Share

7. Kehilangan.

Empat tahun kemudian....

Sinar lampu yang begitu menyilaukan membuat pandangan Husna mengabur sulit baginya melihat untuk memastikan siapa orang yang berada di balik kemudi namun, tiba-tiba mobil melaju dengan kecepatan tinggi kearahnya.

Husna yang tidak bisa menghindar lagi hanya mampu berteriak berusaha untuk menyelamatkan diri dari tempatnya berdiri hingga terdengar suara yang begitu keras dan tubuhnya melayang.

"Argh!!"

Suaranya tercekat bayangan masa lalu begitu nyata menghantuinya setiap saat hingga ia tidak mampu untuk berdiri dan bangkit untuk menjalani kehidupan indah di depannya.

"Berhenti untuk mengingat hal yang menyakitkan, sudah waktu kamu bangkit. Ingatlah bukan hanya dirimu tapi ada sosok yang sangat membutuhkan kamu, Husna."

"Apa yang bisa di lakukan oleh wanita lumpuh seperti aku? Jika dunia ini menginginkan aku seperti ini maka aku akan menerimanya dengan ikhlas, tidak ada lagi harapan semua sudah berlalu–" ucapnya lirih namun, kalah dengan suara seseorang yang membuatnya menitikkan bulir bening untuk kesekian kalinya.

"Kamu wanita lemah, maka kamu tetap disini. Menjauh dari dunia yang seharusnya, lihat pria yang sudah merenggut kesuciannya mu? Pria yang bergelar sebagai seorang suami, apa dia memikirkan kamu? Tidak Husna dan lihat mereka yang berkonspirasi untuk melenyapkan nyawamu dan juga anak yang ada dalam kandunganmu? Apa kamu tetap menjadi penonton dari kebahagiaan mereka yang seharusnya menangis darah!" ucap Bibi Imas wanita yang selama empat tahun bersamanya.

"Itu benar! Dan aku hanya bisa menangis meratapi nasib yang pada akhirnya akan menyerah dengan sebuah keadaan yang sulit untuk kembali bangkit. Mereka dan juga Bibi sama, kalian sangat benar mengatakan hal ini padaku. Mereka sangat bahagia telah berhasil menyingkirkan wanita sepertiku dan Bibi benar bahwa aku tidak bisa menatap dunia lagi!" isaknya dalam diam. Hatinya begitu lelah menghadapi ujian yang tidak henti 4 tahun sudah ia mencoba untuk bangkit setelah tersadar dari komanya namun kelumpuhan pada kakinya membuatnya patah semangat.

"Sekalipun dengan putrimu? Bibi kecewa dengan keputusanmu tapi Bibi pun tidak bisa memaksa jika itu sudah menjadi pilihan hidupmu maka ratapi lah dan jangan pernah memikirkan masa depan putrimu dan lihatlah layar televisi dan majalah bahkan koran memberitakan betapa baiknya dan terhormatnya seorang pewaris dari Adhicandra dengan keluarga barunya!!" Bibi Imas ingin jika Husna bangkit walau bukan hanya demi dirinya tapi demi Putri semata wayangnya yang membutuhkan dirinya.

"A– aku,"

"Jangan pikirkan apa yang dikatakan Bibi. Bibi hanya ingin kamu berpikir, bukan untukmu tapi lakukan untuk putrimu, dia membutuhkan semuanya kamu tahu itu. Berhenti menyesali, jangan hanya menerima keadaan berjuanglah Bibi akan selalu berada di sampingmu sampai kamu berdiri dan mampu mengalahkan mereka membalaskan sakit hati putrimu yang mereka hancurkan." Bibi Imas berlalu meninggalkan Husna yang menatap hamparan bunga di depannya.

"Bibi, aku tahu jawaban apa yang akan diberikan Bibi padaku tapi aku pun tidak mau menyerah begitu saja sebelum mengetahui kebenaran yang Bibi sembunyikan dariku. Katakan siapa yang sudah menyelamatkan aku dari kecelakaan itu? Bibi lelah untuk menjawab pertanyaanku? Mungkin sudah lebih dari 100 kali aku bertanya pada Bibi dan jawaban yang sama yang selalu aku dapatkan, Bibi sudah 4 tahun berlalu tapi Bibi tetap menyembunyikannya dariku? Sudah cukup membuat aku merasa bersalah seperti ini." desak Husna.

"Husna jika kamu ingin tahu siapa orang itu maka jawaban Bibi akan sama. Tetapi jika kamu ingin pengorbanan seseorang padamu tidak sia-sia maka bangkitlah dan tunjukkan padanya bahwa kamu tidak lemah." ucap Bibi Imas.

"T– tapi,"

"Sudah malam istirahatlah putrimu sudah menunggu di kamar." ujar Bibi Imas.

'Maafkan bibi Husna, semua Bibi lakukan demi kebaikan kamu sudah waktunya kamu bangkit sudah waktunya kamu balas dan sudah waktunya kamu bergerak demi putrimu dan juga demi dirimu ambil semua yang mereka renggut darimu, kebahagiaan kalian yang telah dirampas oleh mereka.

Bibi hanya ingin kamu menjadi wanita yang kuat bukan hanya wanita yang lemah yang hanya mampu duduk di atas kursi roda hidup dengan bantuan seseorang, Bibi sangat menyayangimu, sudah waktunya kamu berdiri hadapi mereka dengan kekuatan kami yang baru. Bibi sudah menganggap kamu seperti putri kandung Bibi,' ucapnya dalam hati. Memperhatikan Husna yang berlalu dengan kursi roda elektrik menuju kamar yang berada di depan, kamar utama yang seseorang siapkan untuk dirinya.

Husna memperhatikan putrinya yang terlihat duduk dengan boneka yang belikan oleh Bibi Imas. Boneka yang begitu indah tapi sayang hanya mampu ia raba tanpa bisa di lihat olehnya.

"Cantiknya Mama, belum tidur, hum?" Husna memutar kursi roda elektrik agar bisa mendekati putrinya.

"Mama apakah dunia itu indah? Seperti apa isinya?" Zelena mempererat pelukannya pada boneka beruang yang besar.

"Sangat indah sayang, bahkan isinya pun sama. Tetapi –" Husna tidak mungkin mengatakan jika banyak orang yang tidak baik bahkan mereka sanggup untuk melenyapkan seseorang demi harta, jabatan dan nama baik.

"Tapi apa Mama?" Zelena tidak hentinya bertanya dengan suara khas anak kecil tentunya.

"Tapi kita hanya bisa melihatnya, tanpa bisa mendekati atau pun berkelana seperti yang orang lain lakukan. Kita hanya sekedar merasakan betapa indahnya dunia ini, nak." Husna berusaha mengatakan walau jawaban tidak masuk akal. Semua ia lakukan hanya untuk menyenangkan hati putrinya walau hal itu hanyalah kebohongan.

"Mama apakah aku bisa melihatnya, suatu saat nanti?" Zelena tersenyum impiannya hanyalah melihat dunia.

"Cantiknya bunda ingin melihat dunia, nak?" pertanyaan konyol seorang ibu pada anaknya. Untuk kesekian kalinya jawaban yang sulit untuknya.

"Aku ingin melihat Mama, itu yang pertama dan juga–" Zelena terdiam wajahnya berubah murung pertanyaan yang sama akan ia lontarkan pada wanita yang tidak jauh darinya.

"Kamu akan melihatnya sayang, Mama janji akan mencari donor mata yang cocok untukmu maka anak Mama yang cantik ini bisa melihat dunia. Sayang siapa yang ingin kamu lihat selain Mama?" Husna menghapus jejak air mata yang kini kembali basah.

"Selain Mama dan Bibi Imas, aku ingin melihat wajah ayah, apakah ayahku tampan Mama?" Husna tercekat sehingga suaranya seakan hilang begitu saja.

Begitu besar harapan putrinya untuk melihat dunia dan wajah ayahnya. Husna membekap mulutnya agar tangisannya tidak terdengar oleh putrinya. Secara fisik putrinya sempurna tetapi penglihatan yang menjadikan putri kecilnya tidak sempurna, putrinya telah buta. Walau dokter sudah berusaha untuk mencari donor mata untuk putrinya namun, sampai saat ini tidak ada satu pun rumah sakit yang berhasil.

Husna sudah lakukan lagi-lagi tidak menemukan pendonor mata untuk putrinya hingga Husna memutuskan untuk mendonorkan matanya untuk putrinya tetapi semua gagal karena tidak ada kecocokan.

"Kenapa Mama diam? Apa begitu berat mengatakan seperti apa wajah ayah?" Zelena meraba tubuh Husna yang bergetar.

"Mama menangis lagi?" pertanyaan yang mampu di jawab gelengan oleh Husna meski putrinya tidak bisa melihat dirinya yang menggelengkan kepala.

"Siapa yang menangis, hum? Mama hanya diam jika Mama menjawab maka Mama akan bersin sebab Mama sedang–" Husna tidak melanjutkan ucapannya. Ia berpura-pura bersin untuk menutupi kebohongannya.

"Sekarang tidur ya, Mama janji akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Terutama mata untukmu, agar kamu bisa mewujudkan impian kamu, nak." Husna mengecup pucuk kepala putrinya benar yang di katakan Bibi Imas ia tidak boleh egois.

Ada anak yang membutuhkan dirinya agar mewujudkan impiannya. Mereka telah membuat hidupnya menderita bukan hanya dirinya tetapi putrinya yang harus menderita kebutaan sejak lahir dan tubuhnya yang saat itu koma dalam keadaan hamil, kejadian malam naas yang berhasil merenggut nyawa putrinya yang lain dan kini penderitaan panjang di alaminya dan putrinya yang berada dalam pelukannya.

"Kalian telah merenggut putriku yang lain. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup dalam ketenangan, sudah cukup kalian bersenang-senang, sekarang waktunya kalian merasakan apa yang aku rasakan!!" gumam Husna.

Di tatapnya wajah putrinya yang terlalap satu hal yang membuat Husna bernapas lega wajah putrinya yang tidak mewarisi wajah ayahnya. Tetapi sifatnya sama seperti Andaru yang keras kepala.

Pagi yang sejuk sejak adzan subuh hujan mengguyur tempatnya tinggal sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Perkebunan yang membentang luas adalah pemandangan yang setiap hari memanjakan mata. Husna yang sejak semalam sulit untuk memejamkan mata memilih keluar dari kamar membantu Bibi Imas yang sibuk di dapur meski ia tahu jika semua sudah di kerjakan oleh wanita yang tidak lagi muda.

"Pagi Bibi Imas,"

"Semalam kamu tidak bisa tidur?" Bibi Imas memperhatikan wajah Husna yang terlihat sayu. Tanpa menjawab sapaan Husna.

"Seperti yang Bibi katakan. Semalam aku sudah memutuskan untuk menerima usulan Bibi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status