"Kamu gila?!" Bentak Zafir, lalu menatap ke lengan dan kaki putra mereka yang tertancap pecahan gelas. Evelyn terhuyung ke belakang, wanita itu jatuh duduk di lantai dengan wajah syok sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Berani sekali kamu menampar putraku!" ujar Zafir, matanya menatap Evelyn seolah wanita itu adalah kriminal asing yang mencoba menyakiti putranya. "Dia juga putraku!" Evelyn mengangkat kepalanya, balas menatap Zafir dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih memiliki wajah untuk mengakui Zevan adalah putramu?! Dasar tidak tahu malu!" balas Zafir cepat. "Kamu tidak tahu situasinya, Zafir!" Evelyn masih mencoba untuk membela dirinya. Zafir mengerutkan keningnya dalam. "Apapun itu dia adalah anak kecil, Evelyn. Dia darah dagingmu! Dia penerusku! Meskipun kamu ibunya, kamu tidak memiliki hak untuk menyakitinya!" Evelyn berusaha bangkit, menatap Zafir dengan gemetar. "Kamu mengagungkan putramu tanpa mempedulikan diriku! Jika kamu tahu yang melahirkan anak itu ada
Evelyn duduk seorang diri di kamarnya yang lengang. Pintu kamar benar-benar dikunci rapat oleh para pelayan. Ada sekitar dua hingga tiga pelayan yang menunggu di luar, wanita itu tidak bisa bertingkah lebih selain diam. Di tengah keterpurukannya, Evelyn menerima panggilan. Ponselnya berdering, dengan cepat ia menyambar ponselnya. Saat melihat yang meneleponnya adalah nomor tak dikenal, wanita itu menggertakkan giginya kesal. Itu pasti Jack, kakak laki-lakinya. Tetapi, Evelyn yang telah kepalang emosi akhirnya memutuskan untuk benar-benar berbicara dengan Jack. "Siapa?" tanya Evelyn dingin meskipun ia tahu itu adalah Jack. Tak lama dari telepon terdengar suara pria yang sedikit berat dan serak. "Ini... Evelyn?""Nyonya Wajendra. Kamu harus memanggilku dengan benar," jawab Evelyn, tangan kirinya diam-diam mengepal. "Eh-- maaf, ini aku... Jack," balas sang pemilik suara. "Untuk apa kamu menghubungiku seperti orang gila?" tanya Evelyn langsung, dia sudah tidak tahan. "Maaf, Evely
Evelyn turun dari taksi yang ia tumpangi menuju rumah sakit, ia menutup wajahnya agar tidak dikenali oleh siapapun. Kedua tangannya yang dingin tergesa-gesa menelepon Jack, namun tak lama Hans muncul. "Kakak?" Hans terlihat bingung melihat kehadiran Evelyn. Evelyn balas menatap tajam, membuat Hans terdiam. "Cepat! Di mana ruangannya?"Sementara itu Zafir di Mansion tengah dilanda gejolak emosi. Pria itu memerintahkan para pelayan menggeledah kamar Evelyn, motif kaburnya wanita itu sampai saat ini masih belum ia ketahui. Zafir masih menggendong Zevan, dia duduk di sofa sambil memperhatikan para pelayan yang sibuk membuka seluruh lemari dan laci Evelyn. Di tengah diamnya, mata Zafir tidak sengaja menangkap kertas yang telah dikepal kuat tergeletak di lantai dekat meja kerja Evelyn. "Stave." Panggil Zafir. "Saya, tuan?" Stave bergegas menghampiri Zafir, menghentikan aktivitasnya yang membongkar laci Evelyn. "Ambil kertas itu." Jari Zafir menunjuk kertas itu lagi. Tanpa banyak b
"Kau." Zafir melirik pelayan pribadi yang biasanya mengasuh Zevan, Mona pun maju dengan penuh rasa takut. "Bawa tuan muda ke ruangan ku." Perintah Zafir. Setelah Mona pergi membawa Zevan, Zafir kembali fokus pada Evelyn. "Zafir, aku bisa menjelas--""Apa lagi yang ingin kamu jelaskan?!" Potong Zafir, matanya menatap Evelyn galak hingga urat-urat di dahinya terlihat. Evelyn terdiam, tubuhnya gemetar menatap Zafir. "Kamu menipuku! Kamu menipu satu Wajendra!" ucap Zafir lagi, jari telunjuknya menunjuk wajah Evelyn penuh emosi. "Tidak bisakah kamu mendengarkan penjelasanku dulu, Zafir?" balas Evelyn dengan suara gemetar, air mata telah menumpuk di matanya. Zafir mengerutkan keningnya. "Penjelasan apa, Evelyn? Apa pun penjelasanmu itu tidak mengubah fakta bahwa kamu mengkhianatiku dan bahkan membuatku memenjarakan ibuku sendiri!" Evelyn bungkam, itu benar. Wanita itu kini hanya bisa menangis sambil berdiri tegang menatap Zafir. Zafir melangkah mendekati Evelyn, lalu mencengkeram
Keesokan harinya, dengan mata yang masih terlihat sembab dengan kantung mata yang semakin jelas, Zafir berusaha mengurus masalah ini lebih cepat. Zevan masih tertidur sofa ruang kerjanya, anak kecil itu belum mengerti masalah besar apa yang tengah terjadi di keluarganya. Zafir mengambil ponselnya untuk menelepon komandan petugas yang berjaga di kediaman Malini. Sejak hari di mana Zafir menetapkan ibunya sendiri sebagai tahanan, mereka tidak pernah melakukan kontak apa pun. Ibunya diblokir dari seluruh media, akses komunikasinya dicabut. Suara berat khas petugas keamanan terdengar begitu panggilan mereka terhubung."Selamat pagi, tuan Wajendra. Ada yang bisa saya bantu?"Zafir spontan mengangguk di panggilan mereka. "Ya. Kasus mengenai ibuku akan dibuka lagi, bawa beliau ke pengadilan. Aku akan mengajukan persidangan ulang dengan pengadilan." Saat perintahnya melayang, komandan petugas keamanan itu tak langsung menjawab, seolah kalimatnya tertahan sesuatu. "Kau dengar?" tanya Za
Evelyn menatap kosong langit-langit bilik rumah sakit, dokter baru saja memeriksanya. Evelyn terbaring tak bertenaga di ranjang rumah sakit.Pikirannya kosong, tetapi di tengah kekosongan ini lah dia teringat akan sesuatu. Partner yang menjadi 'penuntunnya' dalam melakukan seluruh tindakan korupsi. Dengan cepat mata Evelyn melirik ke arah Stave yang berdiri tak jauh darinya, pria itu mengawasi Evelyn secara langsung. "Tuan Stave, tolong aku! Aku mohon!" ucap Evelyn, lalu beranjak bangun dari ranjangnya menuju Stave. Stave yang terkejut pun menghampiri Evelyn dan menahan wanita itu untuk turun dari ranjang. "Nyonya, saya mohon untuk--!""Aku sangat butuh bantuanmu, tuan Stave! Aku mohon! Aku mohon!" Potong Evelyn cepat, raut wajahnya terlihat sangat serius. "Mengenai apa, nyonya?" tanya Stave tidak mengerti. "Aku harus menelepon seseorang! Aku mohon! Pinjamkan aku ponselmu!" jawab Evelyn cepat sambil mencengkeram lengan Stave. Stave terdiam sedikit, lalu kepalanya menggeleng cep
Setelah sempat lama tak sadarkan diri karena insiden kemarin, Evelyn akhirnya terbangun. Wanita itu langsung berteriak histeris, perawat dan dokter dengan cepat menghampirinya dan dengan cepat menyuntikkan obat penenang. Tubuh Evelyn mendadak lemas, tubuhnya menegang tapi air matanya masih terus mengalir di balik perban yang menutupi matanya. Kedua mata Evelyn dibalut rapat, hal ini membuatnya merasa ingin mati. Evelyn merasa telah membuka matanya, namun dia tetap tidak bisa melihat cahaya samar yang menembus perban. "Nyonya, mohon tenang lah," ucap Mona yang saat itu ada di sana. Mendengar suara Mona, Evelyn menggertakkan giginya marah. "Untuk apa kamu masih di sini, jalang?!" Mona mengerutkan keningnya, meskipun kalimat Evelyn sangat menyakiti hatinya tetapi wanita itu tetap tak beranjak dari kursinya. "Di mana Zevan?! Di mana anakku?!" Teriak Evelyn lagi. "Zafir! Panggil pria itu! Panggil suamiku kemari!" Sambungnya tak karuan. "Nyonya, saya mohon Anda--""Diam kau! Aku
Begitu sidang panjang Evelyn selesai, wanita itu pun resmi dijebloskan ke penjara sekaligus diceraikan. Evelyn tidak memiliki nama Wajendra lagi di belakangnya, wanita itu kembali menjadi 'Evelyn'. Saking tidak bisa menerima kenyataan, Evelyn pingsan setelah palu diketuk tiga kali oleh pimpinan sidang. Wartawan telah menyerbu gedung persidangan, Zafir terus melangkah keluar sambil menyembunyikan Zevan di pelukannya agar tidak terpapar sinar flash kamera wartawan. "Tuan Wajendra, mohon berikan pernyataan Anda mengenai kasus mantan istri Anda, nyonya Evelyn.""Tuan, bagaimana perasaan Anda setelah bercerai? Lalu bagaimana mengenai putra Anda, bukankah dia masih sangat membutuhkan sosok ibu?""Tuan Wajendra....""Tuan Wajendra....""Tuan Wajendra...."Wartawan seperti semut, Stave dan para bawahan Zafir lainnya berusaha memblokir akses para wartawan agar tidak mendekat ke Zafir. Sampai di dalam mobil, pria itu mendudukkan Zevan di sebelahnya. Zafir menghela napas penat, di luar mob
Setelah menolak permintaan Tiara untuk bercerai, sang presiden pun meninggalkan kediaman Bara. Asisten pribadi Tiara, Vivi, dengan cepat berlarian ke arah atasannya dan membantu wanita itu berdiri. Vivi menangis deras, sejak awal dia dilarang masuk oleh penjaga pintu dan langsung syok begitu pintu terbuka melihat Tiara yang terkapar lemas penuh darah di lantai. "Nyonya, hati-hati..." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak menangis lagi. Tiara tersenyum tipis ke arah Vivi, saat menyadari bawahannya itu menangis, Tiara dengan cepat berkata,"Aku belum mati."Vivi tidak menjawab, dia tahu hal itu. Tetapi melihat sosok Tiara yang terkapar lemas dengan darah tentu saja dia sangat cemas. Ketika hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Sela mendekat ke arahnya. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" tanya Sela dengan raut wajah polos. "Sela, kemari. Tidak perlu mempedulikan wanita itu, dia sudah berbuat jahat padamu," ujar Jovan yang berdiri tak jauh dari mereka. Sela menggeleng cepat. "
Keringat dingin menetes di lantai kediaman keluarga Bara.Tiara berlutut denga kepala tertunduk dalam, di depannya duduk seorang pria paruh baya dengan badan gempal yang memegang cambuk. Di sebelahnya terdapat Jovan yang duduk di sofa, Sela ikut duduk di sana sambil memeluk erat lengan suaminya dengan wajah ketakutan. Jovan tersenyum puas melihat Tiara yang berlutut tak berkutik, inilah akibat dari melawan kata-katanya. "Aku sudah pernah memberi peringatan padamu sebelumnya, bukan? Mengapa kamu melanggar perintah ku?" ucap presiden dengan nada bicara yang dingin. Tak pernah ada yang tahu sosok mengerikan kepala negara yang satu ini. Dia selalu tersenyum ramah di hadapan para rakyat, bahkan jika Tiara berteriak lari keluar untuk meminta pertolongan tak akan ada yang percaya. "Saya tidak mengerti maksud Anda, bapak Presiden." CTAK!Presiden mengayuhkan kasar cambuk itu ke lantai, membuat Tiara mengepalkan kedua tangannya dengan mata terpejam. "Tidak tahu malu!" ucap presiden sam
"Ada apa, nyonya?" tanya Kate penasaran saat mereka telah berada di dalam mobil menuju Mansion Tirta. "Nyonya Bara menitipkan pesan pada pelayan tadi menggunakan kertas ini," ucapnya sambil menunjukkan kertas yang sudah dia remas kuat tadi. "Dia hanya mengatakan ada sesuatu yang berada di luar perkiraan serta memintaku untuk terus percaya serta dan tidak khawatir," lanjut Naura. Kate mengerutkan keningnya. "Jadi 'beliau' yang dimaksud pelayan tadi adalah nyonya Bara?" tanyanya syok dan menambahkan,"Lalu bagaimana dengan luka memar dan cambuknya? Itu juga nyonya Bara?"Naura mengangguk singkat, hatinya semakin merasa khawatir. "Nyonya, bukankah ini sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan?" tanya Kate khawatir. Naura tidak menjawab, dia juga tahu hal itu.Melihat Naura yang tidak merespon, Kate yang sudah kalut khawatir pun kembali bicara. "Sepertinya masalah ini memang sangat berbahaya, nyonya. Mengingat Presiden bahkan mampu membungkam keluarga Bara yang berada diurutan kelima,
Naura melangkah masuk ke dalam Mansion Tirta begitu tiba. Malam ini otaknya tidak bersahabat untuk diajak beristirahat, kepalanya masih penuh dengan Tiara. Meskipun masalah itu bukan urusannya, Naura tetap merasa tidak tenang untuk Tiara. Dia pernah berada di posisi rumit seperti itu seorang diri, tidak ada yang membantunya hingga rasanya seperti tercekik ingin mati. Menghela napas tipis, Naura duduk di kursi kerjanya. Malam ini terasa jauh lebih hening dibanding biasanya. Kate sudah pamit pergi sebelum Naura masuk ke dalam ruang kerja, kini dirinya benar-benar sendirian mengurus pekerjaan. Naura memeriksa ponselnya terlebih dahulu sebelum memulai fokusnya pada layar komputer. Tidak ada pesan atau panggilan apa pun dari Arjuna, sepertinya pria itu mulai kembali sibuk.Meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Naura meregangkan tubuhnya sebelum bekerja. Tiga jam lebih, wanita itu bahkan tidak menggeser pandangannya dari layar komputer selain untuk menyeruput teh yang sempat di
Naura melangkah masuk ke sebuah gedung restoran bintang lima tak jauh dari lokasi pertemuan sembilan pilar negara sebelumnya. Saat hampir tiba di area Mansion Tirta, Naura tiba-tiba menerima panggilan dari Tiara. Wanita itu meminta pertemuan secara mendadak malam ini juga. Sampai di dalam restoran, Naura dibawa oleh seorang pelayan wanita menuju ruang VIP tempat Tiara berada. Mereka saling melempar senyum setelah saling melihat. "Selamat datang, nyonya Tirta. Maaf karena saya meminta waktu Anda secara tiba-tiba seperti ini," ucap Tiara dengan raut wajah dan nada bicara tak enak. Naura mengangguk singkat. "Bukan masalah besar, kebetulan sejujurnya saya juga khawatir dengan kondisi Anda."Mendengar Naura yang selalu memperlakukannya dengan baik, senyum dan tatapan mata Tiara berubah sedikit mengabu. Kepalanya tertunduk lemah. "Saya... Merasa malu karena Anda dapat melihat sosok tidak berdaya saya. Saya seorang kepala keluarga wanita, seperti Anda. Tetapi saya lemah dan tidak--""A
"Nyonya Bara." Beberapa penjaga yang bertugas di depan pintu ruang rumah sakit Jovan membungkuk menyapa Tiara. Tiara masuk tanpa menjawab sapaan mereka, raut wajahnya suram menahan amarah. Di dalam dia melihat Jovan tengah mengunyah buah pisang, mata pria itu melirik kedatangan Tiara dengan malas. Mata Tiara menelusuri ruangan itu dengan dingin, sosok Sela entah berada di mana. Wanita itu sepertinya ditahan petugas agar tidak mendekat pada Jovan untuk sementara waktu. "Nyonya Bara yang terhormat mengunjungiku?" ucap Jovan dengan nada sarkas. Tiara tidak membalas dan memilih duduk dengan tenang di sofa. "Bagaimana kondisimu?""Apa itu penting? Bukankah ini yang kau mau?" balas Jovan, menatap penuh kebencian pada Tiara. Tiara mengepalkan kedua tangannya. "Kamulah yang memancing emosi tuan Wajendra, semua orang tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan pada nyonya Tirta.""Tidak, bukan salahku. Jika sejak awal kamu tidak mengizinkan nyonya Tirta ikut campur, maka kejadian ini ti
"Aku baru saja selesai menghadiri acara pertemuan sembilan pilar negara, sekarang hendak kembali ke Mansion," ucap Naura di telefon untuk Arjuna sambil terus melangkah menjauh dari ruangan Zafir."Pasti lelah. Pastikan segera beristirahat begitu tiba di Mansion, jika membutuhkan sesuatu aku akan segera--""Tidak perlu khawatir." Potong Naura dengan senyum tipis. "Kamu bisa tenang dan fokus mengurus pekerjaanmu." Hatinya menghangat saat Arjuna masih berusaha selalu ada untuknya meskipun jarak dan waktu mereka yang sangat berbeda. Belum lagi dengan urusan penting pria itu. "Tidak ada pekerjaan yang jauh lebih penting dari dirimu. Tetap hubungi aku jika kamu merasa kesulitan." Arjuna tetap kekeuh pada kalimatnya. Naura menghela napas tipis diam-diam, bibirnya masih tersenyum. Berbicara dengan Arjuna meskipun hanya melalui telefon rasanya berhasil melepas beban berat di pundaknya. Kehangatan pria itu selalu berhasil menyentuhnya di manapun dirinya berada. "Iya..." jawab Naura dengan
Petugas keamanan merangsek masuk, mereka berusaha melerai Zafir yang memukuli Jovan secara membabi buta. Naura mematung di posisinya, memandang syok ke arah Zafir. Kedua tangannya mengepal erat, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Tirta, Anda baik-baik saja?" tanya Tiara setelah menyusul posisi berdiri Naura. Naura tetap mematung memandangi Zafir, tidak menjawab pertanyaan Tiara. Setelah keduanya berhasil dilerai, Zafir dibawa ke ruangan lain untuk diobati. Wajah pria itu dua hingga tiga tempat mengalami memar. Sementara Jovan, hidung dan pelipisnya telah berdarah tak karuan, membuat pria itu perlu dibawa ke rumah sakit. "Tuan!" Suara isak tangis Sela yang menyayat hati menghiasi keributan di hari itu. Tak lama ia menghampiri Tiara setelah dipaksa mundur oleh petugas untuk mendekati Jovan. "Nyonya! Nyonya! Saya mohon... Ini semua... Ini semua salah saya. Jangan lampiaskan--"PLAK!"Tidak tahu malu!" ucap Tiara sambil menampar pipi Sela, kemudian saat hendak menoleh lagi ke N
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit