Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari melewati pintu pesawat dengan senyum tanpa dosa di wajahnya. Dengan memegang sebuah pesawat kecil, hadiah dari sang ibu, bocah lelaki itu terus keluar tanpa peduli dengan teriakan ibunya yang memanggil namanya.
"Ansel, tunggu mama!" Seorang wanita berteriak dengan menenteng satu koper besar dan juga satu koper kecil milik putranya. Meskipun dia masih muda, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan tenaga anak kecil yang seakan tidak ada habisnya.
"Mama, cepatlah! Ansel sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet."
Bocah itu langsung saja berlari menuju sebuah tanda toilet pria. Dia masuk dan disaat itulah ibunya sudah tidak bisa mengejarnya.
Aleena mengembuskan napas panjang, dia menggelengkan kepala saat melihat kelakuan putranya. Akhirnya dia memilih untuk menunggu di kursi tunggu yang memang disediakan oleh pihak bandara.
Aleena membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk teman lamanya. Setelah selesai, dia melihat ke arah jendela yang menampakan pemandangan ibukota.
Sudah enam tahun berlalu dan sekarang rasanya masih sama. Aleena masih merasa sakit sebab teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh keluarganya. Ditambah dengan nasib buruk, membuat Aleena harus mengandung dan melahirkan anak dari lelaki yang sama sekali tidak dia kenal.
Namun, di samping itu, Aleena merasa sangat senang karena dia diberikan seorang anak lelaki seperti Ansel. Bocah yang sangat pintar dan tidak pernah menyusahkannya. Bahkan selalu menjadi penenang ketika Aleena sedang merasa lelah.
Aleena menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia bangun dan berjalan mendekati jendela. Berdiri dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Seringai muncul di wajah cantiknya yang kini sedikit berbeda akibat riasan tebal di wajah. Aleena sengaja sedikit mengubah gayanya sebab dia ingin tampil berbeda di negara asalnya.
Dengan tekad yang kuat, Aleena bersumpah untuk tidak menyerah pada keadaan. Meskipun diusir oleh keluarganya, meskipun terlunta-lunta di jalanan, Aleena tetap memegang teguh harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dia yakin bahwa setiap badai pasti akan berlalu, dan cahaya akan bersinar kembali dalam hidupnya.
"Eloise, Darius, kali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan damai," ucap Aleena bermonolog.
Sementara itu, di dalam toilet pria, Ansel menyelesaikan urusannya dengan rapi, persis seperti yang sudah diajarkan oleh ibunya. Setelah dia merapikan pakaian, Ansel membuka bilik toilet dan melihat seorang pria dewasa berdiri di atas wastafel.
Ansel tidak peduli, dia berjalan mendekati wastafel untuk mencuci kedua tangannya. Tetapi seluruh wastafel ternyata dibuat sesuai dengan tinggi orang dewasa. Membuatnya masih berusia lima tahun sangat sulit sekali Untuk menjangkau keran air.
Ansel menjinjit, berusaha untuk bisa menggapai keran air, tetapi segala usahanya sia-sia. Bahkan untuk mengambil sabun cuci tangan saja, tidak bisa dilakukannya.
"Menyebalkan! Kenapa di bandara sebesar ini tidak ada wastafel untuk anak kecil?" Ansel menggerutu.
"Pfftthh!"
Ansel otomatis menolehkan kepala, dia menatap sinis ke arah lelaki yang kini terlihat sedang menjepit bibir.
"Kenapa? Apa ada yang lucu dari perkataanku tadi? Salah jika aku protes tentang toilet bandara yang tidak sesuai dengan anak kecil sepertiku?" Ansel, meskipun masih berusia lima tahun, tetapi dia sudah pintar sekali untuk mengkritik apapun yang tidak sesuai dengan isi hatinya.
Ethan menegakkan punggungnya, dia menatap bocah ini selidik kemudian berkata, "Hei, bocah! Kamu memang tidak salah, dan aku merasa bahwa perkataanmu benar. Mungkin sebaiknya pengelola bandara ini mulai memperhatikan para pengunjung sepertimu yang bertubuh mini."
"Paman, tinggiku 120 cm. Itu bukan tinggi rata-rata anak laki-laki usia lima tahun. Jadi, aku bukan bertubuh mini, tapi hanya seorang anak lelaki yang memang tumbuh sesuai dengan usiaku."
Ethan sebelumnya tidak terlalu menyukai anak-anak, tetapi setelah mendengar bocah ini bicara, dia malah semakin tertarik dengan bocah itu.
"Baiklah, siapa namamu, bocah? Dan di mana orang tuamu?"
Ansel menyipitkan kedua matanya, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ethan. Malah menatap pria dewasa itu dari atas ke bawah, membuat Ethan sedikit merasa tidak nyaman dengan tatapannya.
"Hei! Aku sedang bicara denganmu," Ethan menginterupsi.
"Mamaku bilang, bahwa aku tidak boleh bicara dengan orang asing. Terlebih pada pria yang mengajak seorang anak kecil sepertiku berbicara."
Tanpa berkata-kata lagi, Ansel segera keluar dari toilet pria tanpa mencuci kedua tangannya. Dia segera berlari menghampiri sang ibu yang terlihat berdiri di dekat jendela.
"Mama!" teriak Ansel dengan riang.
Aleena yang sedang memperhatikan pemandangan ibukota, otomatis langsung membalikkan tubuh dan tersenyum pada puteranya.
"Mama, aku tadi tidak sempat mencuci kedua tanganku karena wastafelnya yang terlalu tinggi. Aku tidak sampai menyalakan air dan mengambil sabun," Ansel menjelaskan dengan sangat baik sehingga Aleena bisa memahami perkataannya.
Aleena menghela napas, dia mengajak putranya untuk duduk kemudian mengeluarkan selembar tisu basah dan juga hand sanitizer dari dalam tas.
"Tidak apa-apa, kita bersihkan pakai ini."
Aleena dengan telaten mengurus putranya, membersihkan kedua tangan Ansel sampai tercium aroma yang menyegarkan dari sana.
Tepat ketika itu, pintu toilet terbuka, menampakkan Ethan yang berpostur tinggi tanpa sengaja melihat ke arah Aleena dan Ansel. Namun, karena posisi mereka yang membelakangi toilet, membuat Ethan tidak bisa melihat wajah Aleena dengan jelas. Dia hanya bisa mengetahui bahwa bocah itu adalah bocah yang tadi berbicara dengannya di toilet pria.
"Ternyata itu ibunya," ucap Ethan dengan suara yang kecil, nyaris seperti berbisik.
"Iya, Tuan?" Finn tidak terlalu mendengarkan dengan jelas perkataan bosnya.
Ethan menggelengkan kepala, kemudian dia berjalan menuju pintu keluar bandara. Beberapa saat mereka melangkah, secara tiba-tiba Ethan menghentikan langkahnya.
"Apakah ada yang tertinggal, Tuan?" Finn bertanya dengan sedikit kebingungan.
"Iya, mulai hari ini, aku ingin di setiap toilet yang ada di bandara ini, juga dilengkapi dengan wastafel khusus untuk anak-anak."
"Apa?"
"Kenapa? Apakah instruksiku belum jelas?"
"Tidak. Hanya saja—" Finn menghentikan kata-katanya. Dia lalu menggelengkan kepala kemudian melanjutkan, "Baik, Tuan. Saya akan segera menyuruh orang untuk mengerjakannya."
Ethan tidak pernah memikirkan anak-anak, pria itu bahkan cenderung tidak menyukai anak-anak. Tetapi sekarang tiba-tiba menginginkan wastafel khusus untuk anak-anak di setiap toilet bandara. Hal itu tentu saja membuat karyawannya kebingungan.
Di sisi lain bandara, Aleena telah selesai membersihkan kedua tangan putranya. Dia tersenyum kemudian menggenggam tangan mungil itu dengan tangan kiri, sementara yang lainnya memegang koper besar miliknya.
"Baiklah, sekarang kita harus pulang."
Ansel tidak terlalu memperhatikan perkataan ibunya, dia malah teringat dengan pria yang ditemui di toilet barusan.
"Ma, tadi ada orang aneh."
"Orang aneh seperti apa?"
"Ketika Ansel sedang berada di toilet, tiba-tiba ada pria asing yang mengajak Ansel bicara. Memang lumayan tampan, bahkan sangat mirip dengan Ansel. Apakah pria itu adalah Papa Ansel?"
***
Bersambung~
Aleena membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia memaksa senyuman di depan putranya. "Hei, bocah! Darimana kamu bisa berkesimpulan bahwa orang asing itu adalah papamu?"Ansel memandang lurus ke arah depan kemudian berkata, "Dia pria dewasa yang tampan, gayanya keren, meski menyebalkan, tapi mata dan hidungnya mirip dengan Ansel." Bocah itu kembali beralih pada sang ibu kemudian berkata dengan antusias, "Ansel yakin bahwa itu adalah papa." "Ansel, di dunia ini ada begitu banyak orang. Bahkan menurut penelitian, setidaknya ada tujuh orang yang bisa mirip dengan kita. Mungkin pria yang Ansel temui tadi adalah salah satunya." "Tapi, Ma, dia—"Aleena menggelengkan kepalanya, tatapannya tegas, memerintahkan Ansel untuk menghentikan perkataannya. "Mama tidak mau mendengar lagi cerita tentang pria asing itu. Lagipula, bukankah mama sudah berkata bahwa kamu tidak boleh bicara dengan orang asing? Kenapa masih melanggar perintah mama?"Ansel hanya tersenyum malu membalasnya. "Ya, sud
Ansel langsung berlari menuju pria yang dipanggilnya "papa", bocah kecil itu merasa sangat bahagia. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah mungilnya. Ketika mereka sudah berhadapan, Ansel segera memeluk kaki panjang pria itu dengan erat. "Papa kemana saja? Kenapa baru menjemput Ansel?" tanya bocah itu dengan wajah polos. Belum sempat pria itu menjawab, seorang pria lainnya langsung melepaskan pelukan Ansel dengan kasar. "Singkirkan tanganmu!" "Finn," panggilan pria yang disebut "papa" oleh Ansel, langsung membuatnya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." "Tidak perlu," ucap Ethan, menahan pergerakan asistennya. Ethan kembali melihat Ansel, seketika ingatannya kembali pada kejadian di toilet bandara tadi. Tidak disangka malah kembali bertemu dengannya di sini. Ethan mensejajarkan tingginya dengan Ansel, dia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, "Sepertinya kita belum berkenalan tadi. Siapa namamu, Bocah?""Ansel, Pa," jawab Ansel dengan po
Harry segera masuk ke dalam lift kemudian melambaikan tangan pada Aleena. Aleena pun membalas lambaian tangan Harry kemudian pintu lift tertutup setelah Ethan keluar dari dalam lift. Setelah Harry pergi, di situlah Aleena menyadari tatapan Ethan untuknya. Aleena merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu. Segera dia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat Aleena menutup, Ethan dengan segera menahan gerakannya. "Siapa kamu? Jangan macam-macam padaku atau aku akan panggil security!" ancaman Aleena tentu saja tidak berpengaruh. Ethan segera mendorong tubuh Aleena hingga membentur lemari sepatu yang berada di samping pintu masuk. Tidak salah lagi! Dia adalah gadis yang malam itu tidur bersama dengannya. "Aleena Reverie Anderson," Ethan bergumam. Aleena membelalak, dia tidak merasa pernah mengenal pria ini tetapi malah tahu nama keluarganya. "Ka-kamu ....""Dimana anakku?" Alis Aleena berkerut, dengan tenaga yang penuh, dia segera mendorong dada Ethan dan menjau
"Kamu tidak akan masuk?" Aleena menghela napas panjang kemudian dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aleena tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekedar menunggu lift berikutnya. Aneh sekali, gedung apartemen mewah seperti ini hanya memiliki satu lift sebagai akses keluar masuk untuk para penghuninya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Aleena memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol pintu ditutup. Aleena memilih untuk berada di sisi paling jauh dari Ethan. Sama sekali tidak menoleh ke arah pria itu bahkan ketika Ethan mulai berbicara dengannya. "Jadi, apakah kamu akan menjelaskan di mana anakku berada?"Aleena bersedekap, tanpa memandang ke arah Ethan, dia menjawab, "Aku tidak punya anak denganmu." "Jangan berbohong! Terakhir kali kamu berada di rumah sakit, sangat jelas hasil tes berkata bahwa kamu tidak mengandung anakku."Terdengar nada suara penuh amarah dari kalimat yang diucapkan oleh Ethan. Tetapi Aleena sama sekal
Aleena melangkahkan kedua kakinya dengan bibir yang bersenandung, pertanda bahwa hatinya saat ini sangat bahagia. Hari ini dia langsung diterima bekerja setelah beberapa saat sebelumnya dia mengira bahwa semua tidak akan berjalan dengan mudah. Aleena memegang tiga box pizza kesukaan Ansel juga satu kantong berisi beberapa kaleng soda. Sebagai bentuk rasa syukur karena sudah diterima bekerja, Aleena akan memberikan perayaan kecil-kecilan pada putranya itu. Tepat ketika dia memasuki area apartemen tempat tinggalnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping Aleena. Membuatnya menghentikan langkah kemudian menyipitkan kedua mata untuk bisa melihat dengan jelas orang yang berada di dalam mobil. Tiba-tiba kaca mobil terbuka, nampak Harry yang sedang tersenyum ke arahnya. Sudut bibir Aleena otomatis terangkat, membalasnya. "Harry! Sedang apa kamu di sini?" Harry segera keluar dari mobil kemudian berdiri di depannya, "Aku sedang ada urusan di dekat sini. Tapi, malah bertemu denga
Aleena diam sembari terus menatap kedua mata Ethan. Pria ini sangat tampan tetapi ternyata memang tidak bisa dinilai dari tampak luar saja. "Dasar gila!" Aleena menggerutu kemudian melangkah pergi melewatinya. Namun, Ethan tidak membiarkannya dengan mudah. Pria itu segera mengejar Aleena dan ikut masuk ke dalam lift berdua. "Menikahlah denganku maka semua keinginanmu akan ku kabulkan," Ethan masih berusaha mendapatkannya. Aleena menolehkan kepala, kali ini dia benar-benar sudah muak. Kedua tangannya terkepal dengan erat sebab amarah yang semakin membesar. "Dengar, Tuan! Aku saja bahkan tidak tahu siapa namamu. Sekarang kamu tiba-tiba mengatakan bahwa kamu ingin menikah denganku? Kamu gila, ya!" "Begitu, ya," Ethan bergumam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir pria itu lagi membuat Aleena berpikir bahwa dia sudah menyerah. Tetapi ternyata Aleena terlalu cepat berkesimpulan. "Finn Stuart Wilson." Ethan berpikir bahwa Aleena pasti akan histeris jika mengetahui identitas d
Ansel melihat sekeliling dan tidak melihat keberadaan sang ibu di sana. Seketika hatinya diliputi oleh perasaan sedih sebab lagi lagi sang ibu tidak menepati janjinya. "Ansel, mamamu belum datang. Lebih baik menunggu di dalam saja. Nanti bu guru akan memberitahu mama kalau Ansel ada di kelas," ucap guru menenangkan. Ansel kembali ke ruang kelas mengikuti perkataan gurunya. Di sana juga ada beberapa anak yang juga belum dijemput sama seperti dirinya. Pada akhirnya Ansel memutus untuk bermain bersama dengan mereka. Dia mengambil sebuah balok kemudian menyusunnya menjadi sebuah gedung yang besar. Ketika Ansel sedang sibuk dengan balok-balok tersebut, tiba-tiba seorang anak laki-laki bertubuh gempal menyenggol susunan balok milik Ansel. Ansel langsung bangun dan menatapnya dengan marah. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menghancurkan gedung yang sudah kubuat?" Ansel menata tajam ke arah bocah itu. Bocah itu melihat ke arah balok tersebut kemudian berkata, "Aku hanya tidak sengaja.
Beberapa saat sebelum Aleena datang menjemput putranya.Terdapat sebuah tanda merah kebiruan di wajah bocah bertubuh gempal yang sudah mengganggu Ansel. Bocah itu menangis dengan keras hingga membuat guru kelas yang baru saja kembali dari kamar mandi langsung berlari menghampiri mereka. "Anak-anak, ada apa? Jerry, kenapa kamu menangis?"Tidak tahu apa yang terjadi ketika dia meninggalkan anak-anak asuhnya, tetapi guru langsung bisa menduga bahwa telah terjadi perkelahian di antara mereka. Guru langsung menghampiri bocah bertumbuh gempal itu kemudian terkejut melihat wajahnya yang terluka. "Ada apa ini? Kenapa dengan wajahmu?" Guru merasa khawatir dan juga ketakutan. Sesuai dengan SOP di sekolah ini, guru tidak boleh membiarkan anak-anak bermain sendirian tanpa pengawasan. Kemudian tanpa bisa meminta tolong pada siapapun, guru terpaksa meninggalkan anak-anak di dalam ruang kelas tanpa ada seorangpun yang bisa mengawasi mereka.Guru langsung melihat ke arah Ansel kemudian bertanya, "