasien Hilya masih kritis. Dia kehabisan darah yang cukup banyak. Kita sudah melakukan donor darah, dan persediaan darah di bank darah, tidak mencukupi. Tolong! Mungkin ada keluarga atau sanak saudara yang memiliki golongan darah sama, dan bisa mendonorkan!" kata perawat itu.Terlihat kemudian, perawat itu menjelaskan tentang golongan darah Hilya di depan Satya dan Ibu Diana.Setelah perawat itu pergi. Satya mulai menoleh ke arah mamanya."Ma, tolong Hilya dan anakku, Ma!" kata laki-laki itu dengan mengatupkan kedua tangan.Ibu Diana yang masih diselimuti rasa kesal dan kesedihan segera meraih handphone dari dalam tas kecilnya, dan mulai menghubungi entah siapa untuk meminta pertolongan donor darah.Seme
Setelah kepergian Dirga dari kamarnya, Satya kembali memikirkan kata-kata Dirga. Timbul pertanyaan di benaknya, mungkinkan dokter Candra akan mempengaruhi Hilya untuk menuntut dirinya.Ada perasaan cemas di pikirannya, kalau-kalau dokter Candra benar-benar akan melakukan hal itu."Hmmmh!"Terdengar dia membuang napas kuat, dan kemudian menepis perasaannya itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.Kakinya mulai melangkah mendekat ke arah tempat tidur Hilya. Dengan perasaan kacau, dia memandangi wanita yang terkulai lemas di atas bed rumah sakit karena keegoisannya itu.Ada rasa bersalah di hatinya. Apalagi saat ini, wanita itu tengah mengandung anaknya.Namun tiba-tiba di tengah kegundahannya, seorang wanita dengan selang infus di tangan masuk ke dalam kamar itu mengejutkan dirinya."Clarissa? Kenapa kamu ada sini?" tanyanya kaget, saat melihat mantan tunangannya tiba-tiba berdiri di belakangnya."Sayang! Aku tahu kamu adalah laki-laki yang baik! Aku tahu kamu memutuskan hubungan kita
Sore ini, Satya sudah berada di kamar Hilya. Hilya masih juga belum terjaga dari tidurnya.Perasaan Satya mulai cemas, karena sudah hampir dua hari Hilya belum juga terjaga.Dreeet! Terasa handphone di saku jasnya bergetar. Satya segera mengangkat handphone tersebut."Aku dan orang tua Hilya sudah berada di depan kamar," kata Dirga pada laki-laki itu.Tidak lama setelah menutup telepon.Ceklek!Suara pintu dibuka."Assalamualaikum!"Dirga membawa seorang perempuan berbaju syar'i warna hijau dengan balutan kerudung dengan warna senada, bersama seorang laki-laki tua mengenakan baju koko dan sarung serta kopiyah warna putih di kepalanya."Waalaikum salam!" jawab Satya. "Ummi, Abah! Mari masuk!"Satya bergegas menghampiri sepasang suami istri itu, sembari mencium tangannya."Jangan cemas ya, Nak! Wanita hamil itu, keluar masuk rumah sakit sudah biasa. Dulu waktu ummi hamil Hilya, ummi juga sakit selama berhari-hari!" kata seorang wanita cantik yang kurang lebih berusia 45 tahun itu, menc
Sudah lima hari Hilya berada di rumah sakit, ditemani oleh ibunya. Satya menjaga dan merawat Hilya dengan baik saat di rumah sakit.Kini dokter sudah mengijinkan Hilya untuk pulang.Dengan suka cita Satya membawa Hilya pulang ke rumahnya, bersama ayah mertua dan ibu mertua juga."Abah tidak salah kan, Mi? Memilihkan jodoh untuk putri kita. Menantu kita benar-benar orang kaya!" ujar Haji Abdul Ghofur dengan wajah sangat bahagia ketika sampai di depan rumah Satya.Tampak laki-laki tua itu memperhatikan sekeliling rumah menantunya dengan takjub."Masya Allah! Kaya sekali ya, Bah, Nak Satya!" sahut Hajjah Halimah dengan melihat sekeliling rumah Satya dari dalam mobil mewah yang mereka naiki.Tidak lama kemudian mereka keluar dari dalam mobil.Hilya yang mengendarai mobil berbeda dengan orang tuanya, keluar dari mobil terlebih dahulu."Abah bangga punya menantu kamu, Nak! Kamu benar-benar kaya!"Terlihat Haji Abdul Ghofur menghampiri Satya dan menepuk-nupuk pundak menantunya dengan rasa ba
Satya terlihat gelisah saat berada di dalam mobil. Sesekali Dian menghela napas panjang dan mengusap-usap kepalanya. Sepertinya, kata-kata mamanya yang baru saja dia dengar sangat mempengaruhi pikirannya. Namun sekalipun demikian, dia mencoba sejenak menepis kekalutannya, untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan yang ada di kantor.Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga delapan jam telah berlalu.Tepat jam lima sore. Mobil Satya sudah berada di halaman rumahnya.Satya bergegas masuk ke dalam rumah dan berjalan cepat masuk ke dalam kamar.Sepertinya laki-laki itu terburu-buru untuk segera menemui Hilya.Ketika hendak masuk ke dalam kamar, Satya melihat mamanya sedang berada di dalam kamar itu, dan berbicara dengan istrinya.Satya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar, dia memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan mama dan istrinya dari luar kamar. Hingga selang beberapa menit kemudian mamanya dan Hilya mengakhiri pembicaraan itu."Satya!"Ibu Diana terperanjat saat membuka pintu da
Hari itu telah berganti, kini pagi menjelang. Hilya sudah bersiap untuk meninggalkan rumah laki-laki yang telah menikahinya beberapa bulan yang lalu.Di dalam kamar, Hilya sudah bersiap untuk membawa barang-barangnya keluar.Tok tok tok!Terdengar suara seseorang mengetuk pintu.Ceklek!Terlihat seorang gadis kecil masuk ke dalam kamar yang ditempati Hilya.Tiba-tiba gadis kecil itu berlari ke arah Hilya yang saat itu hendak mengangkat barang-barangnya."Aku tidak ingin kakak pergi!" kata gadis itu dengan memeluk erat tubuh Hilya. "Oma bilang kakak sedang sakit, dan aku tidak boleh menemui kakak! Aku mematuhi perintah Oma, meski aku sangat rindu kakak," lanjut gadis kecil itu."Tapi saat aku dengar hari ini kakak mau pergi, aku ingin segera bertemu dengan kakak. Aku sedih! Aku tidak ingin kakak pergi!" ungkapnya. "Kakak belum pernah bermain bersamaku meski pun kakak ada di rumah ini. Kakak juga belum pernah membantuku belajar. Lalu, kenapa kakak sudah mau pergi?"Gadis kecil itu terli