Semenjak hari itu, Aleena tidak diperbolehkan untuk keluar dari kamar. Dia hanya berada di dalam kamar, untuk makan saja, ada seseorang yang mengantarkannya. Aleena bagai terpenjara dalam rumahnya.
Aleena memegang kepalanya yang terasa sakit. Sudah beberapa hari ini dia merasa tidak enak badan. Perutnya terasa mual dan tubuhnya seperti tidak bertenaga.
Aleena menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berdiri dan berjalan lesu menuju pintu kamar. Aleena sedikit memberikan pukulan di daun pintu, berharap ada orang yang akan mendengarkannya.
"Pa," panggil Aleena, "Tolong, buka pintunya! Aleena—"
Mendadak Aleena tidak bisa berkata-kata, dia terdiam dan saat telah menyadari kepalanya seperti berputar. Aleena memegang handle pintu dengan erat, berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh dan membentur lantai.
Namun, Aleena sudah mencapai puncak kekuatannya, sesaat kemudian tidak ada lagi yang dapat dilihat olehnya dan semuanya berubah menjadi gelap.
***
Aleena terbangun dan masih merasakan sakit di kepala. Dia berusaha untuk membuka kedua mata, di situlah dia melihat Ivander yang menatapnya dengan marah.
Aneh. Harusnya dia yang kecewa karena ayahnya itu sudah mengurangi hingga kesakitan seperti sekarang. Kenapa malah dia yang mendapatkan tatapan tajam?
Namun, Aleena masih memiliki pemikiran yang positif. Mungkin saja sang ayah hanya merasa sangat khawatir karena kondisi tubuhnya tiba-tiba melemah.
"Papa?" Dalam hati Alena menghangat, dia tersenyum lemah, merasa sangat senang karena berpikir bahwa sang ayah masih mencintainya.
"Anak kurang ajar! Beraninya kamu memasang ekspresi seperti itu setelah melakukan hal memalukan di keluarga Anderson."
Aleena berkerut bingung, dia tidak merasa pernah melakukan sesuatu yang dimaksud oleh ayahnya. Tetapi, pikiran Aleena langsung tertuju pada keputusannya tentang pembatalan pertunangan. Jadi, dia berpikir bahwa kemarahan sang ayah mungkin berhubungan dengan hal itu.
"Pa, aku benar-benar tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku tidak bisa hidup bersama dengan pria seperti Darius. Dia—"
Sebuah tamparan membuat kata-kata Aleena terhenti. Dia meringis, pipinya terasa nyeri, tetapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih sakit.
"Kamu bahkan lebih rendah daripada seorang pekerja malam. Beraninya kamu hamil anak haram dari lelaki asing yang tidak jelas asal-usulnya!"
Aleena membelalak, hatinya dipenuhi dengan kegelisahan dan ketakutan. Dia merasa getir saat melihat ekspresi kekecewaan dan amarah di wajah sang ayah. Kata-kata keras dan tajam terdengar di udara, menusuk hati Aleena seperti belati tajam.
"Apa yang kamu lakukan telah membawa malu pada keluarga kami! Kami tidak bisa menerima perilakumu yang tidak bermoral ini!" teriak ayahnya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya penuh dengan kekecewaan.
Helena memandang anak tirinya, senyum tipis terlihat di sana jika diperhatikan lebih jelas. Sesaat kemudian dia mengubah ekspresi wajahnya, Helena menangis tersedu-sedu, seperti merasa tak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya telah melakukan kesalahan besar.
"Aleena, mama tidak menyangka kamu seperti ini. Kenapa kamu tega sekali dengan keluarga kita? Apakah karena kamu masih tidak terima mama menikah dengan papamu sampai kamu melemparkan kotoran di wajah kami seperti ini?"
Tangisan Helena semakin kencang, dia menutup wajah dengan kedua tangan kemudian berkata pada suaminya, "Maafkan aku, Sayang. Jika saja aku lebih memperhatikan Aleena, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi. Dalam masalah ini, akulah yang bersalah."
Melihat istrinya terpukul, Ivander segera menariknya ke dalam pelukan, "Tidak. Ini semua bukan salahmu. Memang Aleena yang tidak tahu diri. Dia telah membuat malu keluarga Anderson. Dia akan menerima akibat dari perbuatan kotornya!"
Aleena tidak bisa berpikir dengan jernih. Dibandingkan dengan sikap Helena yang bermuka dua, dia lebih merasa terkejut sebab kehamilannya. Bagaimana bisa hamil ketika dia baru melakukannya sekali? Hal yang lebih parah adalah, dia hamil dengan pria yang tidak diketahui identitasnya.
Tiba-tiba Eloise datang dengan Darius yang mengekor di belakangnya. Air mata keluar membasahi wajah Eloise. Dia menatap Aleena dengan kecewa.
"Kakak," panggil Eloise. "Aku tidak menyangka Kakak bisa jahat seperti ini. Padahal aku sudah menganggap Kakak sebagai sosok kakak yang baik. Bahkan aku memaafkan perbuatan Kakak yang sudah menuduhku berselingkuh dengan Kak Darius. Tapi, bagaimana bisa Kakak menuduhku hanya untuk menutupi perbuatan bejat Kakak yang suka tidur dengan pria lain? Ini menyakitiku, Kak!"
"Eloise, justru kamu yang berselingkuh dengan Darius di belakangku! Jelas sekali aku melihatmu tidur dengan dia di rumahnya! Sekarang kamu bersikap seakan kamu peduli denganku?" Aleena ingin sekali tertawa dengan kencang, pintar sekali pasangan ibu dan anak ini bersandiwara.
"Aleena!" Darius meneriakkan namanya. "Apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha memaafkanmu ketika kamu menuduhku berselingkuh. Tapi, sekarang kamu yang malah berselingkuh sampai hamil anak laki-laki lain. Kamu tega sekali padaku, Aleena!"
Aleena membuka mulutnya, hendak menyangkalnya, tetapi belum sempat dia berkata-kata, Ivander langsung berteriak, "Aleena! Kamu bukan anakku lagi! Sekarang, pergilah kamu dari rumahku! Aku tidak sudi memiliki putri sepertimu!"
Aleena melihat sekitar, dia menyadari tidak ada satupun orang yang berada di pihaknya. Satu-satunya harapan adalah saya yang percaya padanya tetapi hal itu tidak mungkin. Pikiran Ivander saat ini dipenuhi dengan amarah dan juga kekecewaan atas kesalahan yang tidak sengaja dilakukannya.
Dalam keadaan penuh keputusasaan, Aleena merasa tak punya pilihan selain meninggalkan rumah keluarganya. Dia mengemas beberapa barang pribadinya dengan gemetar, air mata tak henti mengalir di pipinya.
Sebelum pergi, Aleena menatap rumah tempat dia dibesarkan dengan penuh kesedihan, merasa kehilangan dan terbuang oleh orang-orang yang seharusnya memberinya perlindungan dan cinta.
Di jalanan yang sunyi, Aleena merasa sendirian dan terlunta-lunta. Dia merenungkan keputusasaan dan kesepian yang melanda dirinya. Tanpa tempat untuk pulang, tanpa tempat untuk berlindung, Aleena merasa seperti dunianya runtuh dalam sekejap. Dia berjalan tanpa arah, mencari tempat perlindungan sementara untuk meredakan kegelisahannya.
Malam itu, Aleena berlindung di sebuah taman yang sepi. Dia duduk di bawah pohon yang rindang, membiarkan air mata dan kesedihannya mengalir. Angin malam mengusap lembut wajahnya, memberikan sedikit kehangatan dan ketenangan di tengah keputusasaan yang melanda.
Aleena merenungkan keputusasaan dan keputusasaannya. Dia merasa terbuang dan terasing, kehilangan segalanya yang pernah dia kenal.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Aleena menangis tersedu-sedu di keheningan malam. Kepada siapa dia harus mengadu ketika orang yang paling diharapkan saja sudah membuangnya bagai tak berharga?
Ketika Aleena sedang merenungi nasibnya, tiba-tiba dia merasa sangat sakit di kepalanya, pandangannya seperti berputar. Aleena memejamkan matanya, berusaha untuk menetralisir rasa sakit yang dirasakannya. Tetapi ketika dia kembali membuka mata, hasilnya tetap sama.
Beberapa saat setelahnya, Aleena merasa tubuhnya seperti melayang. Kemudian sesaat sebelum dia merasa kesadarannya menghilang, Aleena merasakan sepasang tangan kekar yang memeluknya erat.
***
Bersambung~
Cahaya menyilaukan mengganggu tidur Aleena sehingga dia memutuskan untuk menyudahi waktu istirahatnya. Saat kedua mata Aleena terbuka sempurna, di situlah dia menyadari bahwa saat ini dirinya berada di ruangan yang asing. "Dimana aku?" Aleena ingat bahwa sebelumnya dia berada di jalanan. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit hingga akhirnya dia sudah tidak ingat lagi kejadian setelahnya. Aleena berusaha untuk mengubah posisi tidur menjadi duduk. Dia melihat sekeliling, beberapa saat Aleena tersadar bahwa saat ini dirinya berada di sebuah ruangan di rumah sakit. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba dia berada di tempat ini? Aleena memejamkan kedua mata, meski sudah tidak terlalu sakit, tetapi dia masih merasa tidak nyaman di kepalanya. Dengan perlahan, Aleena menyibak tirai yang berada di sampingnya, dia langsung disuguhkan dengan seorang pasien lain yang sedang beristirahat. Aleena kembali menutup tirai tersebut dan berusaha untuk turun dari ranjang. Tepat ketika kedua kaki Aleena meny
Aleena berjalan terlunta-lunta di keheningan malam. Dia tidak tahu harus kemana, tidak ada tempat tujuan ataupun tempat untuk berpulang. Saat itu yang terlintas dalam kepala Aleena adalah kematian. Mungkin saja jika dia tidak ada, maka semua permasalahan akan selesai. Aleena berdiri di pinggir trotoar, melihat begitu banyak kendaraan yang lewat. Dalam benaknya terlintas satu pemikiran, jika dia berjalan ke tengah, apakah seketika dia akan langsung menghilang dari dunia? Aleena melangkah maju, tetapi sesaat kemudian dia seperti disadarkan. Otomatis Aleena memegang perut yang masih rata. Di dalam sana masih ada sebuah kehidupan yang berhak untuk melihat dunia meskipun kejam. Aleena menundukkan kepalanya, air mata mulai keluar membasahi pipinya. Di tengah keramaian kota, Aleena menangis tersedu-sedu tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Entah sudah berapa lama Aleena berdiam diri di pinggir jalanan. Dia memejamkan kedua mata, dan saat itulah merasa bahwa di sekelilingn
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari melewati pintu pesawat dengan senyum tanpa dosa di wajahnya. Dengan memegang sebuah pesawat kecil, hadiah dari sang ibu, bocah lelaki itu terus keluar tanpa peduli dengan teriakan ibunya yang memanggil namanya. "Ansel, tunggu mama!" Seorang wanita berteriak dengan menenteng satu koper besar dan juga satu koper kecil milik putranya. Meskipun dia masih muda, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan tenaga anak kecil yang seakan tidak ada habisnya. "Mama, cepatlah! Ansel sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet." Bocah itu langsung saja berlari menuju sebuah tanda toilet pria. Dia masuk dan disaat itulah ibunya sudah tidak bisa mengejarnya. Aleena mengembuskan napas panjang, dia menggelengkan kepala saat melihat kelakuan putranya. Akhirnya dia memilih untuk menunggu di kursi tunggu yang memang disediakan oleh pihak bandara. Aleena membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk teman lamanya. Setelah selesai, dia melihat ke arah jendela ya
Aleena membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia memaksa senyuman di depan putranya. "Hei, bocah! Darimana kamu bisa berkesimpulan bahwa orang asing itu adalah papamu?"Ansel memandang lurus ke arah depan kemudian berkata, "Dia pria dewasa yang tampan, gayanya keren, meski menyebalkan, tapi mata dan hidungnya mirip dengan Ansel." Bocah itu kembali beralih pada sang ibu kemudian berkata dengan antusias, "Ansel yakin bahwa itu adalah papa." "Ansel, di dunia ini ada begitu banyak orang. Bahkan menurut penelitian, setidaknya ada tujuh orang yang bisa mirip dengan kita. Mungkin pria yang Ansel temui tadi adalah salah satunya." "Tapi, Ma, dia—"Aleena menggelengkan kepalanya, tatapannya tegas, memerintahkan Ansel untuk menghentikan perkataannya. "Mama tidak mau mendengar lagi cerita tentang pria asing itu. Lagipula, bukankah mama sudah berkata bahwa kamu tidak boleh bicara dengan orang asing? Kenapa masih melanggar perintah mama?"Ansel hanya tersenyum malu membalasnya. "Ya, sud
Ansel langsung berlari menuju pria yang dipanggilnya "papa", bocah kecil itu merasa sangat bahagia. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah mungilnya. Ketika mereka sudah berhadapan, Ansel segera memeluk kaki panjang pria itu dengan erat. "Papa kemana saja? Kenapa baru menjemput Ansel?" tanya bocah itu dengan wajah polos. Belum sempat pria itu menjawab, seorang pria lainnya langsung melepaskan pelukan Ansel dengan kasar. "Singkirkan tanganmu!" "Finn," panggilan pria yang disebut "papa" oleh Ansel, langsung membuatnya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." "Tidak perlu," ucap Ethan, menahan pergerakan asistennya. Ethan kembali melihat Ansel, seketika ingatannya kembali pada kejadian di toilet bandara tadi. Tidak disangka malah kembali bertemu dengannya di sini. Ethan mensejajarkan tingginya dengan Ansel, dia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, "Sepertinya kita belum berkenalan tadi. Siapa namamu, Bocah?""Ansel, Pa," jawab Ansel dengan po
Harry segera masuk ke dalam lift kemudian melambaikan tangan pada Aleena. Aleena pun membalas lambaian tangan Harry kemudian pintu lift tertutup setelah Ethan keluar dari dalam lift. Setelah Harry pergi, di situlah Aleena menyadari tatapan Ethan untuknya. Aleena merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu. Segera dia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat Aleena menutup, Ethan dengan segera menahan gerakannya. "Siapa kamu? Jangan macam-macam padaku atau aku akan panggil security!" ancaman Aleena tentu saja tidak berpengaruh. Ethan segera mendorong tubuh Aleena hingga membentur lemari sepatu yang berada di samping pintu masuk. Tidak salah lagi! Dia adalah gadis yang malam itu tidur bersama dengannya. "Aleena Reverie Anderson," Ethan bergumam. Aleena membelalak, dia tidak merasa pernah mengenal pria ini tetapi malah tahu nama keluarganya. "Ka-kamu ....""Dimana anakku?" Alis Aleena berkerut, dengan tenaga yang penuh, dia segera mendorong dada Ethan dan menjau
"Kamu tidak akan masuk?" Aleena menghela napas panjang kemudian dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aleena tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekedar menunggu lift berikutnya. Aneh sekali, gedung apartemen mewah seperti ini hanya memiliki satu lift sebagai akses keluar masuk untuk para penghuninya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Aleena memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol pintu ditutup. Aleena memilih untuk berada di sisi paling jauh dari Ethan. Sama sekali tidak menoleh ke arah pria itu bahkan ketika Ethan mulai berbicara dengannya. "Jadi, apakah kamu akan menjelaskan di mana anakku berada?"Aleena bersedekap, tanpa memandang ke arah Ethan, dia menjawab, "Aku tidak punya anak denganmu." "Jangan berbohong! Terakhir kali kamu berada di rumah sakit, sangat jelas hasil tes berkata bahwa kamu tidak mengandung anakku."Terdengar nada suara penuh amarah dari kalimat yang diucapkan oleh Ethan. Tetapi Aleena sama sekal
Aleena melangkahkan kedua kakinya dengan bibir yang bersenandung, pertanda bahwa hatinya saat ini sangat bahagia. Hari ini dia langsung diterima bekerja setelah beberapa saat sebelumnya dia mengira bahwa semua tidak akan berjalan dengan mudah. Aleena memegang tiga box pizza kesukaan Ansel juga satu kantong berisi beberapa kaleng soda. Sebagai bentuk rasa syukur karena sudah diterima bekerja, Aleena akan memberikan perayaan kecil-kecilan pada putranya itu. Tepat ketika dia memasuki area apartemen tempat tinggalnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping Aleena. Membuatnya menghentikan langkah kemudian menyipitkan kedua mata untuk bisa melihat dengan jelas orang yang berada di dalam mobil. Tiba-tiba kaca mobil terbuka, nampak Harry yang sedang tersenyum ke arahnya. Sudut bibir Aleena otomatis terangkat, membalasnya. "Harry! Sedang apa kamu di sini?" Harry segera keluar dari mobil kemudian berdiri di depannya, "Aku sedang ada urusan di dekat sini. Tapi, malah bertemu denga