"Maaf, kamu menunggu lama?" tanya Naura begitu ia memasuki mobil Arjuna. Arjuna menggeleng pelan. "Tidak."Langit telah menguning sekarang, pria itu kembali menjemput Naura seperti biasa. "Bagaimana dengan gedungnya?" tanya Naura, membahas progres persiapan mereka menjelang pernikahan. "Sampoerna Strategic Square, gedung itu cukup untuk menampung seribu undangan," jawab Arjuna, matanya masih fokus menyetir. Naura mengangguk mengerti, dia tahu gedung itu. Sampoerna Strategic Square adalah salah satu gedung pernikahan termahal di Jakarta. "Apa ibumu ada saran tambahan untuk acara nanti?" Kini giliran Arjuna yang bertanya. Naura menggeleng. "Tidak ada, bagaimana dengan ibumu?"Arjuna balas menggeleng juga. "Tidak. Lalu, bagaimana dengan adatnya? Tirta sepertinya memiliki ketentuan tertentu."Naura mengangguk. "Tentu saja, ingin menggunakan adat Jawa keluargaku?"Arjuna menaikkan alis kirinya. "Kenapa tidak?" Naura terkekeh. "Kamu bisa bahasa Jawa?"Arjuna terdiam beberapa detik, d
Setelah penetapan tanggal pernikahan Naura dan Arjuna sepakat akan dilaksanakan pada akhir tahun nanti, keduanya pun semakin sibuk. Pasalnya tinggal beberapa minggu lagi dan kini mereka harus melaksanakan prosesi adat sebelum menikah dari Tirta. Naura tiba lebih dulu di kampung halamannya, Jawa Tengah. Wanita itu berangkat dengan muatan terpisah dengan Arjuna. Di sana ia melewati berbagai macam prosesi calon mempelai wanita yang siap 'dijemput' oleh calon mempelai pria. Naura harus melewati prosesi luluran, mandi kembang dan sebagainya. Semua itu didampingi oleh Mela, ibunya. "Cantik," ucap Mela saat memandangi putrinya di cermin, bibirnya tersenyum tipis. Naura menyentuh tangan Mela yang berada di atas pundaknya lembut. Naura mengenakan kebaya adat Jawa, rambutnya disanggul dan diberikan hiasan melati serta beberapa perhiasan sederhana berwarna perak. Dia belum bisa dipaes karena belum memasuki acara pernikahan sungguhan. Tujuan dari prosesi adat ini adalah untuk meminta izin
Ceklek!Arjuna mengunci pintu kandang ayam besar tempatnya mengumpulkan ayam. Itu ayam terakhir. Napas pria itu sedikit memburu karena terlalu banyak berlari. Tak lama suara tepuk tangan terdengar nyaring dari belakang, membuatnya menoleh dan melihat semua orang tersenyum ke arahnya. "Rezeki tanpa wates," ucap tetua, dibalas anggukan oleh yang lain. Semuanya berdecak kagum melihat Arjuna berhasil mengumpulkan semua ayam yang dilepas. "Anda mengalahkan rekor mendiang tuan Tirta," ujar tetua lagi, kali ini menggunakan bahasa Indonesia. Sepertinya pria itu mulai luluh dengan Arjuna. Arjuna tersenyum tipis. "Terima kasih banyak, tetua.""Kerja bagus, bintang Renjana!" ucap Damian, lalu menepuk pundak sahabatnya. Arjuna tidak menjawab, dia masih tersenyum seperti sebelumnya. Dia sendiri pun merasa puas dengan hasilnya. Tetua kemudian mengajaknya untuk masuk ke dalam kediaman kembali, yang lain pun segera menyusul. Arjuna menaikkan alis kirinya, ruang tamu besar itu sudah disulap m
"Cocok. Kasilipun 26, weton ratu. Piyambakipun sedaya berjodoh."Kalimat singkat dari tetua membuat semua orang bersorak lega. Naura tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian dia menoleh ke arah Arjuna yang ternyata telah menatapnya lebih dulu. "Apa arti dari weton ratu, tetua?" tanya Arjuna setelah menarik pandangannya. "Sesuai namanya, pasangan yang mendapatkan weton tersebut akan hidup seperti seorang ratu atau diratukan dengan harta dan hidup harmonis. Pasangan ini juga sudah ditakdirkan untuk berjodoh sehingga disegani dan dihargai oleh masyarakat," jelas sang tetua. Ditakdirkan untuk berjodoh? Itu kalimat yang sangat menghibur Arjuna. Begitu weton dipastikan cocok, tetua kembali membawa mereka ke prosesi terakhir. Arjuna dan Naura dibawa ke makam para tetua dan leluhur Tirta. Mereka duduk bersimpuh di hadapan makam salah satu tetua yang paling disegani, entah generasi keberapa. "Karena makam mendiang ayah nyonya Tirta berada di Jakarta, maka sebagai gantinya kalian diper
"Tuan!" Stave masuk dengan napas terengah tanpa mengetuk pintu, tamannya menggenggam selembar kertas dengan keringat dingin. Zafir tidak menjawab, pria itu langsung melirik pada kertas yang Stave pegang. Tanpa diberitahu, dia tahu bahwa itu surat tuntutan pengadilan. "Siapa?" tanya Zafir, menatap layar komputernya kembali seolah menyepelekan laporan tersebut. "Homas," jawab Stave, membuat Zafir kembali menatapnya dengan terkejut."Apa? Berikan padaku!" Desak Zafir tidak sabaran, Stave pun dengan cepat memberikannya. Zafir membaca surat penuntutan Homas untuk Wajendra atas dasar penggelapan dana, ini membuat emosinya bergejolak. Tidak masuk akal."Penggelapan dana? Mereka gila?" ucap Zafir kesal, lalu meremas kertas itu kuat. "Apa hasil dari penyelidikan kita belum menghasilkan apa pun?" tanya Zafir, matanya melirik Stave dingin. Stave menggeleng. "Sampai saat ini masih bersih, tuan. Tidak ada laporan atau catatan sedikitpun mengenai penjualan lahan atas nama Wajendra." "Seharu
"Kamu bahkan tidak pantas menjadi nyonya Wajendra! Dasar perebut dan peniru! Apa menurutmu dengan meniru mantan menantuku seperti orang bodoh akan memberikanmu kedudukan itu dengan mutlak?!" Malini membalas kalimat tajam Evelyn, wanita paruh baya itu tidak menyangka bahwa anjing jalanan yang ia biarkan masuk ke dalam rumahnya akan menggigit tangannya. Evelyn tidak bisa mengontrol emosinya jika itu berhubungan dengan Naura, namun dia tahu saat ini bukan waktunya untuk mementingkan egonya. Wanita itu menggigit bibir dalamnya, kedua matanya berkaca-kaca menahan tangis. Siapapun yang melihat ini akan terbuai dalam. Tubuhnya masih berusaha berdiri tegak menatap Malini meskipun bahunya terlihat gemetar. "Maafkan aku jika menurut ibu aku gagal menjadi menantu Wajendra. Tetapi ada yang perlu ibu ketahui, aku tidak pernah berbuat keji seperti merebut sesuatu. Saya mencintai Zafir dan melayani Wajendra dengan tulus. Jika tahu ternyata di mata ibu saya akan gagal, saya tidak akan berani men
Suara dentingan sendok garpu dan piring terdengar jelas di ruang makan Wajendra yang sepi. Zafir menatap kosong makanannya sambil terus mengunyah, sementara Evelyn memperhatikan pria itu terus menerus. "Zafir, kamu baik-baik saja?" tanya Evelyn dengan nada yang hati-hati. Zafir mengangkat tatapannya, hanya mengangguk singkat tanpa jawaban. "Bagaimana rasa kue yang aku buatkan tadi pagi?" tanya Evelyn, berusaha menghibur Zafir meskipun ini karena kelicikannya sendiri. "Enak," jawab Zafir tanpa melihat Evelyn. Evelyn mengangguk kecil, lalu mengambil satu potong daging di piringnya dan meletakkannya di piring Zafir. "Apa?" tanya Zafir bingung, kali ini ia menatap Evelyn. "Bukankah kamu menyukai daging yang dimarinasi dengan bumbu barbecue? Makan lah," jawab Evelyn, bibirnya tersenyum lembut. Zafir akhirnya tersenyum tipis meskipun terlihat hambar. Pria itu memakan daging pemberian Evelyn dengan tenang. "Terima kasih," ucapnya saat berhasil menelan. "Aku sangat mengerti perasaa
Naura seperti biasa menghabiskan waktunya di Butik. Wanita itu lebih banyak memilih sibuk di butik daripada kantor pusat Tirta. Tak jarang ia membawa pekerjaannya dari kantor ke butik. Tetapi hari ini dia tidak sesibuk biasanya, karena hal itu lah lagi-lagi Felizia mendatanginya. "Bagaimana, enak?" tanya Felizia saat Naura mencicipi cokelat Inggris bawaannya. Naura mengangguk singkat. "Tidak terlalu manis, sesuai seleraku."Felizia terkekeh. "Tentu saja, aku tahu selera sahabatku." Naura hanya menggeleng pelan sambil tersenyum melihat tingkat sahabatnya, tak lama wanita itu kembali memunculkan topik pembicaraan baru. "Kamu sudah tahu kabar terkini dari Wajendra?" tanya Felizia. Naura menaikkan alis kirinya sekilas, dia belum sempat memperhatikan berita akhir-akhir ini. "Kenapa?""Malini ditahan oleh putranya sendiri, mantan suamimu," jawab Felizia, membuat Naura terdiam. Apa? Zafir menahan Malini? Bukankah pria itu sangat menjunjung tinggi ibunya? Felizia menghela napas gusa
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit