Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini.
Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya.
Begitu bentuk pes
Siang itu, Reyhan tengah menikmati makan siang di restaurant terkenal yang menyajikan berbagai macam makanan mahal nan lezat besama kekasih hatinya, Selma. Alunan musik klasik menjadi teman bercengkerama mereka. Di privat room ini, hanya ada mereka berdua. Reyhan memandang Selma dalam. Kenangannya memutar kembali pertemuannya dengan Selma. Kisah itu bermula tiga tahun yang lalu. Saat itu, Selma tengah mengikuti sebuah charity event dimana penyelenggara mengadakan fashion show dan pakaian yang terjual uangnya akan disumbangkan ke beberapa panti asuhan, panti jompo, dan juga Yayasan-yayasan yang membutuhkan. Fashion Show diikuti oleh banyak Designer serta owner-owner dari Rumah Mode terkenal di Indonesia. Selma adalah salah satunya. Di tempat itu, mereka pertama bertemu. Kesan pertama akan sosok Selma adalah wanita baik berhati mulia yang mau membantu siapapun yang membutuhkan.
“Jangan lupa untuk berkas rapat evaluasi bulanan disiapkan. Inget, ya, semua evaluasi dari tiap department nggak ada yang boleh kurang. Kalau sampai ada yang kurang, kreekk!” Reyhan berpura-pura menggorok lehernya menggunakan jarinya, “Kamu saya pecat!” ancamnya sambil memicingkan matanya. “Si-siap, Pak! Semua berkas sudah disiapkan di atas meja! Berkas direksi juga sudah siap!” jawab Sabrina cepat. Reyhan membuang mukanya. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien saat langit mulai petang. Jarum pendek di jam tangan Reyhan menunjukkan nyaris pukul enam dengan jarum panjangnya diangka sembilan. Mobil mereka sampai di lobi kantor saat para karyawan sudah pulang. Kantor sangat sepi. Hanya security yang tersisa, menjaga keamanan kantor. Sabrina turun dari mobil Reyhan. Reyhan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sabrina hanya bisa
“Gimana sama rencana kamu ngerjain si Sabi itu?” tanya Selma saat ia dan Reyhan tengah menonton film streaming bersama di apartement milik Reyhan. “I had them,” Reyhan menunjuk ke setumpuk berkas di atas kursi. “Besok, dia pasti panik,” Reyhan tertawa puas membayangkan Sabrina tidur nyenyak malam ini dan panik keesokan harinya karena berkasnya tidak ada. Rapat sengaja ia agendakan pukul delapan pagi agar Sabrina tidak punya waktu untuk membuat ulang. “Good job, Baby,” Selma mencium pipi Reyhan mesra. “Orang-orang yang bekerja sama kamu haruslah orang-orang yang hormat sama kamu. Kalau dia nggak bisa hormat sama kamu, buat gimana caranya dia keluar atau dipecat,” ucapnya. “Ya, jadi mereka nggak akan bisa lagi meremehkan aku,” balas Reyhan. “Kamu punya power, Sayang. Kamu harus tunjukkan itu ke semua yang meragukan kamu
“Sab, sudah mau jam sembilan pagi. Kamu ketiduran!” tepukan Awang di bahunya membuat Sabrina terbangun kaget. Ia ketiduran. Bahkan kopi pun tidak mampu mengalahkan rasa kantuknya. “Oh!” Sabrina melihat ke arah jam tangannya. Kurang lima belas menit lagi sebelum rapat dimulai. Ia berdiri dari kursinya menuju kamar mandi. Ia membasuh mukanya agar segar kembali. Ia merapikan kembali rambutnya yang digelung. Tidak lupa ia menyemprotkan parfum ke sekujur tubuhnya untuk menutupi bau badannya yang belum sempat mandi. Terakhir, Sabrina memoles kembali wajahnya dengan bedak dan lipstick. “Huh!” Sabrina menepuk-nepuk pipinya. “Here we go!” Gumamnya. Sabrina bergegas kembali ke ruangannya. Ia menyimpan berkas yang telah ia susun ulang di dalam lemari kerjanya. Ia tidak ingin jika berkasnya kembali hilang. Hantu mana yang menyembunyikan berkasku, sih?!
Sabrina menghela nafas panjang. Akhirnya Rapat Evaluasi Bulanan selesai walaupun tadi berkali-kali Reyhan memarahinya karena mengantuk. Apa mau dikata? Sabrina tidak tidur semalaman. Sedangkan ia tidak memiliki kesempatan untuk memejamkan matanya lebih lama. Lancar tidaknya rapat yang dipimpin oleh Reyhan ada ditangan Sabrina. Sebab, ia sekretarisnya dengan segudang berkas yang harus ia siapkan. Belum lagi saat ada catatan dan temuan penting selama rapat berlangsung. Sabrina harus memasang telinga baik-baik dan mencatatnya untuk dijadikan bahan evaluasi. “Akhirnyaa, selesai juga,” Sabrina meregangkan tangannya ke atas. Suara ‘krek’ dari tulang-tulangnya membuat tubuh Sabrina sedikit lebih nyaman. “Belum,” Reyhan memotong kalimat Sabrina. Sabrina lupa kalau diruangan ini tinggal mereka berdua. “Masih ada Rapat Komisaris,” ujarnya dengan nada sinis. Sabrina mengangguk paham.
Reyhan mondar-mandir di ruangannya. Ia sangat kesal hari ini. Pak Indera baru saja merendahkan dirinya dihadapan semua komisaris. Pun Pak Narendra, Sang Ayah, tidak memasang badan untuk putranya sendiri. Reyhan merasa Pak Narendra mencari aman dengan tidak membelanya. Kepala Reyhan terasa pening dan nyut-nyutan. Belum lagi saat Pak Indera membahas tentang banyaknya karyawan yang resign. Reyhan merasa tidak ada yang salah dengan cara kepemimpinannya. Ia justru sudah berbaik hati menaikkan gaji semua karyawannya. Gaji mereka berkali-kali lipat jauh di atas upah minimum kerja di Ibukota. “Hai,” dari depan pintu terdengar sapaan. Reyhan mengenali suara seksi itu. Itu adalah suara Selma, kekasihnya. Dia tampak cantik mempesona dengan rok pendek dan blazer menutupi tube top yang menyembulkan belahan dadanya. “Selma,” gumam Reyhan. “Baby, what happ
Clak. Sabrina pulang kerumah disaat hari belum gelap. Jam masih menunjukkan pukul empat sore. Jam kerja pun belum berakhir. Jam kerja? Sabrina tertawa dalam hati. Rumah dalam keadaan kosong saat ia pulang. Bunda sedang arisan dengan tetangga sedangkan Ayah belum pulang dari kantornya. Ia menghempaskan tubuhnya kasar ke atas sofa. Ia memandang kosong langit-langit rumahnya. Kejadian dua hari terakhir membuat kepalanya pening bukan main. “Brengsek!” Sabrina mengumpat marah. Matanya terasa panas. Ia berkaca-kaca. Mengapa dunia tidak adil padaku? Apa kesalahanku hingga diperlakukan oleh dunia sekeji ini? Air matanya jatuh. Dalam sekejab ia mendapatkan pekerjaan dan dalam sekejab pula ia kehilangan pekerjaan. Yang lebih menyebalkan, ia kehilangan pekerjaan atas alasan yang tidak bisa ia terima. Performa kerja yang
Sabrina sudah tidak bisa lagi menyembunyikan status jobseeker yang kembali ia sandang setelah beberapa minggu bekerja di Barilga Group. Bunda dan Ayah sangat sedih namun mereka berdua berusaha untuk tenang menghadapi berita buruk ini. “Ya sudah nggak apa-apa, Sayang. Masih banyak lowongan pekerjaan di luar sana yang sesuai sama kamu. Mungkin Barilga itu bukan tempat yang tepat buat kamu,” Bunda menghibur Sabrina. Sabrina menghela nafas berat. Untuk masalah pekerjaan, Sabrina sudah mencoba untuk ikhlas dan tidak memikirkannya terlalu berat. Namun masih ada ganjalan di hati soal Dewa. Dewa sama sekali tidak membalas pesan Sabrina satupun. Bahkan panggilan telepon yang berkali-kali ia kirim tidak terjawab satupun. Dewa seperti hilang ditelan bumi. “Sudah, sarapan dulu!” Bunda menepuk bahu Sabrina keras sembari menyemangatinya. Bunda lalu mengambilkan sepiring nasi beserta l
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki