"Masak apa, Rei?"Andra melingkarkan lengannya di pinggang istrinya dan memeluk erat dari belakang. Harum aroma tubuh Reisa membuatnya mabuk kepayang. Andra mengelus perut istrinya yang mulai membuncit. Ini memasuki bulan ke empat. Tubuh Reisa sendiri sudah sangat melar, padahal kehamilannya belum terlalu besar. "Biasa kesukaan kamu, nasi goreng sosis," jawab Reisa. Tangannya masih mengaduk nasi yang mengebul panas di dalam wajan. "Sosisnya dimasukkan sekalian aja disitu. Enak," bisik Andra di telinga Reisa. Hidungnya mulai menjelajah. Dari menghirup aroma rambut, sekarang beralih ke leher."Ndra! Jangan begini nanti gosong." Reisa menolehkan kepala, lalu mendapati suaminya sedang tersenyum nakal sembari mengedipkan mata."Biarin, mumpung cuma berdua," rayu Andra. Memang pagi ini rumah sepi. Inah pergi ke pasar bersama Susi diantar Tarno. Rendra sudah dua hari ini menginap di rumah kakeknya.Nita ingin sekali merasakan memomong bayi, karena sampai sekarang rahimnya masih kosong.
Bandara Soekarno Hatta pukul sepuluh pagi. "Hati-hati."Begitulah kata yang terucap di bibir Reisa saat mengantar Andra ke bandara. Setitik air matanya menetes. Rasa haru berkecamuk di dada. Sekalipun hanya sebentar, sebenarnya wanita itu belum benar ikhlas melepas kepergian suaminya. Andra memeluk dua orang yang paling dia sayangi saat ini dengan erat. Dia mencium lembut kening Reisa sembari menggendong Rendra. Bayi itu malah senang karena digelitik papanya. "Ndra," lirih Reisa. Dia tak rela melepaskan sang suami pergi. Tak perduli banyak mata memandang.Wisnu dan Nita hanya bisa memperhatikan perpisahan yang cukup mengaharukan ini."Lu di rumah papa aja dulu sementara waktu. Biar ada temannya." Andra berbisik di telinga Reisa."Gue gak tega lu sendirian."Reisa mengangguk. Sudah menjadi kesepakatan selama satu bulan ini mereka akan pindah ke rumah papa. Andra tidak bisa membiarkan istri dan anaknya tinggal berdua tanpa ada keluarga yang menemani. "Dah, Ma!" Andra berjalan menja
Bel pintu berbunyi. Terburu-buru Inah segera membukakan pintu. "Cari siapa?"Inah bertanya penuh selidik saat mendapati seorang lelaki di balik pintu. Rasanya dia kenal. Lalu wanita paruh baya itu teringat bahwa itu sepupunya Nita yang waktu itu datang ke sini bersama Wisnu."Reisa ada?""Keperluan?" tanya Inah lagi. "Bilang saja ada Mas datang.""Apa sudah janji?"Dimas mengumpat dalam hati. Ini pembantu tidak sopan sekali. Ada tamu datang bukannya disuruh masuk, malah ditanya macam-macam. Inah sendiri sudah diberikan mandat dari Andra supaya tidak menerima tamu sembarangan. Tuannya tidak mau terjadi hal buruk kepada selama dia tidak ada."Silakan masuk. Sebentar saya panggilkan Non Reisa."Inah membuka pintu lebar-lebar, lalu ke dapur menyuruh Susi membuatkan minuman. Setelah itu dia mengetuk pintu kamar Reisa, yang sedang tertidur bersama putranya."Apa, Bik?" Wajah Reisa tampak kusut saat membuka pintu. Rambutnya acak-acakan dan terlihat masih lemas."Anu, Non. Ada tamu di depa
"Sorry. Gue gak bisa pulang." Reisa melempar ponselnya di sofa. Dia sudah menunggu sejak tadi pagi. Weekend ini harusnya mereka berkumpul di rumah. Reisa sudah berbelanja di pasar. Dia bahkan memilih langsung ikan segar, yang akan dimasak untuk menyambut kedatangan Andra. Semua kacau saat Reisa mendapatkan telepon itu tadi pagi. Andra tidak bisa pulang. Ada meeting internal dengan beberapa investor di sana.Tadinya Reisa dan Rendra ingin menyusul, tetapi dilarang. Kata Andra jadwal cukup padat. Bahkan hari libur pun mereka lembur. Suaminya berjanji kalau hotel baru sudah launching, mereka akan dibawa serta.Ini minggu pertama Andra ditugaskan di sana. Harusnya Reisa mengerti bahwa di awal-awal tugas, suaminya pasti sibuk sekali.Hanya saja Andra sendiri yang mengatakan akan pulang. Betapa dia sangat merindukan mereka berdua, begitulah yang selalu Andra katakan setiap menelepon di waktu senggang."Dek, papa gak bisa pulang."Reisa berbisik di telinga Rendra yang sedang tertidur. Ras
Dimas menunjuk sebuah pakaian bayi yang dipajang di sebuah etalase toko."Ini bagus ya, Rei. Lucu."Hari ini mereka keluar berjalan-jalan. Berempat, tetapi Nita memilih untuk membawa Rendra ke arena bermain khusus anak-anak. Sehingga Reisa dan Dimas akhirnya memutuskan untuk berjalan mengitari mall."Iya, kekinian. Sekarang baju bayi sama anak-anak banyak model terbaru."Mereka masuk ke toko dan melihat-lihat . Keduanya bertukar pendapat mengenai baju mana yang pantas dipakai bayi Reisa jika nanti hari lahir tiba. "Beli satu, deh. Ini lucu banget."Dimas mengambil sebuah baju model princess dengan motif bunga-bunga."Ih, engga boleh. Nanti aja kalau udah tujuh bulanan," larang Reisa saat lelaki itu hendak membawanya ke kasir."Kenapa?" Dahi Dimas berkerut. Baginya tak masalah membeli baju apa pun asalkan cocok dan budget-nya ada."Kata orang-orang pamali. Nanti tunggu tujuh bulan." Reisa menjelaskan.Dimas mengangguk. Selama ini dia tidak tahu, belum pernah merasakan. Istri saja belu
"Andra!"Reisa terbelalak saat mendapati suaminya muncul di depan pintu. Ini Selasa dan hari kerja. Namun, Andra memilih untuk pulang ke rumah sebagai ganti hari liburnya yang dipakai untuk meeting bersama klien. "Rei...."Mereka berpelukan lama sampai lupa masuk. Inah yang tergesa-gesa keluar hendak membuka pintu, menjadi speachless saat melihat tuan dan nonanya saling melepas rindu. Diam-diam dia kembali ke belakang tanpa sepengetahuan mereka. "Kok gak bilang mau pulang?""Sengaja, biar lu kaget.""Ih.""Cium, dong."Andra menyodorkan bibir yang dibalas Reisa dengan tepukan di pipi. Andra langsung cemberut saat ditolak. Reisa mengambil tas suaminya dan meletakkan benda itu di kursi.Setelah itu Reisa menarik tangan Andra, dan membawanya menuju kamar putra mereka. Rendra pasti senang kalau melihat papanya datang. "Sttttt."Reisa meletakkan telunjuk di bibir. Rendra sedang tertidur setelah tadi puas bermain. Setelah jalan-jalan bersama minggu lalu, dia tidak menginap di rumah papa
Brak!Reisa terkejut saat mendengar sebuah benda diletakkan di meja dengan kasar. Dia sedang menuang sayur di mangkuk. Wanita itu menoleh dan mendapati suaminya tampak kesal. "Kenapa, Ndra?" Reisa bertanya dengan wajah kebingungan. "Ada telepon buat lu."Andra menunjuk ponsel itu dengan hati yang panas. Dia cemburu. "Oh, biarin aja. Masih masak."Reisa kembali fokus ke kompor untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Kayaknya penting, sampai sepuluh panggilan tak terjawab." Reisa mendelik. Dia meletakkan mangkuk berisi sayur di meja dan mengambil ponselnya. Wajah wanita itu memucat saat melihat di riwayat panggilan.Kenapa Dimas harus menghubungi di saat seperti ini, batinnya. "Oh, mungkin ini agen asuransi," kata Reisa tenang. Andra baru saja pulang dan dia tak ingin ada pertengkaran. Mendengar itu, kini Andra yang memucat. Dia tahu persis si penelepon itu. Lelaki merasa itu kecewa kenapa istrinya harus berbohong."Emang kamu ada ikutan asuransi kayak gitu?"Andra berpura-pura tidak
[Rei, kok gak datang Nak. Papa kangen cucu]Andra tersenyum saat membacanya. Ternyata Wisnu yang mengirimkan pesan.Reisa sudah pucat pasi saat melihat Andra membuka ponsel. Wanita itu menarik napas lega saat melhat ekspresi wajah suaminya yang sembringah. "Kenapa, Ndra?" tanya Reisa. Dalam hati berdebar-debar takut Dimas yang mengirimkan pesan lagi."Ini papa nanyain. Kok kamu gak dateng ke sana? Kamu gak ngabarin, ya?"Andra mengerling wajah istrinya. Sekilas Reisa tampak terkejut. Namun, wanita itu cepat-cepat mengendalikan diri."Udah sama Nita. Mungkin maksud papa suruh nginap di sana lagi," jawabnya.Reisa meletakkan piring-piring kotor di wastafel dan membersihkan meja makan. Nanti Susi yang akan mencucinya."Jadi?""Besok saja kali. Kan kamu baru dateng. Lagian repot, harus banyak bawa barang adek.""Gak boleh gitu. Kan ngeliat orang tua.""Minggu lalu kan udah juga. Papa sih gak mau diajak jalan, coba kalau mau, kan seru.""Kalau kalian shopping kita memang males nemenin. La
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i
"Andra! Balikin buku aku." Reisa berlari mengejar seorang anak lelaki seusianya. Napasnya gadis itu terengah-engah. Sedari tadi dia berusaha, tetapi si target malah makin menjauh. Sedangkan sosok yang dikejar itu malah bersorak senang karena berhasil menggodanya. "Ambil kalau bisa!" Andra mengangkat tangan ke atas dan melambaikan buku itu. Tentu saja Reisa tidak bisa menjangkau karena tubuhnya mungil dan tak sampai sebahu lelaki itu."Kamu usil banget sih, Ndra." Tangan mungil Reisa berusaha menggapai tetapi tak sampai. Gadis itu mencoba lagi hingga akhirnya menyerah."Lu bantet sih, Rei. Makanya makan yang banyak. Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping."Sudah menjadi kebiasaan Andra mengolok-olok Reisa. Gadis itu juga tidak pernah marah. Bukankah jika bersama sahabat, kamu bisa lepas menjadi diri sendiri. Bahkan semua kekuranganmu dia bisa memakluminya. "Kamu kalau mau nyontek bilang aja napa? Gak usah pake' ngambil buku aku."Reisa berhenti berlari dan duduk lemas sembari menyek
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot