Aleena membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia memaksa senyuman di depan putranya. "Hei, bocah! Darimana kamu bisa berkesimpulan bahwa orang asing itu adalah papamu?"
Ansel memandang lurus ke arah depan kemudian berkata, "Dia pria dewasa yang tampan, gayanya keren, meski menyebalkan, tapi mata dan hidungnya mirip dengan Ansel."
Bocah itu kembali beralih pada sang ibu kemudian berkata dengan antusias, "Ansel yakin bahwa itu adalah papa."
"Ansel, di dunia ini ada begitu banyak orang. Bahkan menurut penelitian, setidaknya ada tujuh orang yang bisa mirip dengan kita. Mungkin pria yang Ansel temui tadi adalah salah satunya."
"Tapi, Ma, dia—"
Aleena menggelengkan kepalanya, tatapannya tegas, memerintahkan Ansel untuk menghentikan perkataannya.
"Mama tidak mau mendengar lagi cerita tentang pria asing itu. Lagipula, bukankah mama sudah berkata bahwa kamu tidak boleh bicara dengan orang asing? Kenapa masih melanggar perintah mama?"
Ansel hanya tersenyum malu membalasnya.
"Ya, sudah. Lebih baik sekarang kita pergi saja. Orang yang menjemput kita, sudah menunggu sejak tadi."
Aleena segera mengajak putranya pergi meninggalkan bandara. Ketika mereka berada di lobi, seorang pria dengan senyuman manis berlesung pipi langsung menghampiri mereka.
"Hai, Harry! Apakah kamu sudah menunggu lama?" Aleena memeluk pria itu singkat.
"Tidak terlalu lama. Aku baru sampai 15 menit sebelum kamu tiba." Harry menolehkan kepala ke arah Ansel kemudian berkata, "Hai, Ansel! Bagaimana kabarmu? Apakah penerbangannya berlangsung dengan baik?"
"Biasa saja." Ansel langsung menolehkan kepala, sangat terlihat jelas bahwa bocah kecil itu tidak terlalu menyukainya.
Harry sudah terbiasa dengan tatapan Ansel padanya. Dia pun memilih untuk tidak terlalu ambil pusing, hanya pandangan seorang bocah kecil, lambat laun pasti akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.
"Oh, berikan kopermu." Harry langsung mengambil alih koper yang dipegang oleh Aleena lalu membawa pasangan ibu dan anak itu keluar area bandara.
Harry membukakan pintu untuk Aleena dan Ansel setelah memasukkan koper mereka ke dalam bagasinya. Kemudian dia segera mengemudikan mobil menuju sebuah gedung apartemen yang berada di pusat kota.
Sekitar 30 menit kemudian akhirnya mereka sampai di sebuah gedung apartemen yang sudah disiapkan oleh Harry untuk Aleena dan Ansel.
"Harry, bukankah aku sudah berkata untuk mencarikan apartemen yang berada di pinggiran kota saja?"
Aleena menatap gedung apartemen yang terlihat sangat mewah. Aleena meminta tolong pada Harry sebab pria itu yang paling tahu semua hal mengenai apartemen dan sebagainya. Dia sudah memberitahu jenis apartemen yang diinginkannya.
Aleena hanya ingin tempat tinggal yang sederhana dan tidak terlalu mencolok. Tetapi yang ada di depannya ini nampak sangat mewah dan berada di lokasi yang sangat strategis dengan perkantoran.
"Sistem keamanan di apartemen yang berada di pinggiran kota tidak terlalu bagus. Kamu akan tinggal berdua bersama dengan Ansel dan aku tidak mau mengambil resiko."
Aleena menghela napas, dia melihat putranya yang hanya balik menatap ke arahnya kemudian berkata, "Ansel, mama akan bicara dengan Om Harry sebentar. Jangan turun dari mobil sampai mama izinkan, mengerti?"
Ansel mengangguk singkat sebagai jawaban.
Aleena tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Ansel, setelah itu dia berkata pada Harry, "Harry, bisakah kita bicara sebentar di luar?"
"Baiklah."
Aleena segera keluar meninggalkan mobil dan disusul oleh Harry.
Dari dalam mobil, Ansel bisa melihat ibunya yang berdebat dengan Harry. Sangat jelas ekspresi wajah sang ibu yang tidak menyukai argumentasi dari pria itu.
Selama ini Ansel hanya melihat Harry sebagai seorang pria yang berniat untuk menggantikan posisi ayahnya yang tidak pernah hadir dalam hidupnya, berusaha untuk mengambil perhatian sang ibu dari sisinya. Hal itulah yang membuat dia tidak senang meskipun berulang kali Harry meyakinkannya bahwa dia adalah pria yang baik.
"Ansel tidak akan membiarkan Om merebut mama dariku!" bocah itu bermonolog.
Secara perlahan, Ansel membuka pintu mobil dengan penuh kehati-hatian. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun supaya tidak membuat Aleena dan Harry menyadari pergerakannya.
Setelah berhasil keluar dari mobil, Ansel segera pergi dari sana. Dengan kakinya yang mungil, Ansel berusaha untuk pergi sejauh mungkin.
Namun, secara tiba-tiba Ansel menabrak tubuh seorang pria dewasa. Dia mengaduh kesakitan, dengan perasaan yang kesal, Ansel mengangkat wajah dan di saat itulah kedua matanya terbelalak melihat pria yang menabrak tubuh mungilnya.
"Papa!"
***
Bersambung~
Ansel langsung berlari menuju pria yang dipanggilnya "papa", bocah kecil itu merasa sangat bahagia. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah mungilnya. Ketika mereka sudah berhadapan, Ansel segera memeluk kaki panjang pria itu dengan erat. "Papa kemana saja? Kenapa baru menjemput Ansel?" tanya bocah itu dengan wajah polos. Belum sempat pria itu menjawab, seorang pria lainnya langsung melepaskan pelukan Ansel dengan kasar. "Singkirkan tanganmu!" "Finn," panggilan pria yang disebut "papa" oleh Ansel, langsung membuatnya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." "Tidak perlu," ucap Ethan, menahan pergerakan asistennya. Ethan kembali melihat Ansel, seketika ingatannya kembali pada kejadian di toilet bandara tadi. Tidak disangka malah kembali bertemu dengannya di sini. Ethan mensejajarkan tingginya dengan Ansel, dia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, "Sepertinya kita belum berkenalan tadi. Siapa namamu, Bocah?""Ansel, Pa," jawab Ansel dengan po
Harry segera masuk ke dalam lift kemudian melambaikan tangan pada Aleena. Aleena pun membalas lambaian tangan Harry kemudian pintu lift tertutup setelah Ethan keluar dari dalam lift. Setelah Harry pergi, di situlah Aleena menyadari tatapan Ethan untuknya. Aleena merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu. Segera dia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat Aleena menutup, Ethan dengan segera menahan gerakannya. "Siapa kamu? Jangan macam-macam padaku atau aku akan panggil security!" ancaman Aleena tentu saja tidak berpengaruh. Ethan segera mendorong tubuh Aleena hingga membentur lemari sepatu yang berada di samping pintu masuk. Tidak salah lagi! Dia adalah gadis yang malam itu tidur bersama dengannya. "Aleena Reverie Anderson," Ethan bergumam. Aleena membelalak, dia tidak merasa pernah mengenal pria ini tetapi malah tahu nama keluarganya. "Ka-kamu ....""Dimana anakku?" Alis Aleena berkerut, dengan tenaga yang penuh, dia segera mendorong dada Ethan dan menjau
"Kamu tidak akan masuk?" Aleena menghela napas panjang kemudian dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aleena tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekedar menunggu lift berikutnya. Aneh sekali, gedung apartemen mewah seperti ini hanya memiliki satu lift sebagai akses keluar masuk untuk para penghuninya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Aleena memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol pintu ditutup. Aleena memilih untuk berada di sisi paling jauh dari Ethan. Sama sekali tidak menoleh ke arah pria itu bahkan ketika Ethan mulai berbicara dengannya. "Jadi, apakah kamu akan menjelaskan di mana anakku berada?"Aleena bersedekap, tanpa memandang ke arah Ethan, dia menjawab, "Aku tidak punya anak denganmu." "Jangan berbohong! Terakhir kali kamu berada di rumah sakit, sangat jelas hasil tes berkata bahwa kamu tidak mengandung anakku."Terdengar nada suara penuh amarah dari kalimat yang diucapkan oleh Ethan. Tetapi Aleena sama sekal
Aleena melangkahkan kedua kakinya dengan bibir yang bersenandung, pertanda bahwa hatinya saat ini sangat bahagia. Hari ini dia langsung diterima bekerja setelah beberapa saat sebelumnya dia mengira bahwa semua tidak akan berjalan dengan mudah. Aleena memegang tiga box pizza kesukaan Ansel juga satu kantong berisi beberapa kaleng soda. Sebagai bentuk rasa syukur karena sudah diterima bekerja, Aleena akan memberikan perayaan kecil-kecilan pada putranya itu. Tepat ketika dia memasuki area apartemen tempat tinggalnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping Aleena. Membuatnya menghentikan langkah kemudian menyipitkan kedua mata untuk bisa melihat dengan jelas orang yang berada di dalam mobil. Tiba-tiba kaca mobil terbuka, nampak Harry yang sedang tersenyum ke arahnya. Sudut bibir Aleena otomatis terangkat, membalasnya. "Harry! Sedang apa kamu di sini?" Harry segera keluar dari mobil kemudian berdiri di depannya, "Aku sedang ada urusan di dekat sini. Tapi, malah bertemu denga
Aleena diam sembari terus menatap kedua mata Ethan. Pria ini sangat tampan tetapi ternyata memang tidak bisa dinilai dari tampak luar saja. "Dasar gila!" Aleena menggerutu kemudian melangkah pergi melewatinya. Namun, Ethan tidak membiarkannya dengan mudah. Pria itu segera mengejar Aleena dan ikut masuk ke dalam lift berdua. "Menikahlah denganku maka semua keinginanmu akan ku kabulkan," Ethan masih berusaha mendapatkannya. Aleena menolehkan kepala, kali ini dia benar-benar sudah muak. Kedua tangannya terkepal dengan erat sebab amarah yang semakin membesar. "Dengar, Tuan! Aku saja bahkan tidak tahu siapa namamu. Sekarang kamu tiba-tiba mengatakan bahwa kamu ingin menikah denganku? Kamu gila, ya!" "Begitu, ya," Ethan bergumam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir pria itu lagi membuat Aleena berpikir bahwa dia sudah menyerah. Tetapi ternyata Aleena terlalu cepat berkesimpulan. "Finn Stuart Wilson." Ethan berpikir bahwa Aleena pasti akan histeris jika mengetahui identitas d
Ansel melihat sekeliling dan tidak melihat keberadaan sang ibu di sana. Seketika hatinya diliputi oleh perasaan sedih sebab lagi lagi sang ibu tidak menepati janjinya. "Ansel, mamamu belum datang. Lebih baik menunggu di dalam saja. Nanti bu guru akan memberitahu mama kalau Ansel ada di kelas," ucap guru menenangkan. Ansel kembali ke ruang kelas mengikuti perkataan gurunya. Di sana juga ada beberapa anak yang juga belum dijemput sama seperti dirinya. Pada akhirnya Ansel memutus untuk bermain bersama dengan mereka. Dia mengambil sebuah balok kemudian menyusunnya menjadi sebuah gedung yang besar. Ketika Ansel sedang sibuk dengan balok-balok tersebut, tiba-tiba seorang anak laki-laki bertubuh gempal menyenggol susunan balok milik Ansel. Ansel langsung bangun dan menatapnya dengan marah. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menghancurkan gedung yang sudah kubuat?" Ansel menata tajam ke arah bocah itu. Bocah itu melihat ke arah balok tersebut kemudian berkata, "Aku hanya tidak sengaja.
Beberapa saat sebelum Aleena datang menjemput putranya.Terdapat sebuah tanda merah kebiruan di wajah bocah bertubuh gempal yang sudah mengganggu Ansel. Bocah itu menangis dengan keras hingga membuat guru kelas yang baru saja kembali dari kamar mandi langsung berlari menghampiri mereka. "Anak-anak, ada apa? Jerry, kenapa kamu menangis?"Tidak tahu apa yang terjadi ketika dia meninggalkan anak-anak asuhnya, tetapi guru langsung bisa menduga bahwa telah terjadi perkelahian di antara mereka. Guru langsung menghampiri bocah bertumbuh gempal itu kemudian terkejut melihat wajahnya yang terluka. "Ada apa ini? Kenapa dengan wajahmu?" Guru merasa khawatir dan juga ketakutan. Sesuai dengan SOP di sekolah ini, guru tidak boleh membiarkan anak-anak bermain sendirian tanpa pengawasan. Kemudian tanpa bisa meminta tolong pada siapapun, guru terpaksa meninggalkan anak-anak di dalam ruang kelas tanpa ada seorangpun yang bisa mengawasi mereka.Guru langsung melihat ke arah Ansel kemudian bertanya, "
Melihat kedatangan Ethan, seketika ketiga wanita dewasa itu langsung terperangah. Mereka terpesona dengan ketampanan yang dipancarkan olehnya. Ethan melihat Ansel yang berlutut di depan orang-orang. Seketika hatinya diliputi perasaan kesal. Aneh sekali, dia sama sekali tidak memiliki hubungan darah tetapi tidak terima ketika ada orang yang menindas bocah itu. Ethan menarik tangan Ansel dan membuatnya berdiri. Kemudian dengan marah menatap ke arah guru dan juga kepala sekolah. "Siapa kamu? Kenapa ikut campur dengan masalah ini?" Meskipun sebelumnya merasa terpesona, tetapi saat mendengar Ansel memanggilnya dengan sebutan "papa" seketika membuat ibu bocah bertubuh gempal itu langsung menjaga harga dirinya. Ethan tidak terlalu mempedulikannya, dia menatap ke arah guru dan kepala sekolah kemudian berkata, "Bagaimana bisa sekolah mengajarkan hal seperti ini pada anak murid mereka? Ternyata kualitas sekolah memang tidak bisa dilihat dari tampilan luarnya saja."Mendengar kritikan terseb