Share

6. Pria Asing di Bandara

Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari melewati pintu pesawat dengan senyum tanpa dosa di wajahnya. Dengan memegang sebuah pesawat kecil, hadiah dari sang ibu, bocah lelaki itu terus keluar tanpa peduli dengan teriakan ibunya yang memanggil namanya. 

"Ansel, tunggu mama!" Seorang wanita berteriak dengan menenteng satu koper besar dan juga satu koper kecil milik putranya. Meskipun dia masih muda, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan tenaga anak kecil yang seakan tidak ada habisnya. 

"Mama, cepatlah! Ansel sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet." 

Bocah itu langsung saja berlari menuju sebuah tanda toilet pria. Dia masuk dan disaat itulah ibunya sudah tidak bisa mengejarnya. 

Aleena mengembuskan napas panjang, dia menggelengkan kepala saat melihat kelakuan putranya. Akhirnya dia memilih untuk menunggu di kursi tunggu yang memang disediakan oleh pihak bandara. 

Aleena membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk teman lamanya. Setelah selesai, dia melihat ke arah jendela yang menampakan pemandangan ibukota. 

Sudah enam tahun berlalu dan sekarang rasanya masih sama. Aleena masih merasa sakit sebab teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh keluarganya. Ditambah dengan nasib buruk, membuat Aleena harus mengandung dan melahirkan anak dari lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. 

Namun, di samping itu, Aleena merasa sangat senang karena dia diberikan seorang anak lelaki seperti Ansel. Bocah yang sangat pintar dan tidak pernah menyusahkannya. Bahkan selalu menjadi penenang ketika Aleena sedang merasa lelah. 

Aleena menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia bangun dan berjalan mendekati jendela. Berdiri dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Seringai muncul di wajah cantiknya yang kini sedikit berbeda akibat riasan tebal di wajah. Aleena sengaja sedikit mengubah gayanya sebab dia ingin tampil berbeda di negara asalnya. 

Dengan tekad yang kuat, Aleena bersumpah untuk tidak menyerah pada keadaan. Meskipun diusir oleh keluarganya, meskipun terlunta-lunta di jalanan, Aleena tetap memegang teguh harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dia yakin bahwa setiap badai pasti akan berlalu, dan cahaya akan bersinar kembali dalam hidupnya.

"Eloise, Darius, kali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan damai," ucap Aleena bermonolog. 

Sementara itu, di dalam toilet pria, Ansel menyelesaikan urusannya dengan rapi, persis seperti yang sudah diajarkan oleh ibunya. Setelah dia merapikan pakaian, Ansel membuka bilik toilet dan melihat seorang pria dewasa berdiri di atas wastafel. 

Ansel tidak peduli, dia berjalan mendekati wastafel untuk mencuci kedua tangannya. Tetapi seluruh wastafel ternyata dibuat sesuai dengan tinggi orang dewasa. Membuatnya masih berusia lima tahun sangat sulit sekali Untuk menjangkau keran air.

Ansel menjinjit, berusaha untuk bisa menggapai keran air, tetapi segala usahanya sia-sia. Bahkan untuk mengambil sabun cuci tangan saja, tidak bisa dilakukannya. 

"Menyebalkan! Kenapa di bandara sebesar ini tidak ada wastafel untuk anak kecil?" Ansel menggerutu.

"Pfftthh!" 

Ansel otomatis menolehkan kepala, dia menatap sinis ke arah lelaki yang kini terlihat sedang menjepit bibir. 

"Kenapa? Apa ada yang lucu dari perkataanku tadi? Salah jika aku protes tentang toilet bandara yang tidak sesuai dengan anak kecil sepertiku?" Ansel, meskipun masih berusia lima tahun, tetapi dia sudah pintar sekali untuk mengkritik apapun yang tidak sesuai dengan isi hatinya. 

Ethan menegakkan punggungnya, dia menatap bocah ini selidik kemudian berkata, "Hei, bocah! Kamu memang tidak salah, dan aku merasa bahwa perkataanmu benar. Mungkin sebaiknya pengelola bandara ini mulai memperhatikan para pengunjung sepertimu yang bertubuh mini." 

"Paman, tinggiku 120 cm. Itu bukan tinggi rata-rata anak laki-laki usia lima tahun. Jadi, aku bukan bertubuh mini, tapi hanya seorang anak lelaki yang memang tumbuh sesuai dengan usiaku." 

Ethan sebelumnya tidak terlalu menyukai anak-anak, tetapi setelah mendengar bocah ini bicara, dia malah semakin tertarik dengan bocah itu. 

"Baiklah, siapa namamu, bocah? Dan di mana orang tuamu?" 

Ansel menyipitkan kedua matanya, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ethan. Malah menatap pria dewasa itu dari atas ke bawah, membuat Ethan sedikit merasa tidak nyaman dengan tatapannya. 

"Hei! Aku sedang bicara denganmu," Ethan menginterupsi. 

"Mamaku bilang, bahwa aku tidak boleh bicara dengan orang asing. Terlebih pada pria yang mengajak seorang anak kecil sepertiku berbicara." 

Tanpa berkata-kata lagi, Ansel segera keluar dari toilet pria tanpa mencuci kedua tangannya. Dia segera berlari menghampiri sang ibu yang terlihat berdiri di dekat jendela. 

"Mama!" teriak Ansel dengan riang. 

Aleena yang sedang memperhatikan pemandangan ibukota, otomatis langsung membalikkan tubuh dan tersenyum pada puteranya. 

"Mama, aku tadi tidak sempat mencuci kedua tanganku karena wastafelnya yang terlalu tinggi. Aku tidak sampai menyalakan air dan mengambil sabun," Ansel menjelaskan dengan sangat baik sehingga Aleena bisa memahami perkataannya. 

Aleena menghela napas, dia mengajak putranya untuk duduk kemudian mengeluarkan selembar tisu basah dan juga hand sanitizer dari dalam tas. 

"Tidak apa-apa, kita bersihkan pakai ini."

Aleena dengan telaten mengurus putranya, membersihkan kedua tangan Ansel sampai tercium aroma yang menyegarkan dari sana. 

Tepat ketika itu, pintu toilet terbuka, menampakkan Ethan yang berpostur tinggi tanpa sengaja melihat ke arah Aleena dan Ansel. Namun, karena posisi mereka yang membelakangi toilet, membuat Ethan tidak bisa melihat wajah Aleena dengan jelas. Dia hanya bisa mengetahui bahwa bocah itu adalah bocah yang tadi berbicara dengannya di toilet pria. 

"Ternyata itu ibunya," ucap Ethan dengan suara yang kecil, nyaris seperti berbisik. 

"Iya, Tuan?" Finn tidak terlalu mendengarkan dengan jelas perkataan bosnya. 

Ethan menggelengkan kepala, kemudian dia berjalan menuju pintu keluar bandara. Beberapa saat mereka melangkah, secara tiba-tiba Ethan menghentikan langkahnya. 

"Apakah ada yang tertinggal, Tuan?" Finn bertanya dengan sedikit kebingungan. 

"Iya, mulai hari ini, aku ingin di setiap toilet yang ada di bandara ini, juga dilengkapi dengan wastafel khusus untuk anak-anak." 

"Apa?" 

"Kenapa? Apakah instruksiku belum jelas?" 

"Tidak. Hanya saja—" Finn menghentikan kata-katanya. Dia lalu menggelengkan kepala kemudian melanjutkan, "Baik, Tuan. Saya akan segera menyuruh orang untuk mengerjakannya."

Ethan tidak pernah memikirkan anak-anak, pria itu bahkan cenderung tidak menyukai anak-anak. Tetapi sekarang tiba-tiba menginginkan wastafel khusus untuk anak-anak di setiap toilet bandara. Hal itu tentu saja membuat karyawannya kebingungan.

Di sisi lain bandara, Aleena telah selesai membersihkan kedua tangan putranya. Dia tersenyum kemudian menggenggam tangan mungil itu dengan tangan kiri, sementara yang lainnya memegang koper besar miliknya. 

"Baiklah, sekarang kita harus pulang." 

Ansel tidak terlalu memperhatikan perkataan ibunya, dia malah teringat dengan pria yang ditemui di toilet barusan. 

"Ma, tadi ada orang aneh." 

"Orang aneh seperti apa?"

"Ketika Ansel sedang berada di toilet, tiba-tiba ada pria asing yang mengajak Ansel bicara. Memang lumayan tampan, bahkan sangat mirip dengan Ansel. Apakah pria itu adalah Papa Ansel?"

***

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status