"Aku tetap tidak suka kamu menikah Kak Aleena."
Langkah kaki Aleena terhenti saat mendengar namanya disebut oleh. Saat ini dia membawa paper bag berisi cincin pernikahan yang baru saja diambil dari toko perhiasan tempat mereka memesan sebelumnya, siap memberikan kejutan manis untuk tunangannya.
Namun, saat Aleena melangkah masuk ke dalam rumah kekasihnya, dia mendengar suara seorang wanita dari dalam kamar.
Jantung Aleena berdegup dengan sangat kencang, dia mengintip sedikit dari celah pintu yang terbuka. Debaran yang dirasakannya semakin menjadi saat dia melihat tunangannya sedang bermesraan dengan wanita lain.
Dengan hati yang berdebar, Aleena semakin mendekati pintu yang sedikit terbuka dan memperhatikan dengan hati-hati. Apa yang dia lihat membuatnya terdiam dan terpaku. Di dalam rumah, pria yang beberapa hari lagi akan menjadi suaminya, terlihat mesra dengan wanita lain yang ternyata adalah adik tirinya.
"Kamu tenang saja, Sayang. Aku menikahi Aleena, hanya karena perjodohan orang tua kami. Aku tidak benar-benar mencintainya."
Air mata mulai mengalir di pipi Aleena saat dia menyaksikan adegan yang menghancurkan hatinya. Rasa sakit dan kekecewaan melanda dirinya, membuatnya merasa seakan dunianya runtuh dalam sekejap. Aleena merasa terpukul dan terluka oleh pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang akan menjadi pendamping hidupnya.
"Tapi, Kak, aku sebenarnya juga merasa sangat sedih," ucap Eloise dengan nada suara manja yang dibuat menyedihkan.
"Sedih kenapa, Sayang? Kita sudah bersama saat ini dan sebentar lagi kita akan lebih sering bertemu dari biasanya."
"Besok Kakak dan Kak Aleena akan sah menjadi suami istri. Kalian pasti akan melakukan malam pertama itu sementara aku?" Eloise mengeluarkan air mata, membuat Darius langsung menghapusnya dan memberikan kecupan di jejak air matanya.
"Kamu tenang saja, aku akan mencari cara supaya malam pertama itu tidak pernah terjadi. Aku akan membuktikan padamu bahwa pernikahan ini memang hanya untuk status saja," Darius berkata dengan penuh keyakinan.
Aleena membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan, menahan suara tangis yang hendak keluar dari celah bibirnya. Bagaimana bisa orang yang dia percaya berselingkuh dengan adik tirinya? Dia pikir Darius adalah pria yang tulus mencintainya, nyatanya dia salah.
Aleena membuka pintu kamar dengan kasar, membuat mereka terkejut melihat kehadirannya, "Teganya kalian melakukan ini padaku!"
Darius langsung saja turun dari ranjang, mengambil kemejanya yang berada di lantai, menutupi tubuhnya kemudian mendekati Aleena, "Sayang, aku—"
Aleena menepis dengan kasar tangan Darius yang hendak menyentuhnya, "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!"
Aleena melihat Eloise yang bersembunyi dari balik selimut, "Apa salahku padamu sampai kamu tega melakukan ini padaku?"
Eloise tanpa rasa bersalah, "Semua ini adalah salah Kakak sendiri. Kakak tidak cantik sepertiku sehingga Kak Darius lebih suka padaku. Lebih baik Kakak instrospeksi diri saja sebelum menyalahkan orang lain atas kekurangan yang Kakak miliki."
Aleena membelalak, mulutnya terbuka saking tercengang dengan kalimat yang diucapkan oleh Eloise padanya. Aleena adalah korban, lalu kenapa sekarang dia malah disalahkan atas perselingkuhan mereka?
"Aleena, Eloise tidak bermaksud mengatakannya, dia hanya—"
"Kita batalkan pernikahan ini."
"Apa?"
"Aku tidak sudi menikah dengan orang menjijikan sepertimu!"
"Kamu berani menghinaku?" Darius berjalan mendekati Aleena, tatapannya yang tajam, tanpa sadar membuat Aleena takut hingga memundurkan tubuhnya.
Namun, kekecewaan yang besar terhadap dua orang di depannya, Aleena berusaha untuk memberanikan diri. Dia balik menatap Darius dengan tajam, "Kenapa? Kamu tidak terima? Pergi saja sana ke dalam— hekkk!"
Darius langsung memegang bahu Aleena, membuat kata-katanya terhenti. Tatapan pria itu menyalak, seringai muncul di wajahnya.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu membatalkan pernikahan ini! Jika berani melakukannya, aku tidak akan membiarkanmu hidup!"
Aleena membelalak, dia baru melihat sisi gelap Darius yang seperti ini. Tepat pada saat itu, dia merasakan cengkraman Darius di bahunya semakin mengeras dan membuatnya meringis kesakitan.
"Darius, sakit!"
Darius menggertakkan giginya, beberapa saat didiamkan dalam posisi seperti itu hingga dia berkata, "Enyahlah dari hadapanku sekarang! Besok, kamu harus datang di pernikahan kita. Jika tidak, jangan salahkan aku bersikap lebih dari ini padamu!"
Darius langsung melepaskan Aleena dan kembali ke sisi Eloise.
Sementara Aleena, jelas sekali dia melihat senyum mengejek Eloise untuknya. Dalam keheningan yang menyakitkan, Aleena segera pergi dari sana. Dia berjalan perlahan meninggalkan tempat itu, hatinya dipenuhi dengan kehampaan dan keputusasaan. Raut wajahnya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan yang sulit diungkapkan.
Di tengah malam yang sunyi, Aleena duduk di tepi danau yang tenang. Dia memandang air yang mengalir dengan hening, mencerminkan kekosongan dan kesepian yang melanda hatinya. Air mata tak henti mengalir, meresapi kepedihan dan pengkhianatan yang dia alami.
Cukup lama dia berada di sana sampai akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia tidak peduli dengan ancaman Darius. Aleena harus segera mengakhiri rencana pernikahan mereka. Tidak peduli dengan rasa cintanya, pengkhianatan ini sudah sangat dalam menusuk hatinya.
Saat sampai di rumah, dia langsung disuguhkan dengan pemandangan ayahnya dengan raut wajah tidak enak sedang duduk di sofa keluarga. Ketika Aleena datang, pria itu segera berdiri dan menatapnya dengan tajam.
"Darimana saja kamu? Bukannya mengurus pernikahan, malah pergi tanpa kabar."
"Pa, aku ...," Aleena mempersiapkan dirinya, "Aku tidak bisa menikah dengan Darius."
Tidak ada jawaban apapun dari pria itu sampai akhirnya Aleena kembali berkata, "Pa, aku tidak akan menikah dengan Darius."
"Jangan bicara sembarangan kamu! Undangan sudah disebar dan banyak orang akan datang. Kamu mau mempermalukan papa, ya!"
"Sayang, tenanglah. Aku yakin Aleena memiliki alasan," ucap Helena, ibu tiri Aleena. Dia melihat Aleena dengan sinis kemudian berkata, "Aleena sayang, kamu tidak bisa sembarangan seperti ini. Papamu akan menanggung malu jika kamu melakukannya."
Kedua tangan Aleena terkepal di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana perlakuan ibu dan adik tirinya, dia sudah hafal. Di depan sang ayah baik, di belakang akan jauh berbeda. Nada suaranya sangat lembut tetapi tatapannya menyalak.
"Tanyakan pada putrimu yang telah berselingkuh dengan Darius di belakangku!" Aleena dengan berani membongkar semuanya.
Helena dan Ivander langsung terkejut dengan perkataan Aleena.
"Kamu, berani sekali kamu memfitnah Eloise!" Helena langsung beralih pada suaminya kemudian berkata, "Ivander, sepertinya aku tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan kita. Sudah cukup aku dibenci oleh putrimu. Tapi, saat dia memfitnah putriku, aku juga tidak bisa tinggal diam!"
Ivander segera menenangkan istrinya, dia mengusap air mata Helena lalu beralih pada Aleena, "Aleena, segera minta maaf!"
Aleena merasa sangat terkejut, dia terdiam beberapa saat lalu berkata dengan lirih, "Jadi, Papa tidak percaya denganku?"
"Tentu saja! Papa lebih percaya kamu yang sangat ingin mempermalukan papa sehingga membatalkan pernikahan ini dibandingkan omong kosong yang sudah kamu katakan!"
Aleena bergetar melihat mereka, sekarang dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Tidak ada satupun yang percaya padanya, tidak ada satupun orang yang peduli terhadapnya.
"Aleena! Segera minta maaf pada ibumu sekarang juga!" Ivander berteriak.
"Dia bukan ibuku!" Aleena tidak bisa lagi berkata-kata, tanpa bicara, dia langsung pergi meninggalkan rumah.
Aleena tidak memiliki tempat sebagai tujuan. Dia memilih untuk pergi ke sebuah bar dan melepaskan segala keresahan dalam hatinya di sana.
Dalam suasana berisik musik DJ, Aleena merenungkan keputusasaan dan kehancuran yang menimpanya. Dia merasa terbuang dan terluka, kehilangan segalanya yang pernah dia percayai.
Sudah lebih dari satu botol tequila masuk ke dalam tubuhnya. Hal itu sudah cukup membuat Aleena mabuk hingga tidak bisa melihat sekitar dengan jelas. Dia berdiri dan berjalan tidak tentu arah. Kemanapun, Aleena tidak peduli, yang terpenting baginya adalah pergi sejauh mungkin dari keluarga yang tidak pernah peduli terhadapnya.
Hingga tanpa sadar Aleena menabrak seorang pria. Dia berkerut, berusaha untuk bisa melihat dengan jelas walaupun itu adalah hal yang percuma. Namun, sudut bibir Aleena langsung terangkat ketika dalam pandangannya nampak seorang pria tampan.
***
Bersambung~
Aleena berkerut, berusaha untuk membuka kedua mata. Saat akhirnya dia berhasil menopang tubuhnya, Aleena mengangkat wajah dan melihat sosok di depannya. Seorang pria tampan dengan napas yang terengah-engah memegang bahunya. Aleena yang sebelumnya dalam kondisi mabuk, seketika langsung berangsur sadar. "Kamu siapa?" Aleena berkerut bingung, dia tidak tahu siapa pria itu, tetapi yang dia sadari adalah wajah pria itu yang lumayan tampan. Aleena tersenyum, dia memegang wajah pria itu dan seketika teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan juga adik tirinya. Namun, sesaat kemudian aleena segera tersadar. Meskipun yang dilakukan oleh tunangannya sangat menyakitkan, tetapi dia tidak boleh berperilaku sama. "Lepaskan aku!" Aleena berusaha untuk melepaskan diri tetapi cengkraman pria itu di bahunya sangat keras. "Kamu sudah datang rupanya," ucap pria itu dengan lirih. Tanpa menunggu Aleena menjawab, dia segera membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada di club
Semenjak hari itu, Aleena tidak diperbolehkan untuk keluar dari kamar. Dia hanya berada di dalam kamar, untuk makan saja, ada seseorang yang mengantarkannya. Aleena bagai terpenjara dalam rumahnya. Aleena memegang kepalanya yang terasa sakit. Sudah beberapa hari ini dia merasa tidak enak badan. Perutnya terasa mual dan tubuhnya seperti tidak bertenaga. Aleena menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berdiri dan berjalan lesu menuju pintu kamar. Aleena sedikit memberikan pukulan di daun pintu, berharap ada orang yang akan mendengarkannya. "Pa," panggil Aleena, "Tolong, buka pintunya! Aleena—" Mendadak Aleena tidak bisa berkata-kata, dia terdiam dan saat telah menyadari kepalanya seperti berputar. Aleena memegang handle pintu dengan erat, berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh dan membentur lantai. Namun, Aleena sudah mencapai puncak kekuatannya, sesaat kemudian tidak ada lagi yang dapat dilihat olehnya dan semuanya berubah menjadi gelap.
Cahaya menyilaukan mengganggu tidur Aleena sehingga dia memutuskan untuk menyudahi waktu istirahatnya. Saat kedua mata Aleena terbuka sempurna, di situlah dia menyadari bahwa saat ini dirinya berada di ruangan yang asing. "Dimana aku?" Aleena ingat bahwa sebelumnya dia berada di jalanan. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit hingga akhirnya dia sudah tidak ingat lagi kejadian setelahnya. Aleena berusaha untuk mengubah posisi tidur menjadi duduk. Dia melihat sekeliling, beberapa saat Aleena tersadar bahwa saat ini dirinya berada di sebuah ruangan di rumah sakit. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba dia berada di tempat ini? Aleena memejamkan kedua mata, meski sudah tidak terlalu sakit, tetapi dia masih merasa tidak nyaman di kepalanya. Dengan perlahan, Aleena menyibak tirai yang berada di sampingnya, dia langsung disuguhkan dengan seorang pasien lain yang sedang beristirahat. Aleena kembali menutup tirai tersebut dan berusaha untuk turun dari ranjang. Tepat ketika kedua kaki Aleena meny
Aleena berjalan terlunta-lunta di keheningan malam. Dia tidak tahu harus kemana, tidak ada tempat tujuan ataupun tempat untuk berpulang. Saat itu yang terlintas dalam kepala Aleena adalah kematian. Mungkin saja jika dia tidak ada, maka semua permasalahan akan selesai. Aleena berdiri di pinggir trotoar, melihat begitu banyak kendaraan yang lewat. Dalam benaknya terlintas satu pemikiran, jika dia berjalan ke tengah, apakah seketika dia akan langsung menghilang dari dunia? Aleena melangkah maju, tetapi sesaat kemudian dia seperti disadarkan. Otomatis Aleena memegang perut yang masih rata. Di dalam sana masih ada sebuah kehidupan yang berhak untuk melihat dunia meskipun kejam. Aleena menundukkan kepalanya, air mata mulai keluar membasahi pipinya. Di tengah keramaian kota, Aleena menangis tersedu-sedu tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Entah sudah berapa lama Aleena berdiam diri di pinggir jalanan. Dia memejamkan kedua mata, dan saat itulah merasa bahwa di sekelilingn
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari melewati pintu pesawat dengan senyum tanpa dosa di wajahnya. Dengan memegang sebuah pesawat kecil, hadiah dari sang ibu, bocah lelaki itu terus keluar tanpa peduli dengan teriakan ibunya yang memanggil namanya. "Ansel, tunggu mama!" Seorang wanita berteriak dengan menenteng satu koper besar dan juga satu koper kecil milik putranya. Meskipun dia masih muda, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan tenaga anak kecil yang seakan tidak ada habisnya. "Mama, cepatlah! Ansel sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet." Bocah itu langsung saja berlari menuju sebuah tanda toilet pria. Dia masuk dan disaat itulah ibunya sudah tidak bisa mengejarnya. Aleena mengembuskan napas panjang, dia menggelengkan kepala saat melihat kelakuan putranya. Akhirnya dia memilih untuk menunggu di kursi tunggu yang memang disediakan oleh pihak bandara. Aleena membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk teman lamanya. Setelah selesai, dia melihat ke arah jendela ya
Aleena membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia memaksa senyuman di depan putranya. "Hei, bocah! Darimana kamu bisa berkesimpulan bahwa orang asing itu adalah papamu?"Ansel memandang lurus ke arah depan kemudian berkata, "Dia pria dewasa yang tampan, gayanya keren, meski menyebalkan, tapi mata dan hidungnya mirip dengan Ansel." Bocah itu kembali beralih pada sang ibu kemudian berkata dengan antusias, "Ansel yakin bahwa itu adalah papa." "Ansel, di dunia ini ada begitu banyak orang. Bahkan menurut penelitian, setidaknya ada tujuh orang yang bisa mirip dengan kita. Mungkin pria yang Ansel temui tadi adalah salah satunya." "Tapi, Ma, dia—"Aleena menggelengkan kepalanya, tatapannya tegas, memerintahkan Ansel untuk menghentikan perkataannya. "Mama tidak mau mendengar lagi cerita tentang pria asing itu. Lagipula, bukankah mama sudah berkata bahwa kamu tidak boleh bicara dengan orang asing? Kenapa masih melanggar perintah mama?"Ansel hanya tersenyum malu membalasnya. "Ya, sud
Ansel langsung berlari menuju pria yang dipanggilnya "papa", bocah kecil itu merasa sangat bahagia. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah mungilnya. Ketika mereka sudah berhadapan, Ansel segera memeluk kaki panjang pria itu dengan erat. "Papa kemana saja? Kenapa baru menjemput Ansel?" tanya bocah itu dengan wajah polos. Belum sempat pria itu menjawab, seorang pria lainnya langsung melepaskan pelukan Ansel dengan kasar. "Singkirkan tanganmu!" "Finn," panggilan pria yang disebut "papa" oleh Ansel, langsung membuatnya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." "Tidak perlu," ucap Ethan, menahan pergerakan asistennya. Ethan kembali melihat Ansel, seketika ingatannya kembali pada kejadian di toilet bandara tadi. Tidak disangka malah kembali bertemu dengannya di sini. Ethan mensejajarkan tingginya dengan Ansel, dia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, "Sepertinya kita belum berkenalan tadi. Siapa namamu, Bocah?""Ansel, Pa," jawab Ansel dengan po
Harry segera masuk ke dalam lift kemudian melambaikan tangan pada Aleena. Aleena pun membalas lambaian tangan Harry kemudian pintu lift tertutup setelah Ethan keluar dari dalam lift. Setelah Harry pergi, di situlah Aleena menyadari tatapan Ethan untuknya. Aleena merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu. Segera dia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat Aleena menutup, Ethan dengan segera menahan gerakannya. "Siapa kamu? Jangan macam-macam padaku atau aku akan panggil security!" ancaman Aleena tentu saja tidak berpengaruh. Ethan segera mendorong tubuh Aleena hingga membentur lemari sepatu yang berada di samping pintu masuk. Tidak salah lagi! Dia adalah gadis yang malam itu tidur bersama dengannya. "Aleena Reverie Anderson," Ethan bergumam. Aleena membelalak, dia tidak merasa pernah mengenal pria ini tetapi malah tahu nama keluarganya. "Ka-kamu ....""Dimana anakku?" Alis Aleena berkerut, dengan tenaga yang penuh, dia segera mendorong dada Ethan dan menjau