Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview.
“Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?!
“Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina.
Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan!
Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada..
“Mau interview kerja, Bu,” Sabrina berusaha menjawab seramah dan sesopan mungkin walaupun sebenarnya ia merasa gondok akan kekepoan yang Bu Fenti tunjukkan.
“Oh iya? Masa? Bohong, ah,” jawaban Bu Fenti membuat Sabrina membelalak. “Pasti mau main. Nggak usah malu, Mbak, pakai pura-pura mau interview kerja,” Bu Fenti mencemooh. “Sampai segitunya…”
“Haha, ngapain bohong atuh, Bu. Ini beneran, saya mau interview kerja,” Sabrina terkekeh. Ingin kuselotip mulutnya!
“Ya sudah kalau malu mengakui. Hati-hati mainnya, jangan pulang malam-malam,” ujarnya sambil melambai masuk ke dalam rumah. Bu Fenti menutup pintu dengan keras.
”What the- Hah! Ada masalah apa sih Ibu itu?!” Sabrina mendengus kasar. Bu Fenti memang seperti itu, ‘kan? Respon apalagi yang bisa kuharapkan dari tetangga julid seperti dia?
Sabrina menaiki sepeda motor maticnya dan melesat menuju Barilga Group, perusahaan dimana Lia bekerja -dan akan resign tidak lama lagi-. Pagi ini, Lia meminta Sabrina untuk datang ke kantornya. Katanya, bosnya akan menginterview Sabrina secara langsung. Dengan menenteng amplop cokelat berisi berkas lamaran kerja, Sabrina masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Begitu ia masuk ke dalam gedung, Security langsung menyapanya.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya Security itu dengan ramah.
“Oh, iya! Mau cari Bu Lia, sekretaris Barilga Group,” jawab Sabrina
Security itu mengantar Sabrina menuju meja resepsionis dan mewakilinya mencari Lia.
“Selamat pagi, Bu. Saya Erika, resepsionis Barilga Group. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Erika, si Resepsionis dengan ramah.
“Mau cari Bu Lia, Mbak. Ada perlu,” jawab Sabrina.
“Oh, Ibu Lia. Baik Ibu, mohon ditunggu sebentar, ya,” Erika mengangkat gagang telepon dan menghubungi seseorang. “Bu Sabrina, silahkan naik lift ke lantai sebelas. Bu Lia menunggu disana,” kata Erika.
“Lantai sebelas, ya?” Sabrina meyakinkan kembali. Ia berada di tempat asing dan harus menuju lantai sebelas sendirian?!
Mau tidak mau Sabrina pergi sendiri menuju lantai sebelas tanpa ada yang menemani. Lia jahat banget nggak mau jemput aku! Sabrina mengomel dalam hati. Sabrina menenangkan dirinya yang sedang gugup. Ini pertama kalinya Sabrina melamar kerja. Rasa gugup membuat hal sepele mengusiknya. Mungkin saja Lia sedang sibuk di sana mengurusi bos yang katanya bawel.
Ting! Pintu lift akhirnya berhenti di lantai dasar setelah Sabrina menunggu cukup lama.
“Iya, saya segera kesana,” dari dalam lift, keluar seorang pria mengenakan jas kerja. Ia tengah menerima panggilan telepon sambil menenteng tas laptop.
“Heh?!” Sabrina memekik saat melihat sosok pria yang keluar dari lift. Ia mengenali pria itu sebagai mantannya saat masih di bangku SMA.
Pria itu menoleh ke arah Sabrina dengan ekspresi heran. Pria itu tidak mengenali Sabrina. Ia lalu mengendikkan bahunya dan melesat pergi sambil terus berbicara melalui ponselnya.
Sabrina tercengang. Ia merasa yakin mengenal sosok pria itu. Wajahnya sangat mirip dengan mantan kekasihnya dulu saat masih duduk di bangku SMA.
“Aku lupa ya siapa namanya itu,” Sabrina berusaha mengingat nama pria yang pernah menjadi mantannya itu. Hubungan mereka sangat kilat, hanya satu bulan saja. “Tapi masa, sih? Nggak mungkin itu dia, deh. Eh tapi mungkin juga, sih. ‘Kan habis putus nggak pernah tahu kabarnya lagi,” Sabrina bergumam sepanjang lift naik menuju lantai yang dituju. Gumamannya tidak ia sadari mengganggu pengguna lift yang lain.
Ting! Lift akhirnya terbuka di lantai sebelas. Sabrina melihat sebuah ruangan yang sangat luas dengan banyak meja dan partisi untuk memisahkan satu sama lain. Suara bising karyawan berbicara, mesin fotokopi, hingga ponsel yang terus berdering memenuhi seluruh ruangan. Ia tebak ini hari yang sibuk. Mata Sabrina melirik ke beberapa meja kosong yang bersih dari berkas. Ucapan Lia benar adanya, jumlah karyawan yang resign lumayan banyak. Kurang lebih ada sepuluh meja kosong disana.
“Sabrina!” Lia keluar dari sebuah ruangan khusus yang terpisah. Dia berlari menghampirinya.
“Bos aku baru aja pergi. Tapi bukan salah kamu, kok! Emang dia begitu suka datang pergi semau dia. Kayak Kang Ghosting!” kesal Lia. Bagaimana ia tidak kesal, Bosnya memaksa Lia membawa kandidat penggantinya hari ini untuk diinterview. Lalu, tanpa rasa bersalah Bosnya meninggalkannya begitu saja.
“Yah, terus gimana dong? Aku udah rapi gini,” Sabrina cemberut. Lia pun tidak enak hati dibuatnya.
“Yaudah deh, aku pulang,” kata Sabrina lesu. Padahal, tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan pekerjaan dan bisa menutup mulut Bu Fenti yang jahat itu. Setidaknya ia sudah bekerja ketimbang Lola, putrinya itu.
Belum Sabrina berbalik arah untuk pulang, ponsel Lia berbunyi. “Eh, sebentar Sab! Bos aku nelpon!” tahannya.
Lia mengangkat teleponnya. “Ya, Pak?” jawab takut takut.
“Hari ini penggantimu datang, ‘kan? Suruh Irene dari bagian HRD untuk interview,” perintah Reyhan dengan nada bicara sengak seperti biasanya.
“T-tapi interview usernya gimana, Pak?”
“Kamu nih kebanyakan nanya tahu nggak?! Udah bagus Saya mikirin urusan kamu mau resign. Nggak usah kebanyakan protes! Jalani saja apa yang Saya suruh!” makinya dari seberang telepon.
Suara keras Reyhan, bosnya terdengar oleh Sabrina. Padahal, speakernya dalam mode off. Sudah terbayang di benak Sabrina setertekan apa Lia selama bekerja padanya.
“I-iya, Pak-!” Reyhan langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Lia menyelesaikan kalimatnya.
Lia memandang Sabrina setelah itu. Pandangannya penuh alasan kuat ia memutuskan untuk resign. Dibanding Sabrina yang bermental baja –terlatih menghadapi Bu Fenti–, Lia tidak bisa menghadapi bos yang seperti itu. Tekad Sabrina untuk menggantikan Lia semakin kuat. Ia kini tertantang menghadapi calon bos galaknya.
“Aku siap, Li! Aku pasti diterima!” Sabrina mengepalkan tangannya. Lia tersenyum lebar kemudian menarik Sabrina menuju ruang HRD untuk bertemu Irene, interviewernya.
~☕Milk and Coffe☕~
Sabrina memandang ke puncak gedung perkantoran dihadapannya. Sunggingan senyum menghias wajahnya. Matanya berbinar. Beban di pundaknya luruh seketika. Setelah perjuangannya mencari pekerjaan, Barilga Group akan menjadi ‘sawah’ pertamanya. Ia diterima oleh Irene, perwakilan Bosnya, untuk bekerja di sini setelah mengikuti serangkaian tes yang berkaitan dengan job desknya sebagai calon sekretaris baru Reyhan. Selanjutnya, selama seminggu kedepan, Lia akan melatihnya melakukan semua jobdesk dengan baik agar bosnya puas.
Dewa -Congratulation, honey! Ayo romantic dinner nanti malam!- 11.35
Sabrina tertawa melihat pesan yang dikirim oleh Dewa usai ia mengabari kabar gembira ini. Sabrina sangat berterima kasih pada Tuhan karena diberkahi rahmat yang besar hari ini. Setelah banyak amplop cokelat yang ia kirim, ratusan email lamaran kerja yang ia kirim, ratusan walk in interview, serta puluhan penolakan, akhirnya ia mendapatkan sebuah pekerjaan. Bunda benar, rejeki tidak akan tertukar. Pekerjaan seperti sebuah jodoh di tangan Tuhan. Bu Fenti! Aku kerja!
Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group. Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung. “Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu. “Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini. “Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian. “Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini. Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya. Night, love you babe Begitu bentuk pes
Siang itu, Reyhan tengah menikmati makan siang di restaurant terkenal yang menyajikan berbagai macam makanan mahal nan lezat besama kekasih hatinya, Selma. Alunan musik klasik menjadi teman bercengkerama mereka. Di privat room ini, hanya ada mereka berdua. Reyhan memandang Selma dalam. Kenangannya memutar kembali pertemuannya dengan Selma. Kisah itu bermula tiga tahun yang lalu. Saat itu, Selma tengah mengikuti sebuah charity event dimana penyelenggara mengadakan fashion show dan pakaian yang terjual uangnya akan disumbangkan ke beberapa panti asuhan, panti jompo, dan juga Yayasan-yayasan yang membutuhkan. Fashion Show diikuti oleh banyak Designer serta owner-owner dari Rumah Mode terkenal di Indonesia. Selma adalah salah satunya. Di tempat itu, mereka pertama bertemu. Kesan pertama akan sosok Selma adalah wanita baik berhati mulia yang mau membantu siapapun yang membutuhkan.
“Jangan lupa untuk berkas rapat evaluasi bulanan disiapkan. Inget, ya, semua evaluasi dari tiap department nggak ada yang boleh kurang. Kalau sampai ada yang kurang, kreekk!” Reyhan berpura-pura menggorok lehernya menggunakan jarinya, “Kamu saya pecat!” ancamnya sambil memicingkan matanya. “Si-siap, Pak! Semua berkas sudah disiapkan di atas meja! Berkas direksi juga sudah siap!” jawab Sabrina cepat. Reyhan membuang mukanya. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien saat langit mulai petang. Jarum pendek di jam tangan Reyhan menunjukkan nyaris pukul enam dengan jarum panjangnya diangka sembilan. Mobil mereka sampai di lobi kantor saat para karyawan sudah pulang. Kantor sangat sepi. Hanya security yang tersisa, menjaga keamanan kantor. Sabrina turun dari mobil Reyhan. Reyhan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sabrina hanya bisa
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki