Share

5. Kebencian Itu Hadir

Aleena berjalan terlunta-lunta di keheningan malam. Dia tidak tahu harus kemana, tidak ada tempat tujuan ataupun tempat untuk berpulang. 

Saat itu yang terlintas dalam kepala Aleena adalah kematian. Mungkin saja jika dia tidak ada, maka semua permasalahan akan selesai. Aleena berdiri di pinggir trotoar, melihat begitu banyak kendaraan yang lewat. Dalam benaknya terlintas satu pemikiran, jika dia berjalan ke tengah, apakah seketika dia akan langsung menghilang dari dunia? 

Aleena melangkah maju, tetapi sesaat kemudian dia seperti disadarkan. Otomatis Aleena memegang perut yang masih rata. Di dalam sana masih ada sebuah kehidupan yang berhak untuk melihat dunia meskipun kejam. 

Aleena menundukkan kepalanya, air mata mulai keluar membasahi pipinya. Di tengah keramaian kota, Aleena menangis tersedu-sedu tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang. 

Entah sudah berapa lama Aleena berdiam diri di pinggir jalanan. Dia memejamkan kedua mata, dan saat itulah merasa bahwa di sekelilingnya sudah mulai hening. Saat Aleena membuka mata, kendaraan yang tadinya ramai, kini sudah mulai pergi. Aleena melihat ponselnya dan ternyata sudah larut malam. 

"Sekarang, aku harus kemana?" Aleena bermonolog. 

Setelah berdiam beberapa saat, akhirnya Aleena memutuskan. Dia berjalan menuju pinggiran kota, mendatangi sebuah gedung apartemen yang terlihat tidak terawat. 

Dulunya gedung apartemen ini adalah yang termewah. Tetapi dengan banyaknya gedung-gedung apartemen di pusat kota, membuat apartemen yang berada di pinggiran ibukota menjadi tersingkirkan. Hanya ada beberapa orang yang tetap tinggal tetapi yang lainnya memilih untuk pindah. 

Namun, Aleena mengenal seseorang yang masih berada di sana. Oleh sebab itu, dia berani untuk datang dan meminta bantuannya. 

"Kamu boleh tinggal di sini, tapi kamu harus membantuku membayar sewanya," ucap seorang wanita dengan pandangan sinis.

"Aku berjanji akan membayar sewa tapi, bisakah kamu memberiku keringanan sampai aku mendapatkan pekerjaan?" Aleena tadinya bekerja di perusahaan sang ayah, sekarang setelah dia diusir, sudah tentu ayahnya tidak mau menerima Aleena lagi. 

"Tidak perlu menunggu, aku sudah dapatkan pekerjaan untukmu." 

Aleena berkerut, tetapi dia hanya mengiyakan saja. Hal itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Lagipula Aleena berpikir bahwa ini hanya sementara. Ketika dia sudah mulai bisa bangkit, maka dia akan mencari tempat tinggal dan pekerjaan yang lain. 

Keesokan harinya, wanita itu segera membawa Aleena pergi ke sebuah club malam. Meskipun terasa lelah, Aleena memilih untuk mengikuti saja. 

"Jadi, dia orangnya?" 

Aleena menundukkan kepala ketika dia ditatap secara intens oleh pria yang ada di depannya. Pria bertubuh gempal itu, nampak sedang menilai penampilan Aleena dari ujung rambut hingga kakinya. 

"Tidak terlalu buruk. Dia sudah boleh masuk mulai hari ini." 

Aleena membelalak, hanya seperti itu saja dan dia langsung diterima? Tanpa menuliskan lamaran ataupun data dirinya?

"Sekarang kamu ajak dia untuk ke ruang ganti. Dandani dia secantik mungkin." 

"Baik, Bos." 

Wanita itu segera mengajak Aleena keluar. 

Tepat ketika pintu ruangan ditutup, Aleena segera berkata, "Angeline, kamu mau membawaku ke mana? Dan apa yang dimaksud pria itu tadi? Aku memang butuh pekerjaan dan juga tempat tinggal, tapi bukan berarti aku mau bekerja seperti itu. Aku tidak mau menjual diriku!" 

Angeline tertawa mendengar penuturan Aleena. Dia menggelengkan kepala kemudian memegang bahunya. 

"Siapa yang menyuruhmu menjual diri? Pekerjaanmu adalah cukup menemani para tamu yang datang, menuangkan minuman dan menerima beberapa tip jika pekerjaanmu disukai oleh mereka." 

"Apa?" Aleena tidak tahu ada pekerjaan semacam itu. Selama ini dia hanya mengetahui bahwa di klub malam hanya ada bartender, pelayan dan juga pekerja malam. 

"Sudahlah! Sekarang kamu ikut denganku saja!" 

Angeline tidak berkata-kata lagi, dia segera menarik Aleena ke sebuah ruangan ganti. Aleena didandani dengan cantik, dikenakannya sebuah gaun malam berdada rendah dan juga dengan bagian rok yang mini. 

Aleena melihat tampilan dirinya di cermin, dia melihat Angeline dengan bingung, "Angeline, apa kamu yakin bahwa pekerjaanku hanya untuk menemani mereka saja?" 

"Tentu saja!" 

"Tapi kenapa aku berpakaian seperti ini?" Aleena kembali melihat ke arah cermin, dalam dirinya semakin gemetar ketakutan. 

"Sudah, tidak apa-apa. Semua ini supaya penampilanmu menarik di mata mereka." 

Angeline tidak lagi berkata-kata, dia langsung saja mengajak Aleena untuk pergi ke sebuah ruangan lainnya. Sebuah ruangan private yang memang khusus diperuntukkan untuk para tamu kalangan atas. 

Bertepatan dengan itu, beberapa wanita dengan pakaian yang hampir mirip mulai berdatangan. Pintu dibuka kemudian mereka diinstruksikan untuk masuk ke dalam. 

Jantung Aleena berdebar dengan sangat kencang. Dilihatnya beberapa pria mulai menatap nyalang ke arahnya. Seketika itu juga Aleena semakin ketakutan. 

"Sekarang, kamu ikuti mereka masuk ke dalam. Lakukan pekerjaanmu dengan baik lalu terima uang yang banyak dari para tamu," ucap Angeline dengan antusias. 

"Tapi—" Aleena tidak sempat berkata-kata, dia dan gadis-gadis lainnya langsung diperintahkan untuk menemani para pria itu. 

Aleena sama sekali tidak memperhatikan hingga dia memilih untuk berjalan mendekat dengan kepala tertunduk. Secara tiba-tiba, seorang pria memegang lengan Aleena, membuatnya mengangkat kepala dan otomatis langsung berusaha melepaskan diri. 

"Lepaskan saya, Tuan," pinta Aleena. 

Pria itu tidak langsung menjawab, terdiam beberapa saat dengan pandangan yang terus mengarah ke Aleena. Tiba-tiba seringai muncul di wajah pria itu, membuat Aleena ketakutan.

"Sebaiknya Nona duduk didekatku saja." 

Aleena langsung ditarik duduk di dekat pria itu. Dituangkannya segelas anggur kemudian disuguhkan untuk Aleena. 

"Minumlah, kamu pasti kehausan." Mata pria itu berbinar, nampak kesenangan di sana. 

"Tidak, Tuan. Tugas saya di sini adalah menemani Anda." Aleena mengambil alih gelas itu kemudian menyodorkannya ke mulut pria itu. 

"Nona cantik, tidak baik menolak pemberian dari orang lain." Pria itu melakukan hal yang sama, menyodorkannya pada Aleena. Dia seperti memiliki sebuah tekad untuk membuat Aleena mabuk dan tidur dengannya. 

Aleena meneguk saliva, memikirkan cara untuk bisa keluar dari sini. Jika terus seperti ini, Aleena tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.

Aleena terus saja dipaksa untuk meminum minuman beralkohol itu. Saat ini dia sedang hamil, Aleena tidak mungkin memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalam tubuhnya. 

Aleena langsung saja berdiri dan berlari meninggalkan mereka. Dia tidak peduli jika itu membuatnya kehilangan pekerjaan. Aleena tidak mau melakukan suatu hal yang membuat calon anaknya tersiksa. 

Di tengah hiruk pikuk jalanan kota, Aleena kembali menangis meratapi nasibnya. Sudah hamil anak dari pria yang tidak diketahui identitasnya, lalu dia diusir dan tidak diakui oleh keluarganya. 

Kenapa nasibnya menjadi seperti ini? Apakah Aleena melakukan sebuah dosa hingga Tuhan menghukumnya?

Saat itu Aleena terpikir awal mula dari nasib sial yang dialaminya sekarang. Jika saja Darius dan Eloise tidak mengkhianatinya, mungkin hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. 

Kedua tangan Aleena terkepal dengan erat. Buku-bukunya jarinya sampai memutih akibat amarah dalam hatinya yang kian membesar.

Dalam hati Aleena bersumpah, bahwa dia pasti akan membalaskan semua kesakitan yang dirasakannya saat ini. 

***

Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status