Kopi dan Susu. Saat sendiri, mereka memiliki ciri khas mereka masing-masing. Kopi, cenderung pahit sedikit getir dan susu cenderung manis. Saat mereka berkolaborasi, rasa baru terbentuk dari percampuran kedua ciri khas mereka. Reyhan Malik Narendra, seorang direktur muda, yang mewarisi perusahaan Ayahnya, bersifat kaku, tidak banyak bicara, terlebih terhadap perempuan. Sabrina Eka Maharani, seorang jobseeker yang sudah dua tahun berjuang mencari pekerjaan demi menutup mulut tetangga yang menggunjing 'percuma kuliah tinggi-tinggi kalau nggak kerja' Takdir Tuhan menuntun Sabrina masuk ke perusahaan Reyhan, mantan kekasihnya saat di bangku SMA yang paling menyebalkan! Bagai kopi susu, kolaborasi mereka diperlukan saat perusahaan yang dipimpin oleh Reyhan menghadapi suatu masalah besar yang mengancam hidup mati-nya perusahaan Bagaimana cara mereka menekan ego masing-masing dan bekerja sama untuk menyelamatkan perusahaan ?
View MoreSabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki
"Kuliah sih iya tinggi, S2, tapi nganggur juga," Sabrina memutar bola matanya kesal mendengar ucapan salah satu tetangganya yang tengah berkumpul di salah satu teras rumah Apalagi kalau bukan bergunjing? Jika norma dan etika tidak ada di dunia ini, mungkin sekantung plastik berisi sayuran dan bumbu dapur yang ia tenteng sudah terlempar ke kerumunan tetangganya itu. Sabrina menghela nafas. Ia menendang kerikil jalanan.Apa yang salah dengan tidak bekerja? Aku tuh nggak santai-santai aja kok! Aku cari kerja juga! Nggak tahu kan mereka sudah berapa amplop cokelat yang habis untuk paket dokumen lamaran kerjaku? Nggak tahu kan mereka sudah berapa lowongan perusahaan yang aku daftar? Nggak tahu 'kan mereka betapa percaya dirinya aku daftar ke perusahaan yang bahkan belum buka lowongan kerja? Sabrina beringsut. Kadang ingin rasanya ia pindah saja dari rumah ini. Lingkungan sek...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments