Share

3. Hamil Anak Pria Asing

Semenjak hari itu, Aleena tidak diperbolehkan untuk keluar dari kamar. Dia hanya berada di dalam kamar, untuk makan saja, ada seseorang yang mengantarkannya. Aleena bagai terpenjara dalam rumahnya. 

Aleena memegang kepalanya yang terasa sakit. Sudah beberapa hari ini dia merasa tidak enak badan. Perutnya terasa mual dan tubuhnya seperti tidak bertenaga. 

Aleena menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berdiri dan berjalan lesu menuju pintu kamar. Aleena sedikit memberikan pukulan di daun pintu, berharap ada orang yang akan mendengarkannya. 

"Pa," panggil Aleena, "Tolong, buka pintunya! Aleena—" 

Mendadak Aleena tidak bisa berkata-kata, dia terdiam dan saat telah menyadari kepalanya seperti berputar. Aleena memegang handle pintu dengan erat, berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh dan membentur lantai. 

Namun, Aleena sudah mencapai puncak kekuatannya, sesaat kemudian tidak ada lagi yang dapat dilihat olehnya dan semuanya berubah menjadi gelap. 

***

Aleena terbangun dan masih merasakan sakit di kepala. Dia berusaha untuk membuka kedua mata, di situlah dia melihat Ivander yang menatapnya dengan marah. 

Aneh. Harusnya dia yang kecewa karena ayahnya itu sudah mengurangi hingga kesakitan seperti sekarang. Kenapa malah dia yang mendapatkan tatapan tajam? 

Namun, Aleena masih memiliki pemikiran yang positif. Mungkin saja sang ayah hanya merasa sangat khawatir karena kondisi tubuhnya tiba-tiba melemah.

"Papa?" Dalam hati Alena menghangat, dia tersenyum lemah, merasa sangat senang karena berpikir bahwa sang ayah masih mencintainya. 

"Anak kurang ajar! Beraninya kamu memasang ekspresi seperti itu setelah melakukan hal memalukan di keluarga Anderson." 

Aleena berkerut bingung, dia tidak merasa pernah melakukan sesuatu yang dimaksud oleh ayahnya. Tetapi, pikiran Aleena langsung tertuju pada keputusannya tentang pembatalan pertunangan. Jadi, dia berpikir bahwa kemarahan sang ayah mungkin berhubungan dengan hal itu. 

"Pa, aku benar-benar tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku tidak bisa hidup bersama dengan pria seperti Darius. Dia—"

Sebuah tamparan membuat kata-kata Aleena terhenti. Dia meringis, pipinya terasa nyeri, tetapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih sakit. 

"Kamu bahkan lebih rendah daripada seorang pekerja malam. Beraninya kamu hamil anak haram dari lelaki asing yang tidak jelas asal-usulnya!"

Aleena membelalak, hatinya dipenuhi dengan kegelisahan dan ketakutan. Dia merasa getir saat melihat ekspresi kekecewaan dan amarah di wajah sang ayah. Kata-kata keras dan tajam terdengar di udara, menusuk hati Aleena seperti belati tajam.

"Apa yang kamu lakukan telah membawa malu pada keluarga kami! Kami tidak bisa menerima perilakumu yang tidak bermoral ini!" teriak ayahnya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya penuh dengan kekecewaan. 

Helena memandang anak tirinya, senyum tipis terlihat di sana jika diperhatikan lebih jelas. Sesaat kemudian dia mengubah ekspresi wajahnya, Helena menangis tersedu-sedu, seperti merasa tak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya telah melakukan kesalahan besar.

"Aleena, mama tidak menyangka kamu seperti ini. Kenapa kamu tega sekali dengan keluarga kita? Apakah karena kamu masih tidak terima mama menikah dengan papamu sampai kamu melemparkan kotoran di wajah kami seperti ini?" 

Tangisan Helena semakin kencang, dia menutup wajah dengan kedua tangan kemudian berkata pada suaminya, "Maafkan aku, Sayang. Jika saja aku lebih memperhatikan Aleena, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi. Dalam masalah ini, akulah yang bersalah."

Melihat istrinya terpukul, Ivander segera menariknya ke dalam pelukan, "Tidak. Ini semua bukan salahmu. Memang Aleena yang tidak tahu diri. Dia telah membuat malu keluarga Anderson. Dia akan menerima akibat dari perbuatan kotornya!"

Aleena tidak bisa berpikir dengan jernih. Dibandingkan dengan sikap Helena yang bermuka dua, dia lebih merasa terkejut sebab kehamilannya. Bagaimana bisa hamil ketika dia baru melakukannya sekali? Hal yang lebih parah adalah, dia hamil dengan pria yang tidak diketahui identitasnya. 

Tiba-tiba Eloise datang dengan Darius yang mengekor di belakangnya. Air mata keluar membasahi wajah Eloise. Dia menatap Aleena dengan kecewa. 

"Kakak," panggil Eloise. "Aku tidak menyangka Kakak bisa jahat seperti ini. Padahal aku sudah menganggap Kakak sebagai sosok kakak yang baik. Bahkan aku memaafkan perbuatan Kakak yang sudah menuduhku berselingkuh dengan Kak Darius. Tapi, bagaimana bisa Kakak menuduhku hanya untuk menutupi perbuatan bejat Kakak yang suka tidur dengan pria lain? Ini menyakitiku, Kak!" 

"Eloise, justru kamu yang berselingkuh dengan Darius di belakangku! Jelas sekali aku melihatmu tidur dengan dia di rumahnya! Sekarang kamu bersikap seakan kamu peduli denganku?" Aleena ingin sekali tertawa dengan kencang, pintar sekali pasangan ibu dan anak ini bersandiwara. 

"Aleena!" Darius meneriakkan namanya. "Apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha memaafkanmu ketika kamu menuduhku berselingkuh. Tapi, sekarang kamu yang malah berselingkuh sampai hamil anak laki-laki lain. Kamu tega sekali padaku, Aleena!" 

Aleena membuka mulutnya, hendak menyangkalnya, tetapi belum sempat dia berkata-kata, Ivander langsung berteriak, "Aleena! Kamu bukan anakku lagi! Sekarang, pergilah kamu dari rumahku! Aku tidak sudi memiliki putri sepertimu!"

Aleena melihat sekitar, dia menyadari tidak ada satupun orang yang berada di pihaknya. Satu-satunya harapan adalah saya yang percaya padanya tetapi hal itu tidak mungkin. Pikiran Ivander saat ini dipenuhi dengan amarah dan juga kekecewaan atas kesalahan yang tidak sengaja dilakukannya. 

Dalam keadaan penuh keputusasaan, Aleena merasa tak punya pilihan selain meninggalkan rumah keluarganya. Dia mengemas beberapa barang pribadinya dengan gemetar, air mata tak henti mengalir di pipinya. 

Sebelum pergi, Aleena menatap rumah tempat dia dibesarkan dengan penuh kesedihan, merasa kehilangan dan terbuang oleh orang-orang yang seharusnya memberinya perlindungan dan cinta.

Di jalanan yang sunyi, Aleena merasa sendirian dan terlunta-lunta. Dia merenungkan keputusasaan dan kesepian yang melanda dirinya. Tanpa tempat untuk pulang, tanpa tempat untuk berlindung, Aleena merasa seperti dunianya runtuh dalam sekejap. Dia berjalan tanpa arah, mencari tempat perlindungan sementara untuk meredakan kegelisahannya.

Malam itu, Aleena berlindung di sebuah taman yang sepi. Dia duduk di bawah pohon yang rindang, membiarkan air mata dan kesedihannya mengalir. Angin malam mengusap lembut wajahnya, memberikan sedikit kehangatan dan ketenangan di tengah keputusasaan yang melanda.

Aleena merenungkan keputusasaan dan keputusasaannya. Dia merasa terbuang dan terasing, kehilangan segalanya yang pernah dia kenal. 

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Aleena menangis tersedu-sedu di keheningan malam. Kepada siapa dia harus mengadu ketika orang yang paling diharapkan saja sudah membuangnya bagai tak berharga? 

Ketika Aleena sedang merenungi nasibnya, tiba-tiba dia merasa sangat sakit di kepalanya, pandangannya seperti berputar. Aleena memejamkan matanya, berusaha untuk menetralisir rasa sakit yang dirasakannya. Tetapi ketika dia kembali membuka mata, hasilnya tetap sama. 

Beberapa saat setelahnya, Aleena merasa tubuhnya seperti melayang. Kemudian sesaat sebelum dia merasa kesadarannya menghilang, Aleena merasakan sepasang tangan kekar yang memeluknya erat. 

***

Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status