Eloise membelalak, lelaki mana yang dimaksud suaminya? Dia langsung mengambil kotak hadiah tersebut kemudian membukanya. Benar saja, bahwa di dalam kotak itu terdapat beberapa foto dirinya dengan pria lain sedang masuk ke dalam hotel berbintang. Semua detail sangat jelas sehingga dia tidak akan bisa mengelak.Namun, Eloise mana mau mengakuinya, dia merobek kumpulan foto itu kemudian memeluk lengan Darius. Dia menggelengkan kepalanya dengan dan saat itulah air matanya mengalir keluar. "Kakak, semua foto-foto ini tidak seperti yang kamu kira. Aku tidak pernah mengenalnya. Foto-foto ini pasti sudah direkayasa oleh orang yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah berselingkuh darimu, Kak," Eloise membela dirinya.Darius menatap Eloise dan masih terlihat ketidakpercayaan dari sorot matanya. Segera Eloise mengusap dada bidangnya kemudian bersandar di sana. "Kakak tahu betapa aku mencintai Kakak. Aku sampai merelakan hubungan persaudaraanku rusak hanya demi bisa hidup bahagia bersama dengan K
Setelah mengatakannya, Aleena langsung berdiri dan meninggalkan Ethan yang masih termenung memikirkan kata-katanya. Dalam hatinya ada sedikit rasa malu karena secara tidak langsung, dia telah mengungkapkan perasaannya. Saat sampai di depan pintu lift, Aleena terdiam sejenak dan melihat tempat dimana Ethan masih duduk tanpa bergerak sedikitpun. Seketika itu juga hatinya diliputi perasaan kecewa sebab berharap bahwa pria itu akan mengejarnya dan menanyakan lebih jelas tentang perasaannya. Tetapi, yang terjadi adalah Ethan masih duduk di kursi taman tanpa berniat untuk mengejarnya.Aleena tersenyum merutuki kebodohannya. Mana mungkin Ethan melihatnya sebagai seorang wanita ketika tembok yang menghalangi mereka begitu tinggi dan sulit untuk dihancurkan. Pada akhirnya dia memilih untuk masuk ke dalam lift meninggalkan Ethan sendirian.Tanpa diketahui oleh Aleena, Ethan terdiam sebab memikirkan kata-katanya. Dia tidak mau menjadi salah paham dan mengira Aleena sudah mulai bisa membuka hati
Aleena tersenyum saat pandangan matanya bertemu dengan Ansel. Dia baru saja menemani putranya konsultasi dengan psikolog. Hasilnya pun sudah sesuai dengan dugaan bahwa Ansel mengalami gangguan trauma pasca penculikan. Namun, melihat bocah itu yang sudah mau berinteraksi dengan orang lain, meski belum sembuh benar sudah merupakan hal yang baik. Mereka diminta untuk terus menemaninya kemanapun bocah itu pergi.Aleena berpikir bahwa masih belum terlambat, dia pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk putranya. Berharap ke depannya juga akan ada beberapa terapi ataupun pengobatan supaya bisa mengembalikan keceriaan di wajah Ansel. Melihat suasana sekitar dan ternyata dirinya masih tidak mendapati Ethan berada di sana, seketika Aleena diliputi perasaan kecewa. Pria itu sudah berjanji untuk menyusul mereka di rumah sakit tetapi sekarang nyatanya janji itu hanya omong kosong belaka."Ma, ayo, kita pulang!" ajak Ansel setelah dia menghabiskan ice cream di tangannya.Aleena langsung memasan
Aleena buru-buru melepaskan diri dari Ethan sehingga membuat Ansel yang berada di tengah-tengah mereka menjadi kebingungan. Dia berusaha untuk mengubah ekspresi wajahnya seperti biasa. "Ansel, karena Papa sudah ada di sini, sebaiknya Ansel tidur. Hari sudah malam, sudah waktunya untuk kita beristirahat," ucap Aleena seraya merebahkan diri di samping Ansel. "Mama, kenapa wajah Mama merah? Apakah Mama sakit?" Mendengar kalimat Ansel, seketika Aleena mengangkat wajah dan menatap Ethan. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, dia tidak berani untuk menatap suaminya. Rasanya seperti jantung akan meledak jika bertemu pandang dengannya. "Tidak, mama hanya lelah dan ingin istirahat saja. Lebih baik sekarang kita tidur, ya?" Aleena benar-benar menghindari kontak mata dengan Ethan. Dia langsung menarik selimut, menutupi tubuhnya dan Ansel. Dalam hati berharap bahwa tidak akan ada lagi pertanyaan serta hari langsung berganti menjadi pagi. Baru saja Aleena mendengarkan embusan napas Ansel yang
"Sayang, aku mohon dengarkan aku dulu. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Eloise pasti memiliki alasan kenapa dia melakukannya," Helena berusaha untuk membujuk Ivander supaya mempercayai perkataannya. Dia tidak bisa membiarkan suaminya mencoret nama Eloise dari daftar pewaris keluarga Anderson. "Aku sudah memberikan waktu pada kalian membuktikan bahwa Eloise tidak bersalah. Kuperintahkan untuk segera membereskan kekacauan yang sudah kalian buat. Tapi, apa ini? Eloise dipenjara dan membuat keadaan perusahaan semakin kacau! Kalian mau membuatku hancur, ya?!" Wajah Ivander sudah sangat merah saking besar amarah yang dirasakannya. Pria itu nampak seperti bisa menghancurkan apapun yang ada di depannya. Baru kali ini dia melihat kemarahan Ivander yang tidak biasa. Sampai-sampai dia merasa khawatir dengan keselamatannya di masa depan.Namun, Helena penuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Dia berusaha untuk tetap tersenyum di depan sang suami. Helena mencoba memegang lengan Ivan
"Aku tetap tidak suka kamu menikah Kak Aleena." Langkah kaki Aleena terhenti saat mendengar namanya disebut oleh. Saat ini dia membawa paper bag berisi cincin pernikahan yang baru saja diambil dari toko perhiasan tempat mereka memesan sebelumnya, siap memberikan kejutan manis untuk tunangannya. Namun, saat Aleena melangkah masuk ke dalam rumah kekasihnya, dia mendengar suara seorang wanita dari dalam kamar.Jantung Aleena berdegup dengan sangat kencang, dia mengintip sedikit dari celah pintu yang terbuka. Debaran yang dirasakannya semakin menjadi saat dia melihat tunangannya sedang bermesraan dengan wanita lain. Dengan hati yang berdebar, Aleena semakin mendekati pintu yang sedikit terbuka dan memperhatikan dengan hati-hati. Apa yang dia lihat membuatnya terdiam dan terpaku. Di dalam rumah, pria yang beberapa hari lagi akan menjadi suaminya, terlihat mesra dengan wanita lain yang ternyata adalah adik tirinya."Kamu tenang saja, Sayang. Aku menikahi Aleena, hanya karena perjodohan o
Aleena berkerut, berusaha untuk membuka kedua mata. Saat akhirnya dia berhasil menopang tubuhnya, Aleena mengangkat wajah dan melihat sosok di depannya. Seorang pria tampan dengan napas yang terengah-engah memegang bahunya. Aleena yang sebelumnya dalam kondisi mabuk, seketika langsung berangsur sadar. "Kamu siapa?" Aleena berkerut bingung, dia tidak tahu siapa pria itu, tetapi yang dia sadari adalah wajah pria itu yang lumayan tampan. Aleena tersenyum, dia memegang wajah pria itu dan seketika teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan juga adik tirinya. Namun, sesaat kemudian aleena segera tersadar. Meskipun yang dilakukan oleh tunangannya sangat menyakitkan, tetapi dia tidak boleh berperilaku sama. "Lepaskan aku!" Aleena berusaha untuk melepaskan diri tetapi cengkraman pria itu di bahunya sangat keras. "Kamu sudah datang rupanya," ucap pria itu dengan lirih. Tanpa menunggu Aleena menjawab, dia segera membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada di club
Semenjak hari itu, Aleena tidak diperbolehkan untuk keluar dari kamar. Dia hanya berada di dalam kamar, untuk makan saja, ada seseorang yang mengantarkannya. Aleena bagai terpenjara dalam rumahnya. Aleena memegang kepalanya yang terasa sakit. Sudah beberapa hari ini dia merasa tidak enak badan. Perutnya terasa mual dan tubuhnya seperti tidak bertenaga. Aleena menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berdiri dan berjalan lesu menuju pintu kamar. Aleena sedikit memberikan pukulan di daun pintu, berharap ada orang yang akan mendengarkannya. "Pa," panggil Aleena, "Tolong, buka pintunya! Aleena—" Mendadak Aleena tidak bisa berkata-kata, dia terdiam dan saat telah menyadari kepalanya seperti berputar. Aleena memegang handle pintu dengan erat, berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh dan membentur lantai. Namun, Aleena sudah mencapai puncak kekuatannya, sesaat kemudian tidak ada lagi yang dapat dilihat olehnya dan semuanya berubah menjadi gelap.