Aleena berjalan terlunta-lunta di keheningan malam. Dia tidak tahu harus kemana, tidak ada tempat tujuan ataupun tempat untuk berpulang.
Saat itu yang terlintas dalam kepala Aleena adalah kematian. Mungkin saja jika dia tidak ada, maka semua permasalahan akan selesai. Aleena berdiri di pinggir trotoar, melihat begitu banyak kendaraan yang lewat. Dalam benaknya terlintas satu pemikiran, jika dia berjalan ke tengah, apakah seketika dia akan langsung menghilang dari dunia?
Aleena melangkah maju, tetapi sesaat kemudian dia seperti disadarkan. Otomatis Aleena memegang perut yang masih rata. Di dalam sana masih ada sebuah kehidupan yang berhak untuk melihat dunia meskipun kejam.
Aleena menundukkan kepalanya, air mata mulai keluar membasahi pipinya. Di tengah keramaian kota, Aleena menangis tersedu-sedu tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang.
Entah sudah berapa lama Aleena berdiam diri di pinggir jalanan. Dia memejamkan kedua mata, dan saat itulah merasa bahwa di sekelilingnya sudah mulai hening. Saat Aleena membuka mata, kendaraan yang tadinya ramai, kini sudah mulai pergi. Aleena melihat ponselnya dan ternyata sudah larut malam.
"Sekarang, aku harus kemana?" Aleena bermonolog.
Setelah berdiam beberapa saat, akhirnya Aleena memutuskan. Dia berjalan menuju pinggiran kota, mendatangi sebuah gedung apartemen yang terlihat tidak terawat.
Dulunya gedung apartemen ini adalah yang termewah. Tetapi dengan banyaknya gedung-gedung apartemen di pusat kota, membuat apartemen yang berada di pinggiran ibukota menjadi tersingkirkan. Hanya ada beberapa orang yang tetap tinggal tetapi yang lainnya memilih untuk pindah.
Namun, Aleena mengenal seseorang yang masih berada di sana. Oleh sebab itu, dia berani untuk datang dan meminta bantuannya.
"Kamu boleh tinggal di sini, tapi kamu harus membantuku membayar sewanya," ucap seorang wanita dengan pandangan sinis.
"Aku berjanji akan membayar sewa tapi, bisakah kamu memberiku keringanan sampai aku mendapatkan pekerjaan?" Aleena tadinya bekerja di perusahaan sang ayah, sekarang setelah dia diusir, sudah tentu ayahnya tidak mau menerima Aleena lagi.
"Tidak perlu menunggu, aku sudah dapatkan pekerjaan untukmu."
Aleena berkerut, tetapi dia hanya mengiyakan saja. Hal itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Lagipula Aleena berpikir bahwa ini hanya sementara. Ketika dia sudah mulai bisa bangkit, maka dia akan mencari tempat tinggal dan pekerjaan yang lain.
Keesokan harinya, wanita itu segera membawa Aleena pergi ke sebuah club malam. Meskipun terasa lelah, Aleena memilih untuk mengikuti saja.
"Jadi, dia orangnya?"
Aleena menundukkan kepala ketika dia ditatap secara intens oleh pria yang ada di depannya. Pria bertubuh gempal itu, nampak sedang menilai penampilan Aleena dari ujung rambut hingga kakinya.
"Tidak terlalu buruk. Dia sudah boleh masuk mulai hari ini."
Aleena membelalak, hanya seperti itu saja dan dia langsung diterima? Tanpa menuliskan lamaran ataupun data dirinya?
"Sekarang kamu ajak dia untuk ke ruang ganti. Dandani dia secantik mungkin."
"Baik, Bos."
Wanita itu segera mengajak Aleena keluar.
Tepat ketika pintu ruangan ditutup, Aleena segera berkata, "Angeline, kamu mau membawaku ke mana? Dan apa yang dimaksud pria itu tadi? Aku memang butuh pekerjaan dan juga tempat tinggal, tapi bukan berarti aku mau bekerja seperti itu. Aku tidak mau menjual diriku!"
Angeline tertawa mendengar penuturan Aleena. Dia menggelengkan kepala kemudian memegang bahunya.
"Siapa yang menyuruhmu menjual diri? Pekerjaanmu adalah cukup menemani para tamu yang datang, menuangkan minuman dan menerima beberapa tip jika pekerjaanmu disukai oleh mereka."
"Apa?" Aleena tidak tahu ada pekerjaan semacam itu. Selama ini dia hanya mengetahui bahwa di klub malam hanya ada bartender, pelayan dan juga pekerja malam.
"Sudahlah! Sekarang kamu ikut denganku saja!"
Angeline tidak berkata-kata lagi, dia segera menarik Aleena ke sebuah ruangan ganti. Aleena didandani dengan cantik, dikenakannya sebuah gaun malam berdada rendah dan juga dengan bagian rok yang mini.
Aleena melihat tampilan dirinya di cermin, dia melihat Angeline dengan bingung, "Angeline, apa kamu yakin bahwa pekerjaanku hanya untuk menemani mereka saja?"
"Tentu saja!"
"Tapi kenapa aku berpakaian seperti ini?" Aleena kembali melihat ke arah cermin, dalam dirinya semakin gemetar ketakutan.
"Sudah, tidak apa-apa. Semua ini supaya penampilanmu menarik di mata mereka."
Angeline tidak lagi berkata-kata, dia langsung saja mengajak Aleena untuk pergi ke sebuah ruangan lainnya. Sebuah ruangan private yang memang khusus diperuntukkan untuk para tamu kalangan atas.
Bertepatan dengan itu, beberapa wanita dengan pakaian yang hampir mirip mulai berdatangan. Pintu dibuka kemudian mereka diinstruksikan untuk masuk ke dalam.
Jantung Aleena berdebar dengan sangat kencang. Dilihatnya beberapa pria mulai menatap nyalang ke arahnya. Seketika itu juga Aleena semakin ketakutan.
"Sekarang, kamu ikuti mereka masuk ke dalam. Lakukan pekerjaanmu dengan baik lalu terima uang yang banyak dari para tamu," ucap Angeline dengan antusias.
"Tapi—" Aleena tidak sempat berkata-kata, dia dan gadis-gadis lainnya langsung diperintahkan untuk menemani para pria itu.
Aleena sama sekali tidak memperhatikan hingga dia memilih untuk berjalan mendekat dengan kepala tertunduk. Secara tiba-tiba, seorang pria memegang lengan Aleena, membuatnya mengangkat kepala dan otomatis langsung berusaha melepaskan diri.
"Lepaskan saya, Tuan," pinta Aleena.
Pria itu tidak langsung menjawab, terdiam beberapa saat dengan pandangan yang terus mengarah ke Aleena. Tiba-tiba seringai muncul di wajah pria itu, membuat Aleena ketakutan.
"Sebaiknya Nona duduk didekatku saja."
Aleena langsung ditarik duduk di dekat pria itu. Dituangkannya segelas anggur kemudian disuguhkan untuk Aleena.
"Minumlah, kamu pasti kehausan." Mata pria itu berbinar, nampak kesenangan di sana.
"Tidak, Tuan. Tugas saya di sini adalah menemani Anda." Aleena mengambil alih gelas itu kemudian menyodorkannya ke mulut pria itu.
"Nona cantik, tidak baik menolak pemberian dari orang lain." Pria itu melakukan hal yang sama, menyodorkannya pada Aleena. Dia seperti memiliki sebuah tekad untuk membuat Aleena mabuk dan tidur dengannya.
Aleena meneguk saliva, memikirkan cara untuk bisa keluar dari sini. Jika terus seperti ini, Aleena tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.
Aleena terus saja dipaksa untuk meminum minuman beralkohol itu. Saat ini dia sedang hamil, Aleena tidak mungkin memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalam tubuhnya.
Aleena langsung saja berdiri dan berlari meninggalkan mereka. Dia tidak peduli jika itu membuatnya kehilangan pekerjaan. Aleena tidak mau melakukan suatu hal yang membuat calon anaknya tersiksa.
Di tengah hiruk pikuk jalanan kota, Aleena kembali menangis meratapi nasibnya. Sudah hamil anak dari pria yang tidak diketahui identitasnya, lalu dia diusir dan tidak diakui oleh keluarganya.
Kenapa nasibnya menjadi seperti ini? Apakah Aleena melakukan sebuah dosa hingga Tuhan menghukumnya?
Saat itu Aleena terpikir awal mula dari nasib sial yang dialaminya sekarang. Jika saja Darius dan Eloise tidak mengkhianatinya, mungkin hal seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Kedua tangan Aleena terkepal dengan erat. Buku-bukunya jarinya sampai memutih akibat amarah dalam hatinya yang kian membesar.
Dalam hati Aleena bersumpah, bahwa dia pasti akan membalaskan semua kesakitan yang dirasakannya saat ini.
***
Bersambung~
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari melewati pintu pesawat dengan senyum tanpa dosa di wajahnya. Dengan memegang sebuah pesawat kecil, hadiah dari sang ibu, bocah lelaki itu terus keluar tanpa peduli dengan teriakan ibunya yang memanggil namanya. "Ansel, tunggu mama!" Seorang wanita berteriak dengan menenteng satu koper besar dan juga satu koper kecil milik putranya. Meskipun dia masih muda, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan tenaga anak kecil yang seakan tidak ada habisnya. "Mama, cepatlah! Ansel sudah tidak tahan lagi ingin ke toilet." Bocah itu langsung saja berlari menuju sebuah tanda toilet pria. Dia masuk dan disaat itulah ibunya sudah tidak bisa mengejarnya. Aleena mengembuskan napas panjang, dia menggelengkan kepala saat melihat kelakuan putranya. Akhirnya dia memilih untuk menunggu di kursi tunggu yang memang disediakan oleh pihak bandara. Aleena membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk teman lamanya. Setelah selesai, dia melihat ke arah jendela ya
Aleena membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia memaksa senyuman di depan putranya. "Hei, bocah! Darimana kamu bisa berkesimpulan bahwa orang asing itu adalah papamu?"Ansel memandang lurus ke arah depan kemudian berkata, "Dia pria dewasa yang tampan, gayanya keren, meski menyebalkan, tapi mata dan hidungnya mirip dengan Ansel." Bocah itu kembali beralih pada sang ibu kemudian berkata dengan antusias, "Ansel yakin bahwa itu adalah papa." "Ansel, di dunia ini ada begitu banyak orang. Bahkan menurut penelitian, setidaknya ada tujuh orang yang bisa mirip dengan kita. Mungkin pria yang Ansel temui tadi adalah salah satunya." "Tapi, Ma, dia—"Aleena menggelengkan kepalanya, tatapannya tegas, memerintahkan Ansel untuk menghentikan perkataannya. "Mama tidak mau mendengar lagi cerita tentang pria asing itu. Lagipula, bukankah mama sudah berkata bahwa kamu tidak boleh bicara dengan orang asing? Kenapa masih melanggar perintah mama?"Ansel hanya tersenyum malu membalasnya. "Ya, sud
Ansel langsung berlari menuju pria yang dipanggilnya "papa", bocah kecil itu merasa sangat bahagia. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah mungilnya. Ketika mereka sudah berhadapan, Ansel segera memeluk kaki panjang pria itu dengan erat. "Papa kemana saja? Kenapa baru menjemput Ansel?" tanya bocah itu dengan wajah polos. Belum sempat pria itu menjawab, seorang pria lainnya langsung melepaskan pelukan Ansel dengan kasar. "Singkirkan tanganmu!" "Finn," panggilan pria yang disebut "papa" oleh Ansel, langsung membuatnya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." "Tidak perlu," ucap Ethan, menahan pergerakan asistennya. Ethan kembali melihat Ansel, seketika ingatannya kembali pada kejadian di toilet bandara tadi. Tidak disangka malah kembali bertemu dengannya di sini. Ethan mensejajarkan tingginya dengan Ansel, dia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, "Sepertinya kita belum berkenalan tadi. Siapa namamu, Bocah?""Ansel, Pa," jawab Ansel dengan po
Harry segera masuk ke dalam lift kemudian melambaikan tangan pada Aleena. Aleena pun membalas lambaian tangan Harry kemudian pintu lift tertutup setelah Ethan keluar dari dalam lift. Setelah Harry pergi, di situlah Aleena menyadari tatapan Ethan untuknya. Aleena merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu. Segera dia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat Aleena menutup, Ethan dengan segera menahan gerakannya. "Siapa kamu? Jangan macam-macam padaku atau aku akan panggil security!" ancaman Aleena tentu saja tidak berpengaruh. Ethan segera mendorong tubuh Aleena hingga membentur lemari sepatu yang berada di samping pintu masuk. Tidak salah lagi! Dia adalah gadis yang malam itu tidur bersama dengannya. "Aleena Reverie Anderson," Ethan bergumam. Aleena membelalak, dia tidak merasa pernah mengenal pria ini tetapi malah tahu nama keluarganya. "Ka-kamu ....""Dimana anakku?" Alis Aleena berkerut, dengan tenaga yang penuh, dia segera mendorong dada Ethan dan menjau
"Kamu tidak akan masuk?" Aleena menghela napas panjang kemudian dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aleena tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekedar menunggu lift berikutnya. Aneh sekali, gedung apartemen mewah seperti ini hanya memiliki satu lift sebagai akses keluar masuk untuk para penghuninya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Aleena memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol pintu ditutup. Aleena memilih untuk berada di sisi paling jauh dari Ethan. Sama sekali tidak menoleh ke arah pria itu bahkan ketika Ethan mulai berbicara dengannya. "Jadi, apakah kamu akan menjelaskan di mana anakku berada?"Aleena bersedekap, tanpa memandang ke arah Ethan, dia menjawab, "Aku tidak punya anak denganmu." "Jangan berbohong! Terakhir kali kamu berada di rumah sakit, sangat jelas hasil tes berkata bahwa kamu tidak mengandung anakku."Terdengar nada suara penuh amarah dari kalimat yang diucapkan oleh Ethan. Tetapi Aleena sama sekal
Aleena melangkahkan kedua kakinya dengan bibir yang bersenandung, pertanda bahwa hatinya saat ini sangat bahagia. Hari ini dia langsung diterima bekerja setelah beberapa saat sebelumnya dia mengira bahwa semua tidak akan berjalan dengan mudah. Aleena memegang tiga box pizza kesukaan Ansel juga satu kantong berisi beberapa kaleng soda. Sebagai bentuk rasa syukur karena sudah diterima bekerja, Aleena akan memberikan perayaan kecil-kecilan pada putranya itu. Tepat ketika dia memasuki area apartemen tempat tinggalnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping Aleena. Membuatnya menghentikan langkah kemudian menyipitkan kedua mata untuk bisa melihat dengan jelas orang yang berada di dalam mobil. Tiba-tiba kaca mobil terbuka, nampak Harry yang sedang tersenyum ke arahnya. Sudut bibir Aleena otomatis terangkat, membalasnya. "Harry! Sedang apa kamu di sini?" Harry segera keluar dari mobil kemudian berdiri di depannya, "Aku sedang ada urusan di dekat sini. Tapi, malah bertemu denga
Aleena diam sembari terus menatap kedua mata Ethan. Pria ini sangat tampan tetapi ternyata memang tidak bisa dinilai dari tampak luar saja. "Dasar gila!" Aleena menggerutu kemudian melangkah pergi melewatinya. Namun, Ethan tidak membiarkannya dengan mudah. Pria itu segera mengejar Aleena dan ikut masuk ke dalam lift berdua. "Menikahlah denganku maka semua keinginanmu akan ku kabulkan," Ethan masih berusaha mendapatkannya. Aleena menolehkan kepala, kali ini dia benar-benar sudah muak. Kedua tangannya terkepal dengan erat sebab amarah yang semakin membesar. "Dengar, Tuan! Aku saja bahkan tidak tahu siapa namamu. Sekarang kamu tiba-tiba mengatakan bahwa kamu ingin menikah denganku? Kamu gila, ya!" "Begitu, ya," Ethan bergumam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir pria itu lagi membuat Aleena berpikir bahwa dia sudah menyerah. Tetapi ternyata Aleena terlalu cepat berkesimpulan. "Finn Stuart Wilson." Ethan berpikir bahwa Aleena pasti akan histeris jika mengetahui identitas d
Ansel melihat sekeliling dan tidak melihat keberadaan sang ibu di sana. Seketika hatinya diliputi oleh perasaan sedih sebab lagi lagi sang ibu tidak menepati janjinya. "Ansel, mamamu belum datang. Lebih baik menunggu di dalam saja. Nanti bu guru akan memberitahu mama kalau Ansel ada di kelas," ucap guru menenangkan. Ansel kembali ke ruang kelas mengikuti perkataan gurunya. Di sana juga ada beberapa anak yang juga belum dijemput sama seperti dirinya. Pada akhirnya Ansel memutus untuk bermain bersama dengan mereka. Dia mengambil sebuah balok kemudian menyusunnya menjadi sebuah gedung yang besar. Ketika Ansel sedang sibuk dengan balok-balok tersebut, tiba-tiba seorang anak laki-laki bertubuh gempal menyenggol susunan balok milik Ansel. Ansel langsung bangun dan menatapnya dengan marah. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menghancurkan gedung yang sudah kubuat?" Ansel menata tajam ke arah bocah itu. Bocah itu melihat ke arah balok tersebut kemudian berkata, "Aku hanya tidak sengaja.