Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group.
Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung.
“Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu.
“Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini.
“Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian.
“Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu, sih?!
“Mau ke pasar? Rapi amat?” Bu Fenti rupanya tidak percaya dengan jawaban Sabrina. Ia menganggap Sabrina sedang bercanda. “Saya tahu kamu desperate nyari kerja. Tapi nggak begini juga caranya,” ujar Bu Fenti meremehkan. Sabrina terbelalak tidak percaya dengan telinganya. Bu Fenti semakin blak-blakan menghina dirinya. Sabrina menarik nafas panjang. Ia harus melapangkan dada berhadapan dengan ibu-ibu toxic seperti Bu Fenti. Dia kan ibu rumah tangga. Mungkin bertengkar sama aku salah satu kerja sambilannya, begitu Sabrina bergumam dalam hati.
“Ibu nggak percaya?” alis Sabrina terangkat satu.
Bu Fenti menggeleng tegas. “Kalau memang kerja, mana ID cardnya?” todongnya.
“Wha-“ Sabrina menahan kekesalannya. Ia lalu tersenyum. “Kan hari pertama, belum dibuatin ID card,” jawab Sabrina.
“Dih, namanya orang kerja sudah pasti ada ID cardnya mau hari pertama kek kedua kek ketiga kek. Bohong aja bisanya. Sudah ah, Saya mau masak gule ayam buat Lola. Kamu hati-hati ke pasar. Jangan terlalu mencolok,” Bu Fenti melenggang masuk ke dalam rumahnya yang berseberangan dengan rumah Sabrina.
Sabrina menatap Bu Fenti dongkol. Ada-ada saja perusak moodnya pagi ini. Menyebalkan!
~☕Milk and Coffe☕~
Sabrina berkendara pagi itu menyusuri macetnya jalanan Ibu Kota dengan berseri-seri. Jantungnya berdebar tidak sabar memulai harinya melepas status jobseeker. Ia berhasil mengalahkan Bu Fenti 1 – 0. Ia bertekad untuk terus selangkah lebih maju dari Lola, putri yang diagung-agungkannya karena berparas cantik, bertubuh tinggi, berkaki jenjang bak model dan seksi. Memang Lola bisa dikatakan ‘kembang desa’. Pria di lingkungan rumahnya mungkin pernah menaruh hati untuk Lola. Namun semuanya ditolak mentah-mentah. Standar kekasih Lola sangat tinggi, begitupun Bu Fenti. Terkadang, Bu Fenti terlalu sesumbar bercerita pada para tetangga tentang kekasih Lola yang semuanya berasal dari keluarga berada. Sabrina miris, lebih baik diam jangan sesumbar ketimbang sesuatu terjadi di kemudian hari dan membuat malu diri sendiri.
Sabrina akhirnya sampai di halaman parkir Barilga Group yang berada di basement bangunan. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil terparkir. Maklum, Barilga Group adalah perusahaan besar dengan banyak sekali anak cabang perusahaan yang berkantor di gedung yang sama. Ada ratusan nyaris karyawan yang bekerja disini termasuk Sabrina. Beberapa karyawan yang baru datang sepertinya sudah mengantre di depan lift. Mereka berpenampilan menarik. Para pria yang berkantor di ruangan mengenakan setelan kemeja berdasi dengan celana kain hitam. Pria lain yang bekerja di lapangan mengenakan wearpack dengan sepatu proyek yang terdengar tegas saat melangkah. Tidak lupa mereka membawa safety helmet untuk melindungi kepala mereka. Selain para pria, ada pula para wanita yang sebagian besar bekerja di department marketing, financial, administrasi, dan HRD. Wanita yang berjilbab mengenakan setelan rok panjang sedangkan yang tidak mengenakan rok selutut. Mereka terlihat sangat bersih dan segar.
Sabrina bergegas untuk ikut mengantre. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja. Kehadiran Sabrina di belakang mereka menarik perhatian. Mereka merasa asing karena tidak pernah melihat Sabrina sebelumnya.
“Anak baru kali,” Sabrina samar mendengar bisik mereka.
Sabrina hanya menunduk. Ia malu berada di tempat asing sendirian.
Tling! Pintu lift pun terbuka. Mereka berbondong-bondong masuk ke dalam lift. Tinggallah Sabrina yang menunggu sendiri karena lift sudah terisi penuh.
“Eh tunggu, bro!” seorang pria muda seusianya menahan temannya yang menjaga tombol lift.
“Apaan?” temannya memandang pria itu heran.
Pria itu menyusup dari gerombolan keluar lift.
“Lah? Kaga jadi ikut lu?” si Penjaga Tombol bingung.
“Dia aja dulu. Aku naik tangga nanti,” pria itu menunjuk Sabrina. Sabrina terbelalak kaget.
“E-eh, nggak usah! Anda duluan saja!” tolak Sabrina. Ia tidak enak hati menyerobot antrian seperti itu.
“Udah, santai aja. Dah sana, masuk!” Pria itu mendorong Sabrina lembut masuk ke dalam lift. Pintu lift pun tertutup. Sabrina menunduk canggung. Punggungnya terasa berat. Ia rasa para karyawan tengah memandangnya saat ini.
“Lantai berapa, Mbak?” si Penjaga Tombol tiba-tiba bertanya.
“L-Lobi, Mas. Terima kasih,” jawab Sabrina gugup.
Hanya sebentar lift bergerak naik, pintu terbuka di lobi. Sabrina segera keluar menghampiri resepsionis.
“Permisi,” sapa Sabrina pada resepsionis yang bernama Bina.
“Ada yang bisa Saya bantu, Ibu?” Sabrina berdiri dari kursinya untuk menyapa kembali Sabrina.
“Karyawan baru,” Sabrina memperkenalkan dirinya.
Bina memandang Sabrina bingung. Ia tidak mengerti maksud kalimat yang dilontarkan Sabrina. “Karyawan baru?” ucapnya pelan. “Oh!” Bina kemudian teringat pesan Lia kemarin sore.
“Ibu Sab..rina, benar?” Bina membaca tulisan dalam catatan memo yang ditempel Lia di mejanya.
Sabrina mengangguk cepat.
“Kata Bu Lia, langsung saja ke lantai sebelas setengah. Nanti ketemu Bu Lia disana. Ini Bu Lia-nya belum datang,” kata Bina.
Sabrina sedikit kecewa mengetahui Lia belum hadir di kantor. Ia malu berada di tempat asing sendirian. Andai Lia sudah hadir lebih dulu darinya, setidaknya ia tidak merasa sendirian. Ia bisa menghubungi Lia untuk menjemputnya di Lobi.
Tidak ingin terlambat dan mendapat penilaian buruk di hari pertamanya bekerja, Sabrina memberanikan diri menuju lantai sebelas. Ia akan bertanya dengan siapapun yang ada disana tentang lokasi ruangan Lia.
Sabrina menunggu di depan lift. Sibuknya pergerakan para karyawan di pagi hari membuat antrian lift cukup ramai. Sebenarnya ada tiga lift yang tersedia. Namun menurut rekomendasi Bina, lift A adalah lift yang langsung menuju lantai sembilan hingga sebelas. Lantai itu adalah tempat dimana Barilga Group, Sang Induk Perusahaan, berdiam.
Floor Display masih menunjukkan angka sembilan dan terus turun ke bawah. Tingginya gedung menyebabkan ia harus lebih bersabar menunggu lift sampai. Belum jika tiba-tiba lift berhenti untuk menjemput penumpang.
Ting! Lift pun terbuka. Tiba-tiba seorang pria berjalan cepat dari arah belakangnya langsung masuk ke dalam lift. Ponsel miliknya terjepit diantara telinga dan bahunya. Tangan kirinya menenteng tas kerja sedangkan tangan kanannya mencoba memperbaiki kancing lengan yang terlepas.
“Eh!” Sabrina terpana melihat wajah pria itu. Ia merasa tidak asing dan pernah melihat pria itu sebelumnya.
Cukup lama Sabrina diam dalam posisinya hingga suara keras pria itu membentaknya. “Mau masuk nggak?!” bentaknya kasar. “Jangan buang-buang waktu Saya!”
“I-iya!” Sabrina tersadar dan langsung masuk ke dalam lift.
“Nggak masuk, Mbak, Mas?” Sabrina heran melihat para karyawan yang mengantri bersamanya tadi tidak ikut masuk ke dalam lift.
“A-ada yang ketinggalan,” serempak para karyawan justru berbalik badan dan berhambur pergi.
Pria yang bersamanya kini sudah tidak sabar. Ia menutup lift dan menekan angka sebelas. Sabrina hanya melirik dan menebak-nebak siapa pria yang bekerja di lantai yang sama dengannya.
“Eh,” celetuk Sabrina. Ia tidak bisa menyingkirkan rasa penasarannya akan sosok tidak asing di sampingnya. “Kita pernah ketemu nggak si?” Seloroh Sabrina.
Pria itu mendelik tanpa menjawab.
“Ih kamu mirip mantanku! Siapa ya dulu namanya,” Sabrina mencoba mengingat salah satu mantannya dimasa lalu. Sabrina tidak mengingat namanya karena hubungannya dengan Sang Mantan hanya main-main belaka.
Kenangan dimundurkan hingga masa dimana saat itu Sabrina masih bersekolah di bangku SMA. Sebagaimana anak SMA lainnya yang berada di fase penasaran dan ingin coba-coba, Sabrina dan teman-temannya membuat sebuah taruhan konyol.
Mereka menantang Sabrina, yang memang dikenal ceplas-ceplos untuk mendekati salah satu siswa senior satu tingkat diatas mereka. Sabrina tidak bisa mengingat namanya kini. Sabrina menyebutnya dengan Mr. X. Mr. X terkenal sebagai pribadi yang ‘bossy’ dan menyebalkan. Ia tidak segan menyuruh adik tingkatnya untuk membelikan makanan kantin untuknya. Seringkali ia terlihat membentak mereka dan membuat mereka takut. Namun, Mr. X sangat royal terhadap uang. Mr. X akan memberi kembaliannya untuk mereka yang mau membelikannya makanan.
Keroyalan Mr. X membawa petaka untuk dirinya tanpa ia sadari. Teman-teman satu angkatannya memanfaatkan Mr. X sebagai bank berjalan mereka. Tentu saja Mr. X yang merasa kesepian tidak keberatan asal mereka tetap mau berteman dengarnnya. Demi uang~
Sifat Mr. X yang buruk dimanfaatkan oleh teman-teman Sabrina. Apabila Sabrina berhasil mendapatkan hati Mr. X, maka teman-temannya akan membelikan Sabrina sebuah ponsel keluaran terbaru.
Sabrina yang menyukai tantangan pun setuju. Awalnya, Mr. X tidak tertarik Sabrina yang seolah mencoba mengajaknya bicara. Mr. X bahkan tidak pernah menjawab satu pun panggilannya baik secara langsung maupun melalui panggilan telepon. Sabrina yang terkenal gigih dan ulet, pantang menyerah mencari perhatian Mr. X. Hingga akhirnya Mr. X pun luluh. Tanpa diduga Mr. X ‘menembaknya’ dan meminta Sabrina menjadi pacarnya. Kemenangan pun diraih oleh Sabrina. Teman-temannya menepati janji dan membelikan Sabrina ponsel keluaran terbaru di masanya. Hubungan yang terhitung baru sebulan langsung disudahi oleh Sabrina tanpa alasan yang jelas bagi Mr. X. Setelah itu, mereka tidak pernah lagi saling bicara. Setelah Mr. X lulus hingga kini, Sabrina tidak pernah tahu kabarnya.
“Eh tapi beneran kamu bukan, ya?” Sabrina memandang pria itu teliti.
Pria itu menatap Sabrina risih dan jijik. Ia memutuskan untuk maju selangkah membelakangi Sabrina.
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini. Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya. Night, love you babe Begitu bentuk pes
Siang itu, Reyhan tengah menikmati makan siang di restaurant terkenal yang menyajikan berbagai macam makanan mahal nan lezat besama kekasih hatinya, Selma. Alunan musik klasik menjadi teman bercengkerama mereka. Di privat room ini, hanya ada mereka berdua. Reyhan memandang Selma dalam. Kenangannya memutar kembali pertemuannya dengan Selma. Kisah itu bermula tiga tahun yang lalu. Saat itu, Selma tengah mengikuti sebuah charity event dimana penyelenggara mengadakan fashion show dan pakaian yang terjual uangnya akan disumbangkan ke beberapa panti asuhan, panti jompo, dan juga Yayasan-yayasan yang membutuhkan. Fashion Show diikuti oleh banyak Designer serta owner-owner dari Rumah Mode terkenal di Indonesia. Selma adalah salah satunya. Di tempat itu, mereka pertama bertemu. Kesan pertama akan sosok Selma adalah wanita baik berhati mulia yang mau membantu siapapun yang membutuhkan.
“Jangan lupa untuk berkas rapat evaluasi bulanan disiapkan. Inget, ya, semua evaluasi dari tiap department nggak ada yang boleh kurang. Kalau sampai ada yang kurang, kreekk!” Reyhan berpura-pura menggorok lehernya menggunakan jarinya, “Kamu saya pecat!” ancamnya sambil memicingkan matanya. “Si-siap, Pak! Semua berkas sudah disiapkan di atas meja! Berkas direksi juga sudah siap!” jawab Sabrina cepat. Reyhan membuang mukanya. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien saat langit mulai petang. Jarum pendek di jam tangan Reyhan menunjukkan nyaris pukul enam dengan jarum panjangnya diangka sembilan. Mobil mereka sampai di lobi kantor saat para karyawan sudah pulang. Kantor sangat sepi. Hanya security yang tersisa, menjaga keamanan kantor. Sabrina turun dari mobil Reyhan. Reyhan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sabrina hanya bisa
“Gimana sama rencana kamu ngerjain si Sabi itu?” tanya Selma saat ia dan Reyhan tengah menonton film streaming bersama di apartement milik Reyhan. “I had them,” Reyhan menunjuk ke setumpuk berkas di atas kursi. “Besok, dia pasti panik,” Reyhan tertawa puas membayangkan Sabrina tidur nyenyak malam ini dan panik keesokan harinya karena berkasnya tidak ada. Rapat sengaja ia agendakan pukul delapan pagi agar Sabrina tidak punya waktu untuk membuat ulang. “Good job, Baby,” Selma mencium pipi Reyhan mesra. “Orang-orang yang bekerja sama kamu haruslah orang-orang yang hormat sama kamu. Kalau dia nggak bisa hormat sama kamu, buat gimana caranya dia keluar atau dipecat,” ucapnya. “Ya, jadi mereka nggak akan bisa lagi meremehkan aku,” balas Reyhan. “Kamu punya power, Sayang. Kamu harus tunjukkan itu ke semua yang meragukan kamu
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki