Di hari yang sama, Zafir sibuk seperti biasa di ruang kerjanya. Dia tidak tahu keributan apa yang sebelumnya sempat terjadi di kamar istri dan anaknya. Fokusnya terpecah saat ketukan pintu terdengar, tak lama sosok Evelyn muncul. "Zafir, kamu tidak makan siang?" tanya Evelyn dengan raut khawatir. Zafir mengangguk singkat. "Kamu bisa makan lebih dulu." "Bagaimana jika kita makan siang bersama?" tawar Evelyn, meskipun dia ragu Zafir akan langsung menerimanya. Sesuai prediksinya, pria itu menggeleng cepat. "Kamu bisa makan duluan tanpaku, Evelyn." Evelyn tidak menyerah, wanita itu pun berjalan semakin dekat menghampiri meja kerja Zafir. "Bagaimana jika tidak bisa? Kita sudah lama tidak makan siang bersama di halaman belakang, bukan?" ucap Evelyn, berusaha membujuk Zafir. Zafir tetap menggeleng. "Aku sibuk, Evelyn."Evelyn mengerutkan keningnya sedih. "Zafir...."Zafir menghela napas gusar, matanya menatap datar Evelyn. Dia lelah. Tetapi jika diabaikan istrinya akan semakin berisi
TUK!Suara benda ringan yang jatuh berhasil mengusik tidur tenang Naura setelah sebelumnya ia sempat beristirahat sejenak di ruang kerja butiknya. Saat kesadarannya kembali, ia melihat sosok Hans yang sedang bersih-bersih di ruangannya. "Maafkan saya, nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu tidur Anda," ujar pria itu khawatir. Naura mengangguk sambil tersenyum singkat. "Tidak masalah, Hans." Lalu matanya melirik ke arah meja kerjanya dan mendapati segelas jus jeruk segar. "Ah... Itu jus jeruk untuk Anda, saya pikir karena terlalu banyak pekerjaan perasaan lelah Anda akan menumpuk. Jika lelah saya selalu meminum jus jeruk untuk menyegarkan pikiran, jadi saya membuatkan satu untuk Anda," jelas Hans, membuat Naura tertegun. Melihat Naura yang hanya diam memandangi jus jeruk pemberiannya, Hans pun mulai merasa khawatir akan ditolak. "Jika Anda tidak--"Kalimat Hans tertahan kala Naura langsung meminum jus tersebut, membuat hatinya merasa lega seketika. "Yang kamu katakan benar, Ha
Setelah sebelumnya sempat dinasihati Zafir untuk tidak terlalu keras pada anak mereka, Evelyn pun mematuhinya. Tetapi alih-alih menerimanya dengan serius penuh renungan, Evelyn hanya patuh untuk sekedar menghindari amarah Zafir. Hari ini dia kembali bersama Zevan, wanita itu membawa anaknya ke perpustakaan dan seperti biasa selalu ditemani oleh Mona. Evelyn membiarkan anaknya yang telah lebih dari satu tahun itu berkeliling perpustakaan dengan sangat lincah meskipun tertatih. Sementara Evelyn sibuk mencari sesuatu, dia menggunakan Zevan masuk ke perpustakaan sebagai alasan ingin memperkenalkan buku pada anak itu. Tetapi sebenarnya, Evelyn hanya ingin mencari data acara perayaan tahun baru sebelumnya. Dia ingin mengetahui apa saja yang sekiranya wajib ada dan diperlukan, sementara sisanya yang menurutnya tidak terlalu penting akan Evelyn singkirkan agar dananya bisa ia 'simpan'. Saat membuka dokumen berdebu tersebut, Evelyn memperhatikannya dengan rinci. Di akhir dokumen terdap
Zafir melangkah masuk ke Mansion-nya, dia baru saja kembali dari kantor. Pria itu melonggarkan dasinya sambil terus melangkah cepat ke ruang kerja, masih ada beberapa hal yang perlu dia urus. Tetapi, di tengah jalan ia justru bertemu dengan Mona yang tengah menggendong Zevan. Zafir mengerutkan keningnya, mengapa putranya menangis lagi kali ini?"Ada apa?" tanya Zafir seperti biasa sambil meminta putranya. Zevan dengan cepat memeluk Ayahnya, tangisannya semakin berlanjut saat melihat sosok Zafir. Mona menunduk dalam, kedua tangannya bermain gelisah. "Itu... Tuan muda menemukan buku yang berisi foto Anda dan nyonya Tirta, nyonya--""Dia mencubit anaknya kali ini?" Potong Zafir begitu menyadari salah satu lengan putranya yang membiru karena bekas cubitan. Mona menunduk semakin dalam, mengangguk pelan. Zafir menghela napas gusar, ada apa dengan emosi istrinya belakangan ini? Wanita itu terkadang tenang dan kacau, Zafir tidak mengerti. "Panggil dia ke ruangan kerjaku," perintah Zaf
Karena pembicaraannya dengan Arjuna beberapa waktu lalu, hari ini pun akhirnya Naura memutuskan untuk mengunjungi Ronald di salah satu penjara terbesar Jakarta. Naura berniat memberitahu Ronald mengenai kabar pernikahannya, meskipun entah pria itu akan mempedulikannya atau tidak. Naura menunggu di kursi yang berhadapan langsung dengan ruangan penjara. Mereka dipisahkan oleh kaca tebal dengan sedikit celah bolong untuk saling berkomunikasi. "Bagaimana kabarmu, kak?" tanya Naura, kedua matanya memperhatikan Ronald yang terlihat sedikit lebih kurus dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Pria itu tidak seperti dulu, sekarang ia botak dan kantung matanya sedikit lebih menghitam. Baju oren khas tahanan selalu ia kenakan. "Seperti yang Anda lihat, nyonya Tirta," jawab Ronald, membuat hati Naura sedikit terenyuh. Tidak peduli seberapa besar masalah mereka kemarin, meskipun satu dunia mengutuk kakaknya. Naura masih sangat peduli dengan pria itu. Bagaimana pun, mereka pernah saling
Karena bekas cubitan Evelyn kemarin, Zafir pun memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa. Ia sengaja tidak memanggil dokter seperti biasa ke Mansion agar dapat membawa anaknya sedikit jalan-jalan. Zevan, anak kecil laki-laki yang sangat aktif. Anak itu berlarian ke sana dan kemari selama di rumah sakit. Zafir tidak menyangka menjaga anak kecil itu sangat merepotkan, Stave pun pada akhirnya mau tidak mau ikut terlibat dalam kepusingan ini. "Zevan, berhenti berlarian di rumah sakit, nak! Jika kamu menabrak seseorang akan bahaya nanti!" Seru Zafir khawatir sambil berjalan cepat menghampiri anaknya. Tetapi sayang, peringatan Zafir itu telat. Putranya telah lebih dulu menabrak seseorang. BRUK!Zevan sedikit terpental ke belakang dan jatuh duduk, anak kecil itu menatap takut ke arah seseorang yang ia tabrak. Sementara seseorang itu menatap Zevan dan Zafir dengan wajah terkejut. Seseorang itu adalah Hans yang tengah mendorong ibunya di kursi roda untuk berjalan-
"Aku ke ruang kerja dulu," ujar Zafir acuh setelah menarik pandangannya dari surat tersebut. Evelyn dengan cepat mengangguk. "Iya, selamat beristirahat, Zafir." Dia menghela napas lega, syukurlah Zafir acuh pada surat itu. Dengan cepat ia mengambil surat tersebut dan pergi ke kamarnya sambil masih menggendong Zevan. Di kamar, Evelyn menyerahkan anak itu kembali pada Mona, lalu ia duduk di sofa dan membukanya dengan terburu-buru. Pandangan matanya mendingin, jantungnya berdegup cepat. Entah apa isinya kali ini, Evelyn benar-benar muak. "Kakak, maafkan aku karena harus menghubungimu lagi dengan mengirim surat ini. Aku ingin menyampaikan sesuatu, bahwa kondisi ibu saat ini semakin memburuk. Setidaknya temui lah ibu sekali, kak. Dia sangat merindukanmu. Dan, sepertinya atasan ku, nyonya Tirta telah mengetahui hubungan kita. Beliau sering menanyakanmu padaku, memastikan apa kita saling mengenal atau tidak. Aku tidak yakin apa beliau benar-benar tahu, tetapi yang pasti responnya posit
"Kamu gila?!" Bentak Zafir, lalu menatap ke lengan dan kaki putra mereka yang tertancap pecahan gelas. Evelyn terhuyung ke belakang, wanita itu jatuh duduk di lantai dengan wajah syok sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Berani sekali kamu menampar putraku!" ujar Zafir, matanya menatap Evelyn seolah wanita itu adalah kriminal asing yang mencoba menyakiti putranya. "Dia juga putraku!" Evelyn mengangkat kepalanya, balas menatap Zafir dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih memiliki wajah untuk mengakui Zevan adalah putramu?! Dasar tidak tahu malu!" balas Zafir cepat. "Kamu tidak tahu situasinya, Zafir!" Evelyn masih mencoba untuk membela dirinya. Zafir mengerutkan keningnya dalam. "Apapun itu dia adalah anak kecil, Evelyn. Dia darah dagingmu! Dia penerusku! Meskipun kamu ibunya, kamu tidak memiliki hak untuk menyakitinya!" Evelyn berusaha bangkit, menatap Zafir dengan gemetar. "Kamu mengagungkan putramu tanpa mempedulikan diriku! Jika kamu tahu yang melahirkan anak itu ada
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit