Karena pembicaraannya dengan Arjuna beberapa waktu lalu, hari ini pun akhirnya Naura memutuskan untuk mengunjungi Ronald di salah satu penjara terbesar Jakarta. Naura berniat memberitahu Ronald mengenai kabar pernikahannya, meskipun entah pria itu akan mempedulikannya atau tidak. Naura menunggu di kursi yang berhadapan langsung dengan ruangan penjara. Mereka dipisahkan oleh kaca tebal dengan sedikit celah bolong untuk saling berkomunikasi. "Bagaimana kabarmu, kak?" tanya Naura, kedua matanya memperhatikan Ronald yang terlihat sedikit lebih kurus dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Pria itu tidak seperti dulu, sekarang ia botak dan kantung matanya sedikit lebih menghitam. Baju oren khas tahanan selalu ia kenakan. "Seperti yang Anda lihat, nyonya Tirta," jawab Ronald, membuat hati Naura sedikit terenyuh. Tidak peduli seberapa besar masalah mereka kemarin, meskipun satu dunia mengutuk kakaknya. Naura masih sangat peduli dengan pria itu. Bagaimana pun, mereka pernah saling
Karena bekas cubitan Evelyn kemarin, Zafir pun memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa. Ia sengaja tidak memanggil dokter seperti biasa ke Mansion agar dapat membawa anaknya sedikit jalan-jalan. Zevan, anak kecil laki-laki yang sangat aktif. Anak itu berlarian ke sana dan kemari selama di rumah sakit. Zafir tidak menyangka menjaga anak kecil itu sangat merepotkan, Stave pun pada akhirnya mau tidak mau ikut terlibat dalam kepusingan ini. "Zevan, berhenti berlarian di rumah sakit, nak! Jika kamu menabrak seseorang akan bahaya nanti!" Seru Zafir khawatir sambil berjalan cepat menghampiri anaknya. Tetapi sayang, peringatan Zafir itu telat. Putranya telah lebih dulu menabrak seseorang. BRUK!Zevan sedikit terpental ke belakang dan jatuh duduk, anak kecil itu menatap takut ke arah seseorang yang ia tabrak. Sementara seseorang itu menatap Zevan dan Zafir dengan wajah terkejut. Seseorang itu adalah Hans yang tengah mendorong ibunya di kursi roda untuk berjalan-
"Aku ke ruang kerja dulu," ujar Zafir acuh setelah menarik pandangannya dari surat tersebut. Evelyn dengan cepat mengangguk. "Iya, selamat beristirahat, Zafir." Dia menghela napas lega, syukurlah Zafir acuh pada surat itu. Dengan cepat ia mengambil surat tersebut dan pergi ke kamarnya sambil masih menggendong Zevan. Di kamar, Evelyn menyerahkan anak itu kembali pada Mona, lalu ia duduk di sofa dan membukanya dengan terburu-buru. Pandangan matanya mendingin, jantungnya berdegup cepat. Entah apa isinya kali ini, Evelyn benar-benar muak. "Kakak, maafkan aku karena harus menghubungimu lagi dengan mengirim surat ini. Aku ingin menyampaikan sesuatu, bahwa kondisi ibu saat ini semakin memburuk. Setidaknya temui lah ibu sekali, kak. Dia sangat merindukanmu. Dan, sepertinya atasan ku, nyonya Tirta telah mengetahui hubungan kita. Beliau sering menanyakanmu padaku, memastikan apa kita saling mengenal atau tidak. Aku tidak yakin apa beliau benar-benar tahu, tetapi yang pasti responnya posit
"Kamu gila?!" Bentak Zafir, lalu menatap ke lengan dan kaki putra mereka yang tertancap pecahan gelas. Evelyn terhuyung ke belakang, wanita itu jatuh duduk di lantai dengan wajah syok sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Berani sekali kamu menampar putraku!" ujar Zafir, matanya menatap Evelyn seolah wanita itu adalah kriminal asing yang mencoba menyakiti putranya. "Dia juga putraku!" Evelyn mengangkat kepalanya, balas menatap Zafir dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih memiliki wajah untuk mengakui Zevan adalah putramu?! Dasar tidak tahu malu!" balas Zafir cepat. "Kamu tidak tahu situasinya, Zafir!" Evelyn masih mencoba untuk membela dirinya. Zafir mengerutkan keningnya dalam. "Apapun itu dia adalah anak kecil, Evelyn. Dia darah dagingmu! Dia penerusku! Meskipun kamu ibunya, kamu tidak memiliki hak untuk menyakitinya!" Evelyn berusaha bangkit, menatap Zafir dengan gemetar. "Kamu mengagungkan putramu tanpa mempedulikan diriku! Jika kamu tahu yang melahirkan anak itu ada
Evelyn duduk seorang diri di kamarnya yang lengang. Pintu kamar benar-benar dikunci rapat oleh para pelayan. Ada sekitar dua hingga tiga pelayan yang menunggu di luar, wanita itu tidak bisa bertingkah lebih selain diam. Di tengah keterpurukannya, Evelyn menerima panggilan. Ponselnya berdering, dengan cepat ia menyambar ponselnya. Saat melihat yang meneleponnya adalah nomor tak dikenal, wanita itu menggertakkan giginya kesal. Itu pasti Jack, kakak laki-lakinya. Tetapi, Evelyn yang telah kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk benar-benar berbicara dengan Jack. "Siapa?" tanya Evelyn dingin meskipun ia tahu itu adalah Jack. Tak lama dari telepon terdengar suara pria yang sedikit berat dan serak. "Ini... Evelyn?""Nyonya Wajendra. Kamu harus memanggilku dengan benar," jawab Evelyn, tangan kirinya diam-diam mengepal. "Eh-- maaf, ini aku... Jack," balas sang pemilik suara. "Untuk apa kamu menghubungiku seperti orang gila?" tanya Evelyn langsung, dia sudah tidak tahan. "Maaf, Evely
“Nyonya! Tuan Zafir membawa seorang wanita asing masuk ke dalam Mansion!"Ucapan Kate, asisten pribadinya, membuat Naura langsung mengalihkan pandangan dari tumpukkan dokumen di atas meja."Pekerja baru?" tanya Naura.Kate menggeleng. "Bukan, Nyonya! Wanita itu adalah kekasih Tuan Zafir!!"Naura terkejut. Zafir adalah pria yang telah dia nikahi selama enam tahun, lalu apa maksudnya pria itu membawa seorang kekasih ke kediaman mereka?"Bawa aku menemui mereka," titah Naura, membuat Kate menganggukkan kepala dan mengantarnya ke tempat Zafir berada.Baru saja mereka sampai di ruang tamu, Naura bisa mendengar percakapan antara dua orang di dalam sana. “Rumahmu indah sekali, Zafir! Aku sangat menyukainya!” “Kamu akan tinggal di sini, jadi bagus kalau kamu suka.” Tampak seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang sedang tersenyum dan tertawa manis ke arah seorang pria. Wajah wanita itu begitu cantik, ditambah dengan ekspresi polosnya, siapa pun yang melihat pasti akan jatuh
"Kenapa wanita itu berada di mansion utama? Bukankah kamu sudah berjanji akan membiarkannya tinggal di paviliun samping!?” Terlihat Naura sedang berdiri di hadapan Zafir dengan wajah marah. “Hanya karena masalah sepele seperti itu, kamu berani menerobos ruang kerjaku dan membentakku?” tanya Zafir dengan wajah kesal.“Melanggar janji adalah hal sepele untukmu, Zafir, tapi tidak untukku!” balas Naura dingin.Tepat hari ini, sudah lebih dari dua minggu semenjak Evelyn benar-benar tinggal di kediaman Naura dan Zafir. Di waktu yang bersamaan, sudah dua minggu pula Naura dan Zafir terus bersitegang akibat wanita tersebut.Ketika Naura setuju untuk menjadikan Evelyn ibu penggantinya, dia sudah memberikan sejumlah persyaratan kepada Zafir, termasuk membiarkan Evelyn untuk tinggal di paviliun samping dan bukan di mansion utama. Semua demi menghindari ketidaknyamanan saat bertemu dengan wanita tersebut.Namun, siapa yang sangka bahwa setelah dua minggu Naura pergi mengurus bisnis di negara
“Sayang, makan ini. Kata Ibu, ini bagus untuk kehamilanmu.”“Minum ini juga. Ini akan memperkuat janinnya.”“Pegang tanganku, Sayang! Aku tidak mau kamu terjatuh!”Kalimat manis penuh perhatian terus-menerus dilontarkan oleh Zafir di setiap saat kepada Evelyn, dan hal itu juga didengar oleh orang lain di kediaman, termasuk Naura.Walau kehamilan Evelyn membuat suasana mansion menjadi lebih cerah, tapi untuk Naura … dia merasa tempat tersebut semakin asing dan dingin baginya.Bagaimana tidak? Bagi seorang istri yang sebelumnya sudah berusaha keras untuk memberikan keturunan dan gagal, kenyataan Evelyn hamil dan diberikan sejuta macam perhatian oleh Zafir sama saja dengan sebuah tamparan keras untuk Naura. Meski begitu, Naura berusaha untuk tetap tegar. Wanita itu berusaha sekeras mungkin untuk menanamkan kepercayaan pada suaminya, dan fokus pada tujuan akhir mereka yang ingin memiliki anak–meskipun harus dari rahim wanita lain. Oleh karena itu, Naura pun rutin mengirim vitamin serta
Evelyn duduk seorang diri di kamarnya yang lengang. Pintu kamar benar-benar dikunci rapat oleh para pelayan. Ada sekitar dua hingga tiga pelayan yang menunggu di luar, wanita itu tidak bisa bertingkah lebih selain diam. Di tengah keterpurukannya, Evelyn menerima panggilan. Ponselnya berdering, dengan cepat ia menyambar ponselnya. Saat melihat yang meneleponnya adalah nomor tak dikenal, wanita itu menggertakkan giginya kesal. Itu pasti Jack, kakak laki-lakinya. Tetapi, Evelyn yang telah kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk benar-benar berbicara dengan Jack. "Siapa?" tanya Evelyn dingin meskipun ia tahu itu adalah Jack. Tak lama dari telepon terdengar suara pria yang sedikit berat dan serak. "Ini... Evelyn?""Nyonya Wajendra. Kamu harus memanggilku dengan benar," jawab Evelyn, tangan kirinya diam-diam mengepal. "Eh-- maaf, ini aku... Jack," balas sang pemilik suara. "Untuk apa kamu menghubungiku seperti orang gila?" tanya Evelyn langsung, dia sudah tidak tahan. "Maaf, Evely
"Kamu gila?!" Bentak Zafir, lalu menatap ke lengan dan kaki putra mereka yang tertancap pecahan gelas. Evelyn terhuyung ke belakang, wanita itu jatuh duduk di lantai dengan wajah syok sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Berani sekali kamu menampar putraku!" ujar Zafir, matanya menatap Evelyn seolah wanita itu adalah kriminal asing yang mencoba menyakiti putranya. "Dia juga putraku!" Evelyn mengangkat kepalanya, balas menatap Zafir dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih memiliki wajah untuk mengakui Zevan adalah putramu?! Dasar tidak tahu malu!" balas Zafir cepat. "Kamu tidak tahu situasinya, Zafir!" Evelyn masih mencoba untuk membela dirinya. Zafir mengerutkan keningnya dalam. "Apapun itu dia adalah anak kecil, Evelyn. Dia darah dagingmu! Dia penerusku! Meskipun kamu ibunya, kamu tidak memiliki hak untuk menyakitinya!" Evelyn berusaha bangkit, menatap Zafir dengan gemetar. "Kamu mengagungkan putramu tanpa mempedulikan diriku! Jika kamu tahu yang melahirkan anak itu ada
"Aku ke ruang kerja dulu," ujar Zafir acuh setelah menarik pandangannya dari surat tersebut. Evelyn dengan cepat mengangguk. "Iya, selamat beristirahat, Zafir." Dia menghela napas lega, syukurlah Zafir acuh pada surat itu. Dengan cepat ia mengambil surat tersebut dan pergi ke kamarnya sambil masih menggendong Zevan. Di kamar, Evelyn menyerahkan anak itu kembali pada Mona, lalu ia duduk di sofa dan membukanya dengan terburu-buru. Pandangan matanya mendingin, jantungnya berdegup cepat. Entah apa isinya kali ini, Evelyn benar-benar muak. "Kakak, maafkan aku karena harus menghubungimu lagi dengan mengirim surat ini. Aku ingin menyampaikan sesuatu, bahwa kondisi ibu saat ini semakin memburuk. Setidaknya temui lah ibu sekali, kak. Dia sangat merindukanmu. Dan, sepertinya atasan ku, nyonya Tirta telah mengetahui hubungan kita. Beliau sering menanyakanmu padaku, memastikan apa kita saling mengenal atau tidak. Aku tidak yakin apa beliau benar-benar tahu, tetapi yang pasti responnya posit
Karena bekas cubitan Evelyn kemarin, Zafir pun memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa. Ia sengaja tidak memanggil dokter seperti biasa ke Mansion agar dapat membawa anaknya sedikit jalan-jalan. Zevan, anak kecil laki-laki yang sangat aktif. Anak itu berlarian ke sana dan kemari selama di rumah sakit. Zafir tidak menyangka menjaga anak kecil itu sangat merepotkan, Stave pun pada akhirnya mau tidak mau ikut terlibat dalam kepusingan ini. "Zevan, berhenti berlarian di rumah sakit, nak! Jika kamu menabrak seseorang akan bahaya nanti!" Seru Zafir khawatir sambil berjalan cepat menghampiri anaknya. Tetapi sayang, peringatan Zafir itu telat. Putranya telah lebih dulu menabrak seseorang. BRUK!Zevan sedikit terpental ke belakang dan jatuh duduk, anak kecil itu menatap takut ke arah seseorang yang ia tabrak. Sementara seseorang itu menatap Zevan dan Zafir dengan wajah terkejut. Seseorang itu adalah Hans yang tengah mendorong ibunya di kursi roda untuk berjalan-
Karena pembicaraannya dengan Arjuna beberapa waktu lalu, hari ini pun akhirnya Naura memutuskan untuk mengunjungi Ronald di salah satu penjara terbesar Jakarta. Naura berniat memberitahu Ronald mengenai kabar pernikahannya, meskipun entah pria itu akan mempedulikannya atau tidak. Naura menunggu di kursi yang berhadapan langsung dengan ruangan penjara. Mereka dipisahkan oleh kaca tebal dengan sedikit celah bolong untuk saling berkomunikasi. "Bagaimana kabarmu, kak?" tanya Naura, kedua matanya memperhatikan Ronald yang terlihat sedikit lebih kurus dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Pria itu tidak seperti dulu, sekarang ia botak dan kantung matanya sedikit lebih menghitam. Baju oren khas tahanan selalu ia kenakan. "Seperti yang Anda lihat, nyonya Tirta," jawab Ronald, membuat hati Naura sedikit terenyuh. Tidak peduli seberapa besar masalah mereka kemarin, meskipun satu dunia mengutuk kakaknya. Naura masih sangat peduli dengan pria itu. Bagaimana pun, mereka pernah saling
Zafir melangkah masuk ke Mansion-nya, dia baru saja kembali dari kantor. Pria itu melonggarkan dasinya sambil terus melangkah cepat ke ruang kerja, masih ada beberapa hal yang perlu dia urus. Tetapi, di tengah jalan ia justru bertemu dengan Mona yang tengah menggendong Zevan. Zafir mengerutkan keningnya, mengapa putranya menangis lagi kali ini?"Ada apa?" tanya Zafir seperti biasa sambil meminta putranya. Zevan dengan cepat memeluk Ayahnya, tangisannya semakin berlanjut saat melihat sosok Zafir. Mona menunduk dalam, kedua tangannya bermain gelisah. "Itu... Tuan muda menemukan buku yang berisi foto Anda dan nyonya Tirta, nyonya--""Dia mencubit anaknya kali ini?" Potong Zafir begitu menyadari salah satu lengan putranya yang membiru karena bekas cubitan. Mona menunduk semakin dalam, mengangguk pelan. Zafir menghela napas gusar, ada apa dengan emosi istrinya belakangan ini? Wanita itu terkadang tenang dan kacau, Zafir tidak mengerti. "Panggil dia ke ruangan kerjaku," perintah Zaf
Setelah sebelumnya sempat dinasihati Zafir untuk tidak terlalu keras pada anak mereka, Evelyn pun mematuhinya. Tetapi alih-alih menerimanya dengan serius penuh renungan, Evelyn hanya patuh untuk sekedar menghindari amarah Zafir. Hari ini dia kembali bersama Zevan, wanita itu membawa anaknya ke perpustakaan dan seperti biasa selalu ditemani oleh Mona. Evelyn membiarkan anaknya yang telah lebih dari satu tahun itu berkeliling perpustakaan dengan sangat lincah meskipun tertatih. Sementara Evelyn sibuk mencari sesuatu, dia menggunakan Zevan masuk ke perpustakaan sebagai alasan ingin memperkenalkan buku pada anak itu. Tetapi sebenarnya, Evelyn hanya ingin mencari data acara perayaan tahun baru sebelumnya. Dia ingin mengetahui apa saja yang sekiranya wajib ada dan diperlukan, sementara sisanya yang menurutnya tidak terlalu penting akan Evelyn singkirkan agar dananya bisa ia 'simpan'. Saat membuka dokumen berdebu tersebut, Evelyn memperhatikannya dengan rinci. Di akhir dokumen terdap
TUK!Suara benda ringan yang jatuh berhasil mengusik tidur tenang Naura setelah sebelumnya ia sempat beristirahat sejenak di ruang kerja butiknya. Saat kesadarannya kembali, ia melihat sosok Hans yang sedang bersih-bersih di ruangannya. "Maafkan saya, nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu tidur Anda," ujar pria itu khawatir. Naura mengangguk sambil tersenyum singkat. "Tidak masalah, Hans." Lalu matanya melirik ke arah meja kerjanya dan mendapati segelas jus jeruk segar. "Ah... Itu jus jeruk untuk Anda, saya pikir karena terlalu banyak pekerjaan perasaan lelah Anda akan menumpuk. Jika lelah saya selalu meminum jus jeruk untuk menyegarkan pikiran, jadi saya membuatkan satu untuk Anda," jelas Hans, membuat Naura tertegun. Melihat Naura yang hanya diam memandangi jus jeruk pemberiannya, Hans pun mulai merasa khawatir akan ditolak. "Jika Anda tidak--"Kalimat Hans tertahan kala Naura langsung meminum jus tersebut, membuat hatinya merasa lega seketika. "Yang kamu katakan benar, Ha
Di hari yang sama, Zafir sibuk seperti biasa di ruang kerjanya. Dia tidak tahu keributan apa yang sebelumnya sempat terjadi di kamar istri dan anaknya. Fokusnya terpecah saat ketukan pintu terdengar, tak lama sosok Evelyn muncul. "Zafir, kamu tidak makan siang?" tanya Evelyn dengan raut khawatir. Zafir mengangguk singkat. "Kamu bisa makan lebih dulu." "Bagaimana jika kita makan siang bersama?" tawar Evelyn, meskipun dia ragu Zafir akan langsung menerimanya. Sesuai prediksinya, pria itu menggeleng cepat. "Kamu bisa makan duluan tanpaku, Evelyn." Evelyn tidak menyerah, wanita itu pun berjalan semakin dekat menghampiri meja kerja Zafir. "Bagaimana jika tidak bisa? Kita sudah lama tidak makan siang bersama di halaman belakang, bukan?" ucap Evelyn, berusaha membujuk Zafir. Zafir tetap menggeleng. "Aku sibuk, Evelyn."Evelyn mengerutkan keningnya sedih. "Zafir...."Zafir menghela napas gusar, matanya menatap datar Evelyn. Dia lelah. Tetapi jika diabaikan istrinya akan semakin berisi