Evelyn duduk seorang diri di kamarnya yang lengang. Pintu kamar benar-benar dikunci rapat oleh para pelayan. Ada sekitar dua hingga tiga pelayan yang menunggu di luar, wanita itu tidak bisa bertingkah lebih selain diam. Di tengah keterpurukannya, Evelyn menerima panggilan. Ponselnya berdering, dengan cepat ia menyambar ponselnya. Saat melihat yang meneleponnya adalah nomor tak dikenal, wanita itu menggertakkan giginya kesal. Itu pasti Jack, kakak laki-lakinya. Tetapi, Evelyn yang telah kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk benar-benar berbicara dengan Jack. "Siapa?" tanya Evelyn dingin meskipun ia tahu itu adalah Jack. Tak lama dari telepon terdengar suara pria yang sedikit berat dan serak. "Ini... Evelyn?""Nyonya Wajendra. Kamu harus memanggilku dengan benar," jawab Evelyn, tangan kirinya diam-diam mengepal. "Eh-- maaf, ini aku... Jack," balas sang pemilik suara. "Untuk apa kamu menghubungiku seperti orang gila?" tanya Evelyn langsung, dia sudah tidak tahan. "Maaf, Evely
Evelyn turun dari taksi yang ia tumpangi menuju rumah sakit, ia menutup wajahnya agar tidak dikenali oleh siapapun. Kedua tangannya yang dingin tergesa-gesa menelepon Jack, namun tak lama Hans muncul. "Kakak?" Hans terlihat bingung melihat kehadiran Evelyn. Evelyn balas menatap tajam, membuat Hans terdiam. "Cepat! Di mana ruangannya?"Sementara itu Zafir di Mansion tengah dilanda gejolak emosi. Pria itu memerintahkan para pelayan menggeledah kamar Evelyn, motif kaburnya wanita itu sampai saat ini masih belum ia ketahui. Zafir masih menggendong Zevan, dia duduk di sofa sambil memperhatikan para pelayan yang sibuk membuka seluruh lemari dan laci Evelyn. Di tengah diamnya, mata Zafir tidak sengaja menangkap kertas yang telah dikepal kuat tergeletak di lantai dekat meja kerja Evelyn. "Stave." Panggil Zafir. "Saya, tuan?" Stave bergegas menghampiri Zafir, menghentikan aktivitasnya yang membongkar laci Evelyn. "Ambil kertas itu." Jari Zafir menunjuk kertas itu lagi. Tanpa banyak b
"Kau." Zafir melirik pelayan pribadi yang biasanya mengasuh Zevan, Mona pun maju dengan penuh rasa takut. "Bawa tuan muda ke ruangan ku." Perintah Zafir. Setelah Mona pergi membawa Zevan, Zafir kembali fokus pada Evelyn. "Zafir, aku bisa menjelas--""Apa lagi yang ingin kamu jelaskan?!" Potong Zafir, matanya menatap Evelyn galak hingga urat-urat di dahinya terlihat. Evelyn terdiam, tubuhnya gemetar menatap Zafir. "Kamu menipuku! Kamu menipu satu Wajendra!" ucap Zafir lagi, jari telunjuknya menunjuk wajah Evelyn penuh emosi. "Tidak bisakah kamu mendengarkan penjelasanku dulu, Zafir?" balas Evelyn dengan suara gemetar, air mata telah menumpuk di matanya. Zafir mengerutkan keningnya. "Penjelasan apa, Evelyn? Apa pun penjelasanmu itu tidak mengubah fakta bahwa kamu mengkhianatiku dan bahkan membuatku memenjarakan ibuku sendiri!" Evelyn bungkam, itu benar. Wanita itu kini hanya bisa menangis sambil berdiri tegang menatap Zafir. Zafir melangkah mendekati Evelyn, lalu mencengkeram
“Nyonya! Tuan Zafir membawa seorang wanita asing masuk ke dalam Mansion!"Ucapan Kate, asisten pribadinya, membuat Naura langsung mengalihkan pandangan dari tumpukkan dokumen di atas meja."Pekerja baru?" tanya Naura.Kate menggeleng. "Bukan, Nyonya! Wanita itu adalah kekasih Tuan Zafir!!"Naura terkejut. Zafir adalah pria yang telah dia nikahi selama enam tahun, lalu apa maksudnya pria itu membawa seorang kekasih ke kediaman mereka?"Bawa aku menemui mereka," titah Naura, membuat Kate menganggukkan kepala dan mengantarnya ke tempat Zafir berada.Baru saja mereka sampai di ruang tamu, Naura bisa mendengar percakapan antara dua orang di dalam sana. “Rumahmu indah sekali, Zafir! Aku sangat menyukainya!” “Kamu akan tinggal di sini, jadi bagus kalau kamu suka.” Tampak seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang sedang tersenyum dan tertawa manis ke arah seorang pria. Wajah wanita itu begitu cantik, ditambah dengan ekspresi polosnya, siapa pun yang melihat pasti akan jatuh
"Kenapa wanita itu berada di mansion utama? Bukankah kamu sudah berjanji akan membiarkannya tinggal di paviliun samping!?” Terlihat Naura sedang berdiri di hadapan Zafir dengan wajah marah. “Hanya karena masalah sepele seperti itu, kamu berani menerobos ruang kerjaku dan membentakku?” tanya Zafir dengan wajah kesal.“Melanggar janji adalah hal sepele untukmu, Zafir, tapi tidak untukku!” balas Naura dingin.Tepat hari ini, sudah lebih dari dua minggu semenjak Evelyn benar-benar tinggal di kediaman Naura dan Zafir. Di waktu yang bersamaan, sudah dua minggu pula Naura dan Zafir terus bersitegang akibat wanita tersebut.Ketika Naura setuju untuk menjadikan Evelyn ibu penggantinya, dia sudah memberikan sejumlah persyaratan kepada Zafir, termasuk membiarkan Evelyn untuk tinggal di paviliun samping dan bukan di mansion utama. Semua demi menghindari ketidaknyamanan saat bertemu dengan wanita tersebut.Namun, siapa yang sangka bahwa setelah dua minggu Naura pergi mengurus bisnis di negara
“Sayang, makan ini. Kata Ibu, ini bagus untuk kehamilanmu.”“Minum ini juga. Ini akan memperkuat janinnya.”“Pegang tanganku, Sayang! Aku tidak mau kamu terjatuh!”Kalimat manis penuh perhatian terus-menerus dilontarkan oleh Zafir di setiap saat kepada Evelyn, dan hal itu juga didengar oleh orang lain di kediaman, termasuk Naura.Walau kehamilan Evelyn membuat suasana mansion menjadi lebih cerah, tapi untuk Naura … dia merasa tempat tersebut semakin asing dan dingin baginya.Bagaimana tidak? Bagi seorang istri yang sebelumnya sudah berusaha keras untuk memberikan keturunan dan gagal, kenyataan Evelyn hamil dan diberikan sejuta macam perhatian oleh Zafir sama saja dengan sebuah tamparan keras untuk Naura. Meski begitu, Naura berusaha untuk tetap tegar. Wanita itu berusaha sekeras mungkin untuk menanamkan kepercayaan pada suaminya, dan fokus pada tujuan akhir mereka yang ingin memiliki anak–meskipun harus dari rahim wanita lain. Oleh karena itu, Naura pun rutin mengirim vitamin serta
Suasana ruangan VIP itu begitu tegang. Semua orang tampak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.Tidak ada yang menyangka Arjuna akan begitu marah dengan tindakan Evelyn!Namun, Naura sudah menduganya, karena ini adalah salah satu hal yang paling dia takuti akan terjadi, di mana Evelyn yang tidak tahu tata krama kalangan atas, akan menyinggung Arjuna dengan kebiasaannya yang abai terhadap aturan.Zafir tampak memeluk pundak Evelyn, mencoba untuk melindungi wanita itu dan memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa?”“T-tidak, tapi tanganku sakit.” jawab Evelyn manja, tampak lemah dan begitu takut.Naura memaki dalam hati, bukan karena sikap Evelyn, melainkan karena tindakan Zafir. Tidak bisakah pria itu sadar kalau tamu penting mereka tengah marah besar akibat wanita yang dia lindungi itu!? Bisa-bisanya dia malah abai terhadap Arjuna dan hanya fokus sepenuhnya kepada Evelyn?Khawatir Arjuna tersinggung, Naura gegas maju menghadap pria itu. “Maaf, Tuan Renjana, Evelyn t
"Naura!" Setelah Arjuna Renjana meninggalkan mereka begitu saja, Naura justru memberikan tatapan merendahkan pada dirinya. Zafir tidak terima!Setelah sampai di mansion, Zafir mengikuti Naura ke kamar. Ia membuka pintu cepat dan menutupnya kembali, lalu menatap Naura dari ambang pintu. "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini?" tanya Zafir, wajahnya menunjukkan perasaan frustasi. Banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya.Naura menatap tajam suaminya, kemudian menunjuk Zafir dengan jari telunjuknya. “Kamu tidak tahu–!”“Kamu yang tidak tahu diri!”Zafir memotong kalimat penuh amarah Naura, lalu menuduh Naura yang tidak tahu diri! Naura menahan amarah dengan mengepalkan tangan di kedua sisinya. “Kamu bilang, aku tidak tahu diri?”“Kalau kamu tidak berbuat onar, Tuan Renjana tidak mungkin meninggalkan pertemuan penting itu begitu saja.”Naura menatap Zafir dengan pandangan tidak percaya. Naura bahkan kehilangan kata-katanya.Sekarang Zafir menyebutnya berbuat onar, padahal dia send
"Kau." Zafir melirik pelayan pribadi yang biasanya mengasuh Zevan, Mona pun maju dengan penuh rasa takut. "Bawa tuan muda ke ruangan ku." Perintah Zafir. Setelah Mona pergi membawa Zevan, Zafir kembali fokus pada Evelyn. "Zafir, aku bisa menjelas--""Apa lagi yang ingin kamu jelaskan?!" Potong Zafir, matanya menatap Evelyn galak hingga urat-urat di dahinya terlihat. Evelyn terdiam, tubuhnya gemetar menatap Zafir. "Kamu menipuku! Kamu menipu satu Wajendra!" ucap Zafir lagi, jari telunjuknya menunjuk wajah Evelyn penuh emosi. "Tidak bisakah kamu mendengarkan penjelasanku dulu, Zafir?" balas Evelyn dengan suara gemetar, air mata telah menumpuk di matanya. Zafir mengerutkan keningnya. "Penjelasan apa, Evelyn? Apa pun penjelasanmu itu tidak mengubah fakta bahwa kamu mengkhianatiku dan bahkan membuatku memenjarakan ibuku sendiri!" Evelyn bungkam, itu benar. Wanita itu kini hanya bisa menangis sambil berdiri tegang menatap Zafir. Zafir melangkah mendekati Evelyn, lalu mencengkeram
Evelyn turun dari taksi yang ia tumpangi menuju rumah sakit, ia menutup wajahnya agar tidak dikenali oleh siapapun. Kedua tangannya yang dingin tergesa-gesa menelepon Jack, namun tak lama Hans muncul. "Kakak?" Hans terlihat bingung melihat kehadiran Evelyn. Evelyn balas menatap tajam, membuat Hans terdiam. "Cepat! Di mana ruangannya?"Sementara itu Zafir di Mansion tengah dilanda gejolak emosi. Pria itu memerintahkan para pelayan menggeledah kamar Evelyn, motif kaburnya wanita itu sampai saat ini masih belum ia ketahui. Zafir masih menggendong Zevan, dia duduk di sofa sambil memperhatikan para pelayan yang sibuk membuka seluruh lemari dan laci Evelyn. Di tengah diamnya, mata Zafir tidak sengaja menangkap kertas yang telah dikepal kuat tergeletak di lantai dekat meja kerja Evelyn. "Stave." Panggil Zafir. "Saya, tuan?" Stave bergegas menghampiri Zafir, menghentikan aktivitasnya yang membongkar laci Evelyn. "Ambil kertas itu." Jari Zafir menunjuk kertas itu lagi. Tanpa banyak b
Evelyn duduk seorang diri di kamarnya yang lengang. Pintu kamar benar-benar dikunci rapat oleh para pelayan. Ada sekitar dua hingga tiga pelayan yang menunggu di luar, wanita itu tidak bisa bertingkah lebih selain diam. Di tengah keterpurukannya, Evelyn menerima panggilan. Ponselnya berdering, dengan cepat ia menyambar ponselnya. Saat melihat yang meneleponnya adalah nomor tak dikenal, wanita itu menggertakkan giginya kesal. Itu pasti Jack, kakak laki-lakinya. Tetapi, Evelyn yang telah kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk benar-benar berbicara dengan Jack. "Siapa?" tanya Evelyn dingin meskipun ia tahu itu adalah Jack. Tak lama dari telepon terdengar suara pria yang sedikit berat dan serak. "Ini... Evelyn?""Nyonya Wajendra. Kamu harus memanggilku dengan benar," jawab Evelyn, tangan kirinya diam-diam mengepal. "Eh-- maaf, ini aku... Jack," balas sang pemilik suara. "Untuk apa kamu menghubungiku seperti orang gila?" tanya Evelyn langsung, dia sudah tidak tahan. "Maaf, Evely
"Kamu gila?!" Bentak Zafir, lalu menatap ke lengan dan kaki putra mereka yang tertancap pecahan gelas. Evelyn terhuyung ke belakang, wanita itu jatuh duduk di lantai dengan wajah syok sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Berani sekali kamu menampar putraku!" ujar Zafir, matanya menatap Evelyn seolah wanita itu adalah kriminal asing yang mencoba menyakiti putranya. "Dia juga putraku!" Evelyn mengangkat kepalanya, balas menatap Zafir dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih memiliki wajah untuk mengakui Zevan adalah putramu?! Dasar tidak tahu malu!" balas Zafir cepat. "Kamu tidak tahu situasinya, Zafir!" Evelyn masih mencoba untuk membela dirinya. Zafir mengerutkan keningnya dalam. "Apapun itu dia adalah anak kecil, Evelyn. Dia darah dagingmu! Dia penerusku! Meskipun kamu ibunya, kamu tidak memiliki hak untuk menyakitinya!" Evelyn berusaha bangkit, menatap Zafir dengan gemetar. "Kamu mengagungkan putramu tanpa mempedulikan diriku! Jika kamu tahu yang melahirkan anak itu ada
"Aku ke ruang kerja dulu," ujar Zafir acuh setelah menarik pandangannya dari surat tersebut. Evelyn dengan cepat mengangguk. "Iya, selamat beristirahat, Zafir." Dia menghela napas lega, syukurlah Zafir acuh pada surat itu. Dengan cepat ia mengambil surat tersebut dan pergi ke kamarnya sambil masih menggendong Zevan. Di kamar, Evelyn menyerahkan anak itu kembali pada Mona, lalu ia duduk di sofa dan membukanya dengan terburu-buru. Pandangan matanya mendingin, jantungnya berdegup cepat. Entah apa isinya kali ini, Evelyn benar-benar muak. "Kakak, maafkan aku karena harus menghubungimu lagi dengan mengirim surat ini. Aku ingin menyampaikan sesuatu, bahwa kondisi ibu saat ini semakin memburuk. Setidaknya temui lah ibu sekali, kak. Dia sangat merindukanmu. Dan, sepertinya atasan ku, nyonya Tirta telah mengetahui hubungan kita. Beliau sering menanyakanmu padaku, memastikan apa kita saling mengenal atau tidak. Aku tidak yakin apa beliau benar-benar tahu, tetapi yang pasti responnya posit
Karena bekas cubitan Evelyn kemarin, Zafir pun memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa. Ia sengaja tidak memanggil dokter seperti biasa ke Mansion agar dapat membawa anaknya sedikit jalan-jalan. Zevan, anak kecil laki-laki yang sangat aktif. Anak itu berlarian ke sana dan kemari selama di rumah sakit. Zafir tidak menyangka menjaga anak kecil itu sangat merepotkan, Stave pun pada akhirnya mau tidak mau ikut terlibat dalam kepusingan ini. "Zevan, berhenti berlarian di rumah sakit, nak! Jika kamu menabrak seseorang akan bahaya nanti!" Seru Zafir khawatir sambil berjalan cepat menghampiri anaknya. Tetapi sayang, peringatan Zafir itu telat. Putranya telah lebih dulu menabrak seseorang. BRUK!Zevan sedikit terpental ke belakang dan jatuh duduk, anak kecil itu menatap takut ke arah seseorang yang ia tabrak. Sementara seseorang itu menatap Zevan dan Zafir dengan wajah terkejut. Seseorang itu adalah Hans yang tengah mendorong ibunya di kursi roda untuk berjalan-
Karena pembicaraannya dengan Arjuna beberapa waktu lalu, hari ini pun akhirnya Naura memutuskan untuk mengunjungi Ronald di salah satu penjara terbesar Jakarta. Naura berniat memberitahu Ronald mengenai kabar pernikahannya, meskipun entah pria itu akan mempedulikannya atau tidak. Naura menunggu di kursi yang berhadapan langsung dengan ruangan penjara. Mereka dipisahkan oleh kaca tebal dengan sedikit celah bolong untuk saling berkomunikasi. "Bagaimana kabarmu, kak?" tanya Naura, kedua matanya memperhatikan Ronald yang terlihat sedikit lebih kurus dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Pria itu tidak seperti dulu, sekarang ia botak dan kantung matanya sedikit lebih menghitam. Baju oren khas tahanan selalu ia kenakan. "Seperti yang Anda lihat, nyonya Tirta," jawab Ronald, membuat hati Naura sedikit terenyuh. Tidak peduli seberapa besar masalah mereka kemarin, meskipun satu dunia mengutuk kakaknya. Naura masih sangat peduli dengan pria itu. Bagaimana pun, mereka pernah saling
Zafir melangkah masuk ke Mansion-nya, dia baru saja kembali dari kantor. Pria itu melonggarkan dasinya sambil terus melangkah cepat ke ruang kerja, masih ada beberapa hal yang perlu dia urus. Tetapi, di tengah jalan ia justru bertemu dengan Mona yang tengah menggendong Zevan. Zafir mengerutkan keningnya, mengapa putranya menangis lagi kali ini?"Ada apa?" tanya Zafir seperti biasa sambil meminta putranya. Zevan dengan cepat memeluk Ayahnya, tangisannya semakin berlanjut saat melihat sosok Zafir. Mona menunduk dalam, kedua tangannya bermain gelisah. "Itu... Tuan muda menemukan buku yang berisi foto Anda dan nyonya Tirta, nyonya--""Dia mencubit anaknya kali ini?" Potong Zafir begitu menyadari salah satu lengan putranya yang membiru karena bekas cubitan. Mona menunduk semakin dalam, mengangguk pelan. Zafir menghela napas gusar, ada apa dengan emosi istrinya belakangan ini? Wanita itu terkadang tenang dan kacau, Zafir tidak mengerti. "Panggil dia ke ruangan kerjaku," perintah Zaf
Setelah sebelumnya sempat dinasihati Zafir untuk tidak terlalu keras pada anak mereka, Evelyn pun mematuhinya. Tetapi alih-alih menerimanya dengan serius penuh renungan, Evelyn hanya patuh untuk sekedar menghindari amarah Zafir. Hari ini dia kembali bersama Zevan, wanita itu membawa anaknya ke perpustakaan dan seperti biasa selalu ditemani oleh Mona. Evelyn membiarkan anaknya yang telah lebih dari satu tahun itu berkeliling perpustakaan dengan sangat lincah meskipun tertatih. Sementara Evelyn sibuk mencari sesuatu, dia menggunakan Zevan masuk ke perpustakaan sebagai alasan ingin memperkenalkan buku pada anak itu. Tetapi sebenarnya, Evelyn hanya ingin mencari data acara perayaan tahun baru sebelumnya. Dia ingin mengetahui apa saja yang sekiranya wajib ada dan diperlukan, sementara sisanya yang menurutnya tidak terlalu penting akan Evelyn singkirkan agar dananya bisa ia 'simpan'. Saat membuka dokumen berdebu tersebut, Evelyn memperhatikannya dengan rinci. Di akhir dokumen terdap