Sebelum Felizia meninggalkan butiknya, Naura mengelak spekulasi wanita itu mengenai keterkaitan antara Evelyn dan Hans. Meskipun dia sendiri telah menyadari pria itu mirip dengan Evelyn, Naura memilih tidak ingin mempermasalahkannya. Dia tidak ingin aktivitas bekerja di sekitarnya terganggu oleh hal seperti itu. Melangkah ke ruangannya kembali setelah mengantar Felizia pergi, Naura berpapasan dengan Hans yang ingin membersihkan ruangannya. "Bersihkan saja," ucap Naura, tidak masalah jika pria itu sibuk bekerja di sekitarnya. Hans menurut, dia mengikuti langkah Naura menuju ruangannya. Naura duduk di kursinya, kembali membuka beberapa dokumen di komputer. Hingga tak lama kedua matanya tidak sengaja jatuh pada sosok Hans yang sibuk mengelap meja lain di ruangannya. Memikirkan percakapannya dengan Felizia, Naura pun iseng bertanya. "Kamu mengenal Evelyn Wajendra, Hans?" Hans seketika berhenti dari gerakannya, pria itu pun berbalik sopan untuk menjawab Naura. "Saya h
Mundur sedikit saat pertemuan pertama antara Hans dan Evelyn di butik Naura, sepulang kerja pria itu seperti biasa langsung mengunjungi rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hans selalu menyempatkan diri untuk membeli buah melon kesukaan ibunya, meskipun sebenarnya jika dilakukan setiap hari akan memotong uang pegangannya sendiri. "Kamu sudah selesai bekerja?" tanya wanita paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang pasien rumah sakit begitu melihat Hans. Tubuh wanita itu kurus, warna kulitnya putih pucat karena sakit. Rambutnya telah memutih sempurna meskipun masih ada beberapa helai hitam. Dia adalah ibu kandung Evelyn, Hans, dan kakak tertua mereka. Layla. "Aku membawakan melon lagi untuk ibu," ucap Hans, bibirnya tersenyum tipis.Berkat uang yang sempat ditransfer Evelyn beberapa waktu lalu sebelum nomornya diblok, Hans bisa memindahkan ibunya ke kamar rumah sakit yang lebih layak. "Tidak perlu membelinya setiap hari, Hans. Buah itu pasti cukup mahal, simpan saja uangmu unt
Karena tidak ada urusan serius di pekerjaannya, Naura pun memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Hari ini dia sibuk belajar memasak dengan Mela, wanita itu dengan sabar dan cekatan membimbing putrinya. "Kamu tahu makanan kesukaan Arjuna?" tanya Mela saat sibuk mengaduk daging sapi lada hitam di wajan. Naura yang sedang memotong cabai pun mengerutkan keningnya. Mereka tidak pernah membicarakan hal ini. Setiap kali mereka pergi makan bersama Arjuna selalu memesan menu yang sama dengan Naura, saat ditanya dia hanya menjawab jika Naura suka maka dirinya juga akan suka. Menebak dari reaksi putrinya, Mela pun mengerutkan keningnya dalam. "Astaga, kamu tidak tahu?"Naura menggeleng pelan. "Tidak, tetapi... Sepertinya dia tidak menyukai makanan yang terlalu manis?""Kamu sedikit lagi mau menjadi istrinya dan tidak tahu makanan kesukaannya? Itu fatal, Naura!" ucap Mela tegas, lalu menggeleng pelan. Naura semakin merasa tidak enak, apakah benar sefatal itu?"Maafkan
Suasana pagi di kediaman Wajendra terlihat seperti biasa meskipun diam-diam menjadi lebih dingin. Evelyn menggendong putranya di halaman depan, sedangkan Mona seperti biasa setia mendampinginya. "Anak pintar," puji Evelyn saat Zevan tidak menolak bubur suapan Mona. Zevan, darah dagingnya dan Zafir. Hanya anak inilah yang bisa menyelamatkan Evelyn untuk mempertahankan posisinya. Evelyn akan membesarkannya dengan sangat baik, Zafir tidak mungkin bisa menyingkirkan dirinya jika puncak kebosanan pria itu muncul. Zevan membutuhkannya dan akan selalu menjadi kekuatannya. Tak lama suara langkah terburu-buru terdengar dari dalam Mansion, nampak Zafir yang melangkah keluar diikuti Stave. "Hari ini kamu ke kantor?" tanya Evelyn sambil melayangkan senyum dan mendekati Zafir menggunakan Zevan. Zafir hanya mengangguk sekilas, lalu pria itu tersenyum untuk Zevan. "Makanlah yang banyak, papah akan memberikan banyak mainan pulang nanti," ucap pria itu lembut, sisi ayah yang perhatian milikny
"Satu... Dua... Tiga!"Cekrek!Flash kamera berkedip menangkap foto Arjuna dan Naura. Hari ini mereka sedang melakukan foto prewedding di pantai, keduanya berdiri berpose mesra di tepi pantai. Naura mengenakan dress putih yang menjuntai cantik di gelombang ombak yang tenang, sementara Arjuna mengenakan kemeja putih yang terbuka dan celana pendek berwarna cream. Arjuna menyewa kawasan pantai itu secara khusus, tidak ada yang diperbolehkan masuk ke sana. Tetapi media adalah hal paling gila di dunia ini, mereka masih tetap bisa menyelinap untuk mengintip kegiatan prewedding mereka. Saat Naura tidak sengaja mengadah ke langit biru yang cerah, dia sedikit terkejut saat melihat helikopter media yang tak terhitung jumlahnya tengah mengambil foto mereka. Naura hanya tersenyum tipis melihat ini, kemudian kembali fokus pada sesi foto mereka. "Maaf tuan, apa anda bisa menggendong nyonya Tirta?" tanya fotografer. Arjuna mengangguk singkat, lalu dengan hati-hati menggendong Naura dengan ga
Di hari yang sama, Zafir sibuk seperti biasa di ruang kerjanya. Dia tidak tahu keributan apa yang sebelumnya sempat terjadi di kamar istri dan anaknya. Fokusnya terpecah saat ketukan pintu terdengar, tak lama sosok Evelyn muncul. "Zafir, kamu tidak makan siang?" tanya Evelyn dengan raut khawatir. Zafir mengangguk singkat. "Kamu bisa makan lebih dulu." "Bagaimana jika kita makan siang bersama?" tawar Evelyn, meskipun dia ragu Zafir akan langsung menerimanya. Sesuai prediksinya, pria itu menggeleng cepat. "Kamu bisa makan duluan tanpaku, Evelyn." Evelyn tidak menyerah, wanita itu pun berjalan semakin dekat menghampiri meja kerja Zafir. "Bagaimana jika tidak bisa? Kita sudah lama tidak makan siang bersama di halaman belakang, bukan?" ucap Evelyn, berusaha membujuk Zafir. Zafir tetap menggeleng. "Aku sibuk, Evelyn."Evelyn mengerutkan keningnya sedih. "Zafir...."Zafir menghela napas gusar, matanya menatap datar Evelyn. Dia lelah. Tetapi jika diabaikan istrinya akan semakin berisi
TUK!Suara benda ringan yang jatuh berhasil mengusik tidur tenang Naura setelah sebelumnya ia sempat beristirahat sejenak di ruang kerja butiknya. Saat kesadarannya kembali, ia melihat sosok Hans yang sedang bersih-bersih di ruangannya. "Maafkan saya, nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu tidur Anda," ujar pria itu khawatir. Naura mengangguk sambil tersenyum singkat. "Tidak masalah, Hans." Lalu matanya melirik ke arah meja kerjanya dan mendapati segelas jus jeruk segar. "Ah... Itu jus jeruk untuk Anda, saya pikir karena terlalu banyak pekerjaan perasaan lelah Anda akan menumpuk. Jika lelah saya selalu meminum jus jeruk untuk menyegarkan pikiran, jadi saya membuatkan satu untuk Anda," jelas Hans, membuat Naura tertegun. Melihat Naura yang hanya diam memandangi jus jeruk pemberiannya, Hans pun mulai merasa khawatir akan ditolak. "Jika Anda tidak--"Kalimat Hans tertahan kala Naura langsung meminum jus tersebut, membuat hatinya merasa lega seketika. "Yang kamu katakan benar, Ha
Setelah sebelumnya sempat dinasihati Zafir untuk tidak terlalu keras pada anak mereka, Evelyn pun mematuhinya. Tetapi alih-alih menerimanya dengan serius penuh renungan, Evelyn hanya patuh untuk sekedar menghindari amarah Zafir. Hari ini dia kembali bersama Zevan, wanita itu membawa anaknya ke perpustakaan dan seperti biasa selalu ditemani oleh Mona. Evelyn membiarkan anaknya yang telah lebih dari satu tahun itu berkeliling perpustakaan dengan sangat lincah meskipun tertatih. Sementara Evelyn sibuk mencari sesuatu, dia menggunakan Zevan masuk ke perpustakaan sebagai alasan ingin memperkenalkan buku pada anak itu. Tetapi sebenarnya, Evelyn hanya ingin mencari data acara perayaan tahun baru sebelumnya. Dia ingin mengetahui apa saja yang sekiranya wajib ada dan diperlukan, sementara sisanya yang menurutnya tidak terlalu penting akan Evelyn singkirkan agar dananya bisa ia 'simpan'. Saat membuka dokumen berdebu tersebut, Evelyn memperhatikannya dengan rinci. Di akhir dokumen terdap
"Apa yang membuat nyonya Tirta terhormat mengunjungi kediaman Bara kami?"Suara Jovan yang melayang dengan nada sarkas terdengar. Naura berdiri di hadapan mobil sedan hitam mewahnya, menatap dingin Jovan dan Sela yang 'menyambutnya'. "Di mana nyonya Bara?" tanya Naura langsung, tidak mengindahkan basa-basi Jovan. Jovan tersenyum dingin. "Istri saya kebetulan sedang ada perjalanan bisnis mendadak ke Mesir, nyonya. Sayang sekali, Anda--""Lalu mobil siapa yang terpakir di situ?" Potong Naura, lirikan matanya tertuju pada mobil limosin putih yang terpakir tak jauh dari mereka. Jovan sedikit tercekat, dia tidak tahu kalau Naura bahkan mengetahui mobil Tiara. "Istri saya--""Bisakah Anda tidak membuat waktu saya terbuang sia-sia? Cepat panggil nyonya Bara." Potong Naura saat Jovan hendak melontarkan alasan baru. Jovan menggeleng cepat. "Istri saya sedang tidak enak badan, nyonya Tirta. Tidak bisakah Anda berhenti ikut campur?" Tatapan dan nada bicara Jovan berubah lebih tajam. Naura
Naura tengah mendengarkan presentasi rapat di kantor utama Tirta, namun meskipun begitu tidak ada yang tahu kemana fokus pikirannya pergi. Sejak pagi dia hanya memikirkan Tiara, hatinya jelas merasa khawatir mengingat wanita itu tak memiliki dukungan apa pun dari internal maupun eksternal. "Bagaimana, nyonya Tirta?" tanya ketua divisi yang sedang melakukan presentasi tersebut, membuat Naura tersadar. "Iya, maaf? Oh... Bagus, teruskan." Setelah Naura menjawab, raut wajah puas dan bahagia segera terpancar dari para anggota divisi tersebut. Begitu rapat selesai, Naura dengan cepat bergegas keluar dan Kate seperti biasa mengikuti dari belakang. "Anda baik-baik saja, nyonya?" tanya Kate khawatir. Naura mengangguk singkat. "Iya, apa aku terlihat tidak fokus di rapat tadi?"Kate balas mengangguk juga. "Lumayan, nyonya. Anda ingin saya buatkan teh atau--""Nyonya Tirta!" Dari arah belakang muncul suara pria yang memanggilnya, membuat Naura dan Kate menoleh bersamaan. "Ada apa?" tanya
Pagi ini, sejak awal bangun, sarapan, hingga ketika dirinya hendak mulai bekerja, orang suruhan presiden selalu mengikutinya. Tidak peduli berapa kali Tiara mencegahnya, perempuan itu akan kembali atau bahkan tidak beranjak sedikitpun dari posisinya. Tiara duduk sambil memeriksa dokumen yang telah dipilah oleh Vivi, lalu tak lama suara ketukan pintu terdengar. Tanpa diperintah apa pun, Vivi bergegas beranjak berdiri menuju pintu. Ketika Tiara mengangkat pandangannya, sosok ibunya yang melangkah masuk terlihat. "Tiara, ibu perlu bicara." Pandangan mata Tiara tetap datar seperti sebelumnya, hubungan ibu dan anak mereka memang tidak terlalu dekat. "Apa?" tanya Tiara dingin. Tak menjawab Tiara, sang ibu justru melirik ke arah orang presiden, membuat Tiara ikut menatapnya. Wanita itu sadar akan tatapan dua nyonya Bara tersebut, oleh karena itu dia sedikit menundukkan kepalanya. "Mohon maaf, para nyonya. Tetapi, atas perintah--""Kamu hanya ditugaskan untuk mengawasiku agar tidak
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti