Jihan memasang wajah memelas di hadapan Rani agar kali ini ia tidak ngambek. Ia benar – benar takut suasana hati Rani berubah jadi seorang monster.
“Pacar? Untuk apa pacaran? Selain di larang agama, pacaran hanya akan menghabiskan waktu. Tidak menguntungkan, bahkan banyak kerugian yang akan di keluarkan. Lagi pula, pacaran tidak akan membuktikan kalau kalian para lelaki pantas untuk wanita seperti kami. Lelaki yang hanya mengajakmu pacaran tidak akan menambah pemasukan uang dan waktu bagimu,” ucap Rani dengan lugas menatap tajam ke arah Arka yang hanya terdiam dan menelan salivanya.
“Tapi, Arka udah ngajak aku nikah, kok, ya kan, yang?” Jihan berkata pasti di balas anggukan oleh Arka yang gelisah, seperti sedang duduk di atas bara api.
“Lelaki yang beneran mau ngajak kamu nikah, harusnya nemuin orang tua kamu, bukan ngajak kamu ngedate, apa lagi ngabisin waktu kamu,” jawab Rani menatap Jihan dengan wajah serius
“Nemuin orang tua pacar juga nggak harus di ketahui orang, kan?” sahut seorang lelaki yang menggunakan kemeja hitam dan senyum menawan. Tubuhnya lebih tinggi lima senti meter dari Arka yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima senti meter.
“Hai, bro! Hai, Jihan!” sapa pria tersebut
“Hai, Jamie. Perkenalkan, ini sahabat aku, Rani. Rani, perkenalkan, ia Jamie,” Jihan memperkenalkan pria bermata biru khas Irlandia dengan sedikit belahan di dagunya.
“Hai, aku Jamie. Pendiri perusahaan Angel Diamond yang sudah meluas di beberapa negara Eropa. Ayahku seorang collector berlian. Arthur Cornelius,” Jamie tampak mengikuti gaya bahasa Rani, dengan senyum menggoda, ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Rani yang meremehkan Jamie.
Menutupi rasa kecewanya, Jamie mengambil gelas milik Rani. Ia teguk air yang ada di dalamnya sampai habis.
“Ber- uang tidak membuat anda ber- adab,” ucap Rani dengan nada ketus, menatap gelas kosong yang di letakkan oleh Jamie
“Yah, walaupun hanya seorang sopir pribadi, aku juga bisa mengikuti gaya bahasa anda, nonta Ratu. Meminum jus ini seperti aku sedang mendengarkan hinaan anda. Namun, sangat membangkitkan semangat,” jawab Jamie dan mengedipkan mata kirinya ke arah Rani setelah meminum jus lemon milik Rani.
“Tidak ada seorang sopir yang lancang menghabiskan minuman di gelas majikannya. Arka, tolong ajarkan pembantumu ini agar lebih sopan,” pinta Rani dengan gaya bahasa yang sangat tegas
“Oh - ho, maafkan jika saya lancang paduka Ratu, tapi jika saya boleh jujur, gelas bekas bibir anda sungguh terasa manis. Saya yakin, lipstick yang anda pakai sangatlah mahal. Bahkan, upah saya satu bulanpun belum mampu membelinya. Bukan begitu, nona Jihan?” Jamie memainkan alis kanannya ke arah Jihan yang sudah merasakan suasana tegang saat ini.
“Eh, Jamie. Kita juga belum pesen minuman, loh. Ayo, pelayan!” Jihan mencoba mengalihkan nuansa tegang yang sedang terjadi.
Mata Jamie tidak lepas memandang Rani yang juga sama menatapnya tajam.
“Sungguh sangat tidak pantas seorang sopir menatap majikan dengan intens seperti ini. Apa belum pernah melihat perawan tua sepertiku?” tantang Rani mulai merasa kesal dengan pria blasteran Irlandia yang ada di hadapannya saat ini.
“Usia kita tidak terlalu jauh, nona. Wajar saja, siapapun yang melihat anda pasti akan siap untuk menerkam. Bahkan, seekor keledai sekalipun,” ucap Jamie dengan senyum miring yang ia sunggingkan di bibirnya
“Ji, mulai besok, jadikan bule miskin ini sopir baru gue!” ucap Rani yang mulai terpancing
“Wow, dengan senang hati, nona Ratu,” ucap Jamie kegirangan
“Masa muda jangan kau habiskan hanya dengan berfikir kotor. Kerja yang rajin, maka gajimu akan aku naikkan dua kali lipat dalam waktu satu minggu,” ucap Rani penuh penekanan.
“Gue duluan!” lanjutnya dan meninggalkan dua lembar uang kertas seratus ribu rupiah di dekat gelas kosongnya.
Ia berjalan anggun menuju parkiran mobil. Meninggalkan tiga pasang mata yang hanya menatap punggung dan lenggok jalannya yang menggunakan gaun mini di atas lutut, berwarna hitam dan tanpa lengan. Berpadu dengan high hill enam belas senti meter berwana merah yang menunjang kaki indahnya.
Rambutnya yang panjang hitam ia biarkan berkibar menutupi punggung putih dan halus miliknya. Tangan kanannya yang halus ia biarkan menjadi sanggahan tas branded berwarna coklat miliknya.
“Damn, guys. Sahabat lu itu udah kayak batu es. Hampir beku gue di buatnya,” ucap Jamie yang matanya tak dapat lepas dari Rani yang masih dapat ia lihat.
“Gue udah bilang, kan. Dia itu susah di taklukin. Elu, lagi. Pake nerima aja di suruh jadi sopirnya dia. Bakal mampus lu di buatnya. Dan gue yakin, lu nggak akan bisa tahan lama. Apa lagi satu minggu Jamie, satu minggu!" jelas Jihan dengan tatapan pasti
“Tenang, Ji. Gue udah bicara sama Mamanya Rani. Bahkan, gue udah ngelamar nih cewek,” ucap Jamie sembari memutar – mutar gelas kosong yang isinya sudah dia habiskan.
“Serius, lo?” Teriak Arka dan Jihan yang sama – sama terkejut di buatnya.
“Ya, sebelum elu ngenalin kita, gue udah jatuh cinta duluan sama dia. Dan bersyukur, Arka sebagai sahabat alias majikan gue mau ngawinin elu. Mungkin inilah awal mula kisah kami,” Jamie mencium gelas dimana bekas bibir Rani pernah mendarat di sana
***
“Ma, aku ke kantor, ya, jangan lupa minum obatnya!” Ucap Rani dan mendaratkan ciuman di kening, juga pipi kanan kiri sang Mama yang masih duduk di meja makan
“Kamu kebiasaan, deh. Makan dulu, sayang. Kamu itu suka nggak makan kalau udah di depan laptop. Ayo, sini Mama suapin,” pinta wanita yang wajahnya sudah hampir penuh dengan kerutan
Rani dengan terpaksa menuruti kehendak sang Mama dan duduk di hadapan Mamanya.
Ia membuka mulutnya dan menerima suapan pertama dari Mama tercinta.
Rani membulatkan kedua matanya ketika suapan itu berhasil memenuhi mulutnya yang mungil. Namun, sang Mama malah tertawa melihat putri semata wayang yang selalu ia anggap gadis kecilnya mengembung – ngembungkan pipinya. Ranipun ikut tertawa bersama sang Mama.
Ia tatap wajah tua wanita yang telah melahirkannya. Ia baru menyadari, wajah Mamanya sudah tidak muda lagi walaupun kecantikannya masih sangat jelas di wajahnya,
“Ma, maafin aku, ya,” ucap Rani setelah meneguk air minum untuk melancarkan makanan yang masuk ke dalam tenggorokannya
“Maaf kenapa?” wanita itu mengusap bibir Rani yang menyisakan makanan di pinggirnya
“Aku belum bisa pake baju pengantin yang Papa buat,” ucapnya lagi, kali ini ia tidak berani menatap kerutan wajah Mamanya
“Coba sini, mama mau peluk putri kecil mama dulu.
Nak, masa lalu memang tidak bisa kita lupakan begitu saja. Tapi, masa lalu bisa menjadi pelajaran untuk kita kedepannya. Rey yang udah nyakitin kamu, bukan berarti semua laki – laki sama seperti dia. Buktinya, papa kamu berdiri sendiri tanpa harta yang banyak ketika menikahi Mama. Berkat cintalah kamu bisa memiliki semua ini, sayang. Dan kamu harus yakin, di luar sana sudah ada pria yang nungguin kamu, yang beneran sayang sama kamu dan bisa ngelindungi kamu,” Rani mulai terlihat cengeng di dalam pelukan Mamanya.Tidak ada cinta yang tulus selain cinta Papanya terhadap sang Mama, itulah pendapat Rani yang selalu ia pegang teguh selama ini.
Rani menerawang ke masa lalu yang mengubah pandangannya terhadap cinta seperti saat ini.
Ia mengingat bagai mana dulu sebelum akhir masa kuliahnya, ia pernah jatuh cinta dengan senior kampusnya yang sangat cuek dan selalu di kelilingi wanita murahan yang siap jika di ajak tidur. Namun, pria itu tidak pernah mengencani siapapun.
Senior kampusnya ini masih sering datang ke kampus di mana Rani menuntut ilmu hanya untuk berkumpul bersama teman - temannya setiap jam tiga sore. Entah hanya alasan, atau memang hanya ingin menjadi pusat perhatian wanita - wanita yang selalu menggilainya.
Rani selalu menyempatkan diri hanya untuk melihat pria pujaannya bermain basket. Ia selalu memasang wajah manis hanya di hadapan pria pujaannya, Rey.
Rey bukanlah pria sembarangan. Ayahnya adalah seorang pengusaha tekstil yang cukup sukses di Inggris. Namun, perusahaan ayah Rey mengalami penurunan. Usahanya anjlok dan banyak pegawai yang di PHK.
“Hai!" sapa Rani saat berhadapan dengan Rey, pria dingin yang menggetarkan hatinya
“Kenapa? Sama seperti gadis lainnya? Mau cari perhatian?” jawabnya ketus
Rani tak menduga, pria pujaan yang ia kagumi selama ini menjawab sapaan pertamanya dengan sangat ketus. Namun, Rani tetap penasaran apa tanggapan Rey setelah ia melanjutkan ucapannya
“Tapi, aku nggak sama kayak mereka. Aku cinta sama kamu. Cinta aku bukan karena …” Rani menggantung ucapannya saat Rey berbalik dan menatapnya tajam.
Tubuh kekar lelaki asli Inggris ini membuatnya ciut dan sedikit takut.“Apa yang bisa kamu berikan selain cinta? Harta? Siapa orang tua kamu sehingga dengan mudahnya mengucapkan kata cinta kepadaku? Cinta tidak akan cukup ketika kamu kekurangan harta,” tukas Rey yang kemudian meninggalkan Rani sendirian, berdiri di tengah lapangan basket, di tonton oleh beberapa sahabat Rey juga beberapa mahasiswa yang lain, dan sepasang mata yang selalu mengikuti Rani tanpa ia sadari.
“Pa, bantuin Rani, ya. Rani mau kasih modal ke perusahaan tekstil temen Rani, please, Pa,” rengek gadis dua puluh dua tahun itu
Sanjaya yang baik hati, meng-iya-kan keinginan putri semata wayangnya yang masih tinggal di negeri orang. Ia takut, jika kehendak sang putri tidak di kabulkan, maka tidak akan ada yang mau menjadi temannya.
“Ya, sayang. Anything for you princessnya Papa,” ucap nya kala itu
Esoknya, Rani langsung menemui Rey di lapangan tempat ia di permalukan kemarin. Ia ingin membuktikan kepada Rey, bahwa ia bisa mengabulkan apapun keinginan pria idamannya ini.
Berdasarkan berita yang ia tonton, perusahaan ayahnya Rey sedang mengalami penurunan. Dan, Rani ingin menjadi pahlawan di mata Rey.
“Aku tidak akan pernah mau menerima belas kasihan dari siapapun. Kami bukan pengemis!” ucap Rey angkuh membawa bola basket di tangannya dan hendak meninggalkan Rani
“Tapi, ini sebagai bukti bahwa aku bisa ngabulin permintaan kamu. Aku tau, perusahaan ayah kamu lagi bermaslah, kan?” Rani menebalkan malu
“Baiklah, jika kamu bisa membuktikan perkataanmu, maka sekarang, buka kedua kancing atas bajumu, sekarang!” tantang pria tinggi putih di hadapan Rani dengan penuh penekanan.
Rani menahan malu, namun ia tetap harus membuktikan keseriusannya kepada Rey. Perlahan, ia buka kancing bajunya yang paling atas. Ia tampak ragu, namun ia harus melakukannya.
Kemudian, ia lanjutkan dengan kancing baju yang kedua.
“Bagus, lanjutkan! Buka semuanya di sini!” pinta lelaki itu lagi,
Rani menelan salivanya. Ia melanjutkan untuk membuka kancing bajunya dan berusaha menahan tangisnya. Hingga ia sampai pada kancing terakhir, seseorang menutupi tubuh mungil Rani.
“Hentikan!” pria tinggi bermata biru memegang tangan Rani yang sudah di basahi air mata
“Tinggalkan pria bajingan itu. Ayo pergi!” ajak pria yang berhasil melindungi tubuh Rani dari tontonan mahasiswa yang ada di lapangan itu.
Rani masuk ke kamar mandi dengan isakan yang tertahan. Ia benci dengan Rey yang bukannya membalas cinta Rani, malah mempermalukannya. Ia tidak memperdulikan pria yang sudah menolongnya. Saat ini, semua pria sama saja di mata Rani. Ia menangis di hadapan cermin besar yang ada di kamar mandi kampusnya,
“Semua laki – laki jahat. Aku nggak akan pernah mau ketemu sama pria itu lagi, nggak akan pernah!" Rani berteriak menangisi dirinya.
Saat ini, Rani masih menitikan air mata yang membasahi bahu Mamanya langsung tersadar, ada sepasang mata yang sedang menatapnya. Pria itu berdiri memandangnya pilu, seakan – akan mengerti kisah Rani saat ini,
“Jamie? Kamu? Lancang sekali! Ma, dia supir aku yang baru. Aku pergi, ya,” ucap Rani menutupi buliran bening yang membasahi pipinya
“Maaf, nona, apa kita sudah siap ke kantor?” Jamie bersuara
“I hate coming late!” Rani melewati sang sopir bule dengan angkuh sembari mengusap pipi dan hidungnya yang masih basah.
“Permisi, nyonya besar,” ucap Jamie pamit kepada wanita yang sudah berhasil mendampingi Sanjaya Hussain sampai akhir hayatnya dengan senyuman hangat, dan di balas dengan senyum serta anggukan pelan dari wanita yang terlihat guratan usia di wajahnya.
Bersambung …
Jamie memperhatikan Rani yang duduk di kursi belakang saat ia sudah menjalankan pekerjaan terbarunya, supir pribadi Rani.Ia melihat kerapuhan di wajah lembut wanita yang saat ini sedang menggunakan blazer hitam, senada dengan mini skirt yang tengah ia pakai.Ia menatap wanita judes itu sekilas melalui kaca mobil yang sengaja ia arahkan kepada Rani.Jamie melihat buliran bening masih saja membasahi pipi mulus sang pemilik mobil yang sedang ia kendarai, dengan mimik wajah yang juga mengkhawatirkan wanita di belakangnya.“Bisakah menyopir mobil dengan konsentrasi penuh tanpa melihat ke arah lain?” ucap Rani ketus dengan suara yang serak. Ia sadar Jamie menatapnya sejak baru memasuki mobil.“Maaf? Apa anda sedang bicara dengan saya?” Jamie beralasan“Kalau masih mau kerja dan hidup enak di ne
“Papaaa!!!” teriak Rani ketika ia baru sadar dari pingsannya setelah dua hari pasca kecelakaan maut yang ia alami.“Sayang, ini mama, nak!” ucap wanita yang selalu ada untuk gadis dewasa itu.“Ma, mama Rani di mana ini, ma? Kenapa ..., kenapa lampu di sini mati, ma? Hei, listrik udah kalian bayar, kan? Ma, kenapa kantor aku gelap? Ji, Jihan! Jihan ke sini kamu!” Rani bingung, ia masih belum menyadari bahwa dirinya masih di atas bed rumah sakit.“Sayang, kita tidak sedang di kantor,” ucap sang Mama dengan nada pilu dan mata yang sembab“Kita dimana, ma?” Rani meraba tangan kanannya yang masih tertusuk jarum impus. Ia meraba tiang yang ada di sampingnya, memegang setiap benda yang ada di sekitarnya, memegang tubuhnya yang sudah tidak menggunakan blazer dan mini skirt seperti biasanya.“Ma ...,” Rani shock. Ia masih tidak perca
“Satu hal yang gue yakini lo sangat mencintai Rani adalah, dengan cara lo berani ngelamar dia di depan mamanya sebagai mana cerita lu dan Mamanya Rani. Tapi, apa lu beneran mau nikahin dia, Jam? Lu tau kan keadaan dia sekarang? Dia stres, Jam. Bahkan, gue ngeliatnya kayak bukan Rani yang gue tau,” ucap Jihan dengan mata yang juga mulai membasah“Ji, anything. Apapun akan aku lakuin buat Rani asalkan dia bahagia and, aku akan terus That’s it,” ucap Jamie pasti“Jam, benar, keinginan Papanya Rani adalah melihatnya menikah dan mengenakan gaun pengantin yang sudah ia rancang. Tapi, keinginannya yang paling penting adalah, Rani menikah dengan orang yang seiman dengan keluarganya,” Jihan tampak ragu“Jadi? Apa aku keberatan?” Jamie merasa Jihan meragukannya“Nikahi Rani, Jam!” Jihan mengucapkannya dengan wajah menerawang. Ia yakin, Rani akan bahagia bersama Jamie yang sangat mencintainya.
"Gue aja nggak tau, Jam. Tadi gue telepon temen gue yang punya rumah sakit ini. Udah gue jelasin semua, dan dia nyuruh gue tunggu di depan ruangan dokter Rian. Gue aja nggak tau kalau dokter Rian ini maksudnya Riana Martha. Tapi tadi dia bilang dokter Rian itu udah kayak bapaknya," Arka berusaha menjelaskan kepada Jamie yang juga membaca name tag di dada sebelah kanan dokter Riana, dengan mulut yang sedikit terkunci dan gigi yang cukup rapat, saat keduanya masih mematung di hadapan suster cantik bertubuh mungil."Ah, suster. Saya mau tanya, apa ada dokter khitan yang laki - laki aja, ya?" tanya Arka menutupi ketakutan Jamie"Anda pak Arka, kan? Silahkan masuk terlebih dahulu biar nanti dokter Martha aja yang jelasin," perawat itu berucap begitu ramah"Ba - baiklah, terima kasih." Arka mengkodei Jamie agar mengikutinya masuk ke dalam ruangan dokter Martha"I will kill you!" bisik Jamie menyatukan g
Setelah alat yang terbuat dari logam titanium itu melekat erat di area kulit kepala kemaluan Jamie, yang dipotong dengan jarak rapat dan lepas secara bertahap di hari ke empat belas setelah sunat seiring tumbuhnya jaringan baru dan luka sunat mengering, Jamie sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di hadapan Rani yang sudah lebih dari dua minggu pulang dari rumah sakit.Selama pemulihan, Jamie membaca buku - buku panduan sholat, belajar mengaji hingga melatih dirinya untuk berpuasa sunnah.Dan pasca sembuhnya Jamie dari sedikit pembuangan bagian penting tubuhnya, dengan bimbingan ustadz Muhammad dan beberapa saksi, ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Meng- Islamkan dirinya sebagai mana keinginan hatinya.Tanpa paksaan dan tujuan lain. Ia semata - mata hanya ingin menentukan arah hidupnya ag
Kehadiran Jamie dan Arka yang di temani ustadz Muhammad di sambut ramah oleh Mamanya Rani, yang di dampingi oleh orang tua Jihan.Ustadz Muhammad lebih dominan dalam lamaran malam ini.Ia menjelaskan, bahwa Jamie sudah menjadi saudara sesama Muslim."Nak Jamie, ada baiknya orang tua mu hadir di sini. Untuk menyaksikan acara sakral ini. Karena, orang tua manapun akan bahagia melihat anaknya bahagia. Dan sejatinya, menikah itu bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang saling mencintai, melainkan juga untuk menyatukan dua keluarga hingga tercipta keluarga besar yang bahagia," jelas Cahaya dengan lembut agar ia bisa bertemu langsung dengan calon besannya."Jika itu adalah syarat untuk menikahi Rani, maka akan saya lakukan." jawabnya pastiSemua orang tampak bahagia. Namun, tidak dengan seseorang yang sedang berdi
Rani masih berbaring di ranjang king size miliknya.Sedangkan Cahaya yang selalu ada untuk putrinya ini, tak pernah meninggalkan kamar anak gadisnya sedetikpun.Bahkan, Jihan selalu setia mengingatkan asisten rumah tangga untuk memberikan makanan dan obat wanita yang kini wajahnya tampak begitu lelah demi menjaga buah cintanya."Andaikan Sanjaya masih hidup, mungkin kekuatanku akan bertambah." gumamnya yang tanpa sadar, ada sepasang mata sedang memperhatikannya.Jamie berdiri di dekat pintu besar kamar tidur Rani. Ia memandang wanita yang sangat di kasihinya ini dengan tatapan iba."Rani butuh ketenangan hati, sembari menanti kabar dari rumah sakit Sri Lanka, jangan biarkan ia merasakan traumanya lagi. Jika ia sudah bisa lengah dari traumanya, maka hatinya akan lebih tenang," Jamie teringat ucapan dokter Firdaus via telepon kemarin"Jamie?"
Dengan tetap menempelkan bibirnya ke bibir Rani, membuat sesuatu dari dalam celana Jamie seperti mengeras.Ia menekan kepala Rani agar tak menjauh dari dirinya.Sedetikpun tak ia biarkan wanita itu mengambil nafas secara teratur.Kemudin, ia membuka kedua bola matanya.Ia mendapati Rani yang masih tersenyum simpul dan memanggil namanya.Jamie yang tadinya memejamkan matanya tersadar dari lamunannya. Ia merasa, ada sesuatu yang membasahi celananya dan membuatnya panik, takut ada yang melihatnya."Yusuf? Kamu masih di sana, kan?" Rani memastikan"Ah, eh i ... ah hmm," Jamie hampir saja mengeluarkan suara, membuat Rani sedikit curiga dengan kegugupan Jamie yang seperti sedang menutupi sesuatu"Tau, nggak, suara kamu itu mirip suara seseorang." Rani menerawang jauh ketika J