“Sebenernya, kita mau kemana sih?” pukul setengah tujuh malam, Dewa sudah berada di rumah Sabrina. Tadi Siang, Sabrina memintanya untuk menemui seorang teman malam ini.
“Mau ketemu Lia, sahabat aku waktu pendidikan pasca sarjana. Tunggu sebentar, ya!” Jawab Sabrina. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Ia belum selesai bersiap. Bedaknya belum tercampur sempurna dengan bubuk putih tebal di beberapa sisi. Alisnya baru tergambar separuh dan rambutnya masih tergelung berantakan.
“Kamu jangan lama-lama dandannya! Bisa tua disini aku nungguin kamu dandan!” Dewa dongkol tiap kali menunggu Sabrina berdadan. Lama! Aku mungkin bisa menyelamatkan dunia bersama ‘Avenger’ sembari menunggu Sabrina selesai berdadan, terutama saat mengukir alis dan eyelinernya!
“Lebay kali, ah!” Sabrina menyahut dari kamar. Dari jendela kamarnya, ia melihat Bu Fenti di teras rumah memperhatikan sepeda motor Dewa dengan tatapan sini. Sabrina menebak, benak Bu Fenti telah dipenuhi ide gunjingan baru yang ingin ia bagikan pada para tetangga sekitar.
“Eh Dewa,” sapa Ayah sekembalinya dari warung dan melihat Dewa duduk di kursi.
“Om,” Dewa menyalami tangan Ayah dengan sopan.
“Mau pergi?” tanya Ayah.
Dewa mengangguk jujur. “Mau nemenin Sabrina ketemu sama temennya katanya,” jawabnya.
Ayah mengangguk. “Hati-hati di jalan. Jangan pulang kemalaman,” pesan Ayah. Dewa mengangguk siap.
Setengah jam kemudian, Sabrina sudah siap. Dandanannya sudah rapi dan ia tampak cantik. “Iya, cantik kok,” belum sempat Sabrina menanyakan pendapat kekasihnya itu soal riasanannya, Dewa sudah menjawab terlebih dahulu. Ia sudah hafal dengan perangai Sabrina yang akan bertanya ‘Gimana dandanan aku? Cantik nggak?’
“Haus atensi,” cibir Dewa kemudian.
Sabrina berkelit, “bukan haus atensi, Mas, tapi aku butuh pengakuan kalau aku itu cantik,” ia membela diri.
Dewa memonyongkan bibirnya. “Kalo kamu nggak cantik, aku nggak mau tuh sama kamu,” bebernya.
Sabrina melotot,“Oh, gitu?! Kamu berani ya main fisik sama perempuan? Emang kamu seganteng apa, sih?” sungutnya. Dewa tertawa. Ia tidak bisa melawan keimutan Sabrina saat sedang marah. Fix menggemaskan!
Tak ingin membuang waktu lebih lama, mereka berdua bergegas menuju café tempat janji temu dengan Lia. Jalanan kota malam itu sangat ramai. Café-café baru mulai ramai oleh pengunjung. Sepertinya trend café sedang menjamur kini hingga ada banyak sekali pilihan café sebagai tempat diskusi, rapat kecil, ataupun sekedar nongkrong menikmati suasana malam.
Tanpa terasa perjalanan mereka berakhir pada sebuah café yang berada di tenga kota. Café itu tidak besar, namun tidak terlalu kecil pula. Nuansa ethnic dengan lampu ala-ala menyerupai lampu sentir alias petromax menambah suasana ‘pedesaan’ sunyi nan menenangkan. Beberapa meja sudah penuh dengan makanan, minuman, serta laptop maupun tas para pengunjung yang didominasi oleh anak kuliahan.
“Lia sudah datang, Mas,” celetuk Sabrina sambil turun dari sepeda motornya. Sepeda motor Lia yang ikonik dengan stiker bergambar Winnie the Pooh besar di slebor belakangnya menarik mata Sabrina.
Mereka berdua melangkah masuk ke dalam café. Didalam sana, Lia duduk sendirian, lesu, menunggu sambil bermain ponselnya.
“Hallo sisteuurr!” suara Sabrina yang melengking mengagetkan Lia. Lia langsung mengelus dadanya yang berdegub kencang karena kaget.
“Ya ampun, Sabrina!” Lia geleng-geleng kepala. Ia kemudian berdiri, bercipika-cipiki lalu memberi buku menu padanya. “Pesen, gih!” titahnya.
Sabrina menyeringai. “Dibayarin, ‘kan?”
Dewa menyikut lengan Sabrina. Kekasihnya itu memang ceplas-ceplos!
“Kamu pasti Dewa, ya?” tebak Lia sambil mengulurkan tangannya bermaksud mengajaknya berkenalan.
“Oh, halo, aku Dewa,” ia menjabat tangan Lia.
“Lia, temen Sabrina waktu pasca sarjana,” balasnya. “Dulu Sabrina tidak pernah seharipun nggak nyeritain soal kamu. Katanya, lulus sarjana kamu langsung merintis startup pengembangan game online, ya? Keren banget, tuh!” beber Lia.
“Ih, Lia kamu kenapa buka kartu?!” wajah Sabrina memerah karena Lia membocorkan curhatannya. Waktu itu, Sabrina baru saja menjalin hubungan dengan Dewa. Seperti pasangan lain yang dimabuk asmara, wajar jika Sabrina masih antusias menceritakan ‘si Pencuri Hati’nya
“Masa, sih?” Dewa tertawa. Ia tidak menyangka dibalik sikap sok jual mahal yang kerap Sabrina tunjukan diawal hubungan mereka, ternyata Sabrina juga bucin.
Mereka bertiga kembali duduk di kursinya. “So ada apa sistakuu?” Sabrina menopang dagunya memandang Lia lekat-lekat. Ia mengedipkan matanya berkali-kali. “Katanya mau ceritaaa~”
Lia terkekeh gemas melihat tingkah laku Sabrina. “Gini, aku mau resign,” ucapnya.
“Oh, mau resign….hah?! Mau resign?!” Sabrina kaget mendengar niat Lia untuk resign. Ia masih ingat alasan Lia berhenti melanjutkan pendidikan pasca sarjananya karena kendala biaya dan ia memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta. “Ngaco kamu, Li! Yang disini aja sibuk nyari kerja, eh, kamu malah resign?!”
“Sabrina!” Dewa mencubit lengan Sabrina. Ia menegur Sabrina karena kalimat yang terlontar dari mulutnya dikhawatirkan melukai hati Lia. Dewa melihat raut wajah Lia sedang diliputi kegelisahan dan kegundahan. Tidak seharusnya Sabrina bersikap seperti itu.
Sabrina cemberut. Ia mengelus bekas cubitannya yang terasa sakit. “Kenapa, Li? Ada masalah? Atau memang mau pindah kerja?” tanya Sabrina kemudian.
Lia menggeleng. “Nggak, ‘sih. Aku belum masukin lamaran kerja lagi. Aku cuma nggak nyaman sekarang kerja disitu,” curhatnya sedih.
“Kenapa? Kamu cerita katanya kamu seneng banget kerja disitu. Bos kamu baik, ‘kan? aku inget banget bos kamu pernah kasih karyawannya masing-masing dua kali gaji waktu beliau ulang tahun, ‘kan?” Sabrina tidak mengerti mengapa Lia ingin sekali resign dari perusahaan tempatnya mengabdi bertahun-tahun terakhir.
Lia menghela nafas. “Bosku sudah ganti. Sekarang anaknya yang pimpin perusahaan. Cuma masalahnya dia kaku banget. Sebelum aku, sudah banyak yang resign karena nggak tahan sama sikap dia. Asal buat salah, dia bakalan marahin kita didepan semua orang. Harga diri kita jatuh dong digituin,” sedihnya.
“Wah, parah bos kamu,” Sabrina geleng-geleng kepala.
“Makanya itu, Sab. Emang sih gaji kita naik dibanding dulu. Banyak banget kontrak-kontrak yang masuk. Tapi ya itu, tekanan kerjanya tinggi banget. Mereka yang bertahan itu cuma mereka yang milih untuk nggak ambil pusing sama sikap bos. Sisanya, ya.. nangis batin,” keluh Lia.
“Hm, gimana ya? Terus, selanjutnya gimana setelah resign?” tanya Sabrina sambil menepuk pundak Lia dengan lembut.
Lia menghela nafas. “Aku pasti berusaha cari kerja lagi, kok. Tapi ada masalah lain,” ungkapnya.
“Apa?” Sabrina penasaran.
“Bos mau aku cari penggantiku sebelum surat resignku ditanda tangani. Dia mau, penggantiku itu harus orang yang bener-bener ngerti apa mau dia. Itu, ‘kan, sulit! Memangnya kita bisa baca kemauan dia?!” ingin sekali Lia menangis jika mengingat Reyhan, the Devil Boss!
“Dia itu umur berapa, sih? Kekanak-kanakan banget kayaknya,” Sabrina berdecak ikut kesal mendengar cerita Lia.
“Tiga puluh! Masih muda banget dia!” ucap Lia.
“Wah, direktur instan,” Sabrina mencibir.
Dewa memutar bola matanya. “Lebih sensitif sendikit kenapa, Sayang?” Dewa menegur Sabrina yang terlalu ceplas-ceplos di momen yang tidak tepat. Sabrina hanya memanyunkan bibirnya sebagai respon.
“Terus, orang yang harus gantiin kamu, harus orang yang gimana bagusnya?” timpal Dewa.
“Nah itu! Ini alasan aku minta Sabrina datang!” Lia tiba-tiba bersemangat. “Sudah satu minggu, Sab, aku mikirin siapa yang bisa gantiin aku. Bos nggak mau buka lowongan kerja. Dia mau instant, cepat dan tepat. Dia mau terima jadi! Semua kandidat sudah aku pertimbangkan, Sab. Semua nggak ada yang cocok buat bos aku. Kecuali kamu,” jelas Lia.
“Aku, ya? Hm..hah?! Aku?!” Sabrina tersentak. “Aku gantiin kamu?!”
Lia mengangguk cepat. “Iya! Kamu itu tangguh, Sab. Kamu juga berani dan nggak pernah ‘tuh namanya ‘aku nggak enak kalau nolak’ atau ‘aku takut salah’. Percaya dirimu itu bagus banget. Makanya, menurut aku, kamu lawan yang sepadan buat bos aku! Kamu mau ‘kan gantiin aku?” Lia menggenggam tangan Sabrina penuh harap. “Aku sudah nggak sanggup kalau harus lebih lama lagi disana!”
Sabrina memandang Dewa. “Aku, kerja, Mas?” Sabrina tidak percaya.
Dewa tersenyum lebar. “Coba aja dulu tawaran Lia. Siapa tau kamu bisa dan cocok,” Dewa mendukung Sabrina untuk menerima tawaran Lia. Pekerjaan adalah sesuatu yang Sabrina ingin dapatkan di tahun ini. Ia ingin membuktikan dirinya pada Bu Fenti bahwa ia juga bisa. Ia selalu berdoa tanpa henti kepada Tuhan agar salah satu amplop cokelatnya diterima oleh perusahaan. Kali ini, melalui tangan Lia, Tuhan menurunkan rejekinya.
“Besok kamu ke kantorku ya? Aku temuin kamu sama bos aku. Jangan lupa amplop cokelatnya dibawa!” Lia memekik senang saat Sabrina akhirnya mengangguk setuju.
Sabrina tersenyum lebar. Akhirnya pekerjaan datang padanya! Bu Fenti, tunggu pembalasan aku!
Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview. “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?! “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina. Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan! Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada.. “Mau interview
Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group. Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung. “Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu. “Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini. “Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian. “Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini. Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya. Night, love you babe Begitu bentuk pes
Siang itu, Reyhan tengah menikmati makan siang di restaurant terkenal yang menyajikan berbagai macam makanan mahal nan lezat besama kekasih hatinya, Selma. Alunan musik klasik menjadi teman bercengkerama mereka. Di privat room ini, hanya ada mereka berdua. Reyhan memandang Selma dalam. Kenangannya memutar kembali pertemuannya dengan Selma. Kisah itu bermula tiga tahun yang lalu. Saat itu, Selma tengah mengikuti sebuah charity event dimana penyelenggara mengadakan fashion show dan pakaian yang terjual uangnya akan disumbangkan ke beberapa panti asuhan, panti jompo, dan juga Yayasan-yayasan yang membutuhkan. Fashion Show diikuti oleh banyak Designer serta owner-owner dari Rumah Mode terkenal di Indonesia. Selma adalah salah satunya. Di tempat itu, mereka pertama bertemu. Kesan pertama akan sosok Selma adalah wanita baik berhati mulia yang mau membantu siapapun yang membutuhkan.
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki