Pagi itu, jalanan Ibu kota ramai lalu lalang kendaraan dan pekerja kantoran yang berangkat untuk mengais rejeki. Sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman lobi gedung perkantoran. Seorang pria berusia tiga puluh tahun turun dari bangku penumpang. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan kemaja biru donker sebagai dalamannya. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah tas laptop sementara di tangan kirinya, tergenggam ponsel keluaran terbaru yang terus berdering menuntut jawaban. Kehadiran pria itu membuat para karyawan yang semula duduk santai di lobi, berbincang dengan sesame karyawan lain, mendadak gugup. Mereka bergegas berdiri, berpura-pura sibuk dan menghindarinya. Pria dengan rambut yang tertata rapi itu sepertinya sangat ditakuti oleh para karyawan. Postur tubuhnya tinggi tegak, ekspresi wajahnya tegas dengan rahang kaku dan hidung mancung. Alisnya tebal, bersorot mata tajam dengan bulu mata yang lentik. Seperti itulah sosok Reyhan Malik Narendra, Direktur Muda yang baru menjabat beberapa bulan belakangan, menggantikan Ayahnya yang mulai menua. Ia merupakan lulusan sekolah pendidikan bisnis di luar negeri.
Langkah Reyhan mantap masuk ke dalam lift. Di dalam, ada beberapa karyawan laki-laki dan perempuan yang canggung bersamanya. Di mata mereka, direktur baru mereka terasa menakutkan hingga mereka memilih untuk tidak bersama dalam waktu lama. Mereka mengenal sosok Reyhan sebagai pria muda yang tidak banyak bicara, selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan sinis, serta pelit senyum. Tidak ada satupun karyawan yang pernah melihat Reyhan tersenyum apalagi tertawa.
Awalnya, kedatangan Reyhan di Barilga Group, perusahaan konstruksi milik Ayahnya disambut baik oleh para karyawan. Tapi tidak bagi para Komisaris. Mereka tidak yakin akan kemampuan Reyhan memimpin perusahaan sebesar ini. Akan tetapi, Pak Narendra, Ayah Reyhan sekaligus Komisaris Utama Barilga Group memberi kepercayaan penuh pada pola pikir muda milenial yang dimiliki oleh Reyhan. Beliau yakin, Barilga Group akan berkembang pesat dibawah kepemimpinan Reyhan. Terlebih, Pak Narendra merasa tua dan lelah untuk memimpin perusahaan.
Enam bulan berlalu sejak Reyhan menjabat. Kepemimpinan Reyhan dan keras, tegas, dan terkesan arogan membuat beberapa karyawannya ‘makan hati’. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya tidak ayal menyakiti hati mereka. Mereka yang terbiasa dipimpin oleh Pak Narendra yang ramah dan humoris mulai goyah. Satu per satu, pekerjanya memilih untuk mundur atau resign ketimbang mengorbankan hati dan perasaan menghadapi Reyhan. Mereka yang tersisa adalah mereka yang mencoba melapangkan hati dan meyakinkan diri bahwa tekanan kehidupan kantor mereka sekarang tidak akan lebih berat lagi dari ini.
Saat ada kekurangan dalam kememimpinan Reyhan, tentu ada kelebihan yang melengkapinya. Di sisi lain dari kearogansian kepemimpinan Reyhan, tidak bisa dipungkiri juga sejak Reyhan menjabat sebagai Direktur Utama, banyak sekali kontrak-kontrak kerja baru yang ditanda tangani. Pola pikir Reyhan yang lebih terbuka akan bisnis memang berbeda dengan Pak Narendra yang cenderung bertahan di zona nyamannya. Reyhan berani mengambil resiko demi kemajuan perusahaan.
Ting! Lift berhenti di lantai sebelas. Karyawan yang bersamanya sepanjang lift bergegas keluar. Dengan tatapan lurus, Reyhan menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan, Reyhan melihat secangkir teh dengan uap panas masih mengepul serta beberapa potong cemilan jajanan pasar sudah tersedia di atas meja. Reyhan mengangguk puas. Office boynya tidak melupakan kebiasaannya setelah ia tidak berangkat ke kantor seminggu lamanya untuk urusan kantor. Lain cerita jika Office Boynya melupakan kebiasaannya, tentu akan ada masalah besar.
Tok-tok. Pintu ruang kerja Reyhan diketuk pelan
"Masuk," sahut Reyhan. Ia duduk di kursi kebesarannya.
Seorang wanita muda berambut pendek sebahu dengan setelah balero hitam dengan dalaman pink pastel serta rok pendek selutut masuk dengan wajah bingung.
"Ada apa, Lia?" tanya Reyhan. "Duduk," ia menyuruh wanita itu untuk duduk.
Lia kemudian duduk. Tangannya gemetar menggenggam sebuah amplop putih.
"Kenapa?" Reyhan mencuri pandang pada amplop putih yang digenggamnya. Ia tidak suka dengan sikap Lia yang tidak jelas tujuannya seperti itu. Ia tidak mau menebak-nebak apa mau bawahannya ini.
"Kalau nggak ada apa-apa, keluar. Jangan buang waktu Saya!" Kata Reyhan dengan nada tinggi.
"Anu, Pak-" Lia menyodorkan sebuah amplop putih yang sedari tadi digenggamnya.
Alis Reyhan berkerut. "Apa? Nggak usah penuh teka-teki gini, Lia. Apa maumu?"
"Resign Pak," jawab Lia cepat sebelum atasannya itu marah dan suasana menjadi keruh.
"Resign?" Reyhan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ini sudah karyawannya yang kesekian dalam periode kerjanya yang memutuskan untuk resign.
Reyhan menghela nafas. "Gajimu kurang, Lia?" tanya Reyhan sinis. "Ini sudah kesekian kalinya tim kita resign. Bukankah sejak aku menjabat, gaji kalian semua aku naikkan? Masih kurang?" Reyhan tidak habis pikir dengan sikap para bawahannya yang dirasa tidak tahu berterima kasih.
Lia menggeleng. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa mereka yang resign adalah mereka yang tidak nyaman bekerja dengan Reyhan yang kepribadiannya sangat kaku dan kurang bisa diajak bicara.
Tapi sayangnya, dalam dunia kerja, materi tidak menjadi satu-satunya hal yang membuat para pekerja memutuskan untuk bertahan ataupun resign. Ada beberapa hal besar lain yang menjadi pertimbangan mereka seperti bagaimana pemimpin mereka atau sesederhana bagaimana lingkungan kerja mereka.
"Kamu ada masalah sama saya?" Reyhan melototi Lia penuh selidik.
Lia menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya cuma...mau resign aja," bantah Lia.
"Lalu? Resign itu nggak sekedar 'aku mau resign' tapi ada alasannya. Juga, kamu itu sekretaris Saya. Semua kerjaan Saya, agenda Saya, semua kamu yang atur. Terus kalau kamu resign tanpa alasan yang jelas gini, kerjaan Saya, agenda Saya, gimana nasibnya?!" Marah Reyhan.
Lia hanya diam menunduk tidak berani membantah.
"Ini juga mendadak!" Tambah Reyhan.
“Maaf, Pak. Ke-keputusan saya sudah bulat," papar Lia takut.
Reyhan menghela nafas kasar. "Ya sudah. Saya nggak bisa maksa kamu buat tetep kerja sama Saya. ‘Toh kamu juga sudah minta resign. Tapi kamu harus tanggungjawab sama tugas kamu sebelum surat resign ini Saya tanda tangani!"
"A-apa, Pak?"
"Kamu cari siapapun yang menurut kamu bisa gantiin kamu, kamu ajari semua yang dia perlu tahu, dan Saya nggak mau kamu sampai salah pilih orang. Saya nggak mau orang yang kamu bawa kesini nggak bisa apa-apa atau melakukan kesalahan sekecil apapun. Paham kamu?!" Reyhan melototi Lia.
Lia yang takut akan kemarahan Reyhan pun mengangguk. "I-iya, Pak. Sebelum akhir bulan pengganti saya akan siap untuk bekerja pada Bapak!" Lia menyetujui permintaan Reyhan.
"Ya sudah keluar sana! Ini Saya tanda tangani kalau penggantimu sudah ada. Semakin cepat kamu bawa penggantimu, semakin cepat kamu keluar dari sini, semakin cepat pula kamu jauh dari perusahaan ini!" Tutup Reyhan dengan kalimat yang menusuk hati Lia.
Lia mengangguk cepat. Ia keluar dari ruangan Reyhan lalu menangis. Teman-temannya hanya bisa menghibur Lia. Bertahun-tahun bekerja pada Pak Narendra yang ramah, Lia merasakan tekanan batin luar biasa saat bekerja dengan Reyhan.
Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya. Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya. "Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja terse
“Sebenernya, kita mau kemana sih?” pukul setengah tujuh malam, Dewa sudah berada di rumah Sabrina. Tadi Siang, Sabrina memintanya untuk menemui seorang teman malam ini. “Mau ketemu Lia, sahabat aku waktu pendidikan pasca sarjana. Tunggu sebentar, ya!” Jawab Sabrina. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Ia belum selesai bersiap. Bedaknya belum tercampur sempurna dengan bubuk putih tebal di beberapa sisi. Alisnya baru tergambar separuh dan rambutnya masih tergelung berantakan. “Kamu jangan lama-lama dandannya! Bisa tua disini aku nungguin kamu dandan!” Dewa dongkol tiap kali menunggu Sabrina berdadan. Lama! Aku mungkin bisa menyelamatkan dunia bersama ‘Avenger’ sembari menunggu Sabrina selesai berdadan, terutama saat mengukir alis dan eyelinernya! “Lebay kali, ah!” Sabrina menyahut dari kamar. Dari jendela kamarnya, ia melihat Bu Fenti di teras rumah memperhatikan
Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview. “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?! “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina. Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan! Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada.. “Mau interview
Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group. Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung. “Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu. “Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini. “Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian. “Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki