Jamie memperhatikan Rani yang duduk di kursi belakang saat ia sudah menjalankan pekerjaan terbarunya, supir pribadi Rani.
Ia melihat kerapuhan di wajah lembut wanita yang saat ini sedang menggunakan blazer hitam, senada dengan mini skirt yang tengah ia pakai.
Ia menatap wanita judes itu sekilas melalui kaca mobil yang sengaja ia arahkan kepada Rani.
Jamie melihat buliran bening masih saja membasahi pipi mulus sang pemilik mobil yang sedang ia kendarai, dengan mimik wajah yang juga mengkhawatirkan wanita di belakangnya.
“Bisakah menyopir mobil dengan konsentrasi penuh tanpa melihat ke arah lain?” ucap Rani ketus dengan suara yang serak. Ia sadar Jamie menatapnya sejak baru memasuki mobil.
“Maaf? Apa anda sedang bicara dengan saya?” Jamie beralasan
“Kalau masih mau kerja dan hidup enak di negara orang, kerja yang bener. Jangan ikut campur urusan pribadi majikan, apalagi bersikap sok pahlawan. Dan ingat, jika orang lain tau bahwa seorang Rani menangisi pria, maka kau akan kehilangan pekerjaan, bahkan tidak akan ada yang mau menerima mu, sekalipun hanya menjadi pengantar makanan!” ancamnya agar Jamie tidak menceritakan kelemahannya kepada orang lain.
“Tenang, paduka ratu. Rahasia aman di tangan saya,”ucap Jamie dengan nada pasti sembari merapatkan bibir tipisnya.
Pria bule itu menghentikan mobil tepat di depan pintu kaca dengan lambang SG, Sanjaya Group.
“Ji, hari ini batalin dulu semua rapat sama klien. Gue nggak enak badan. Lagi nggak mood ketemu orang – orang. Gue mau sendirian dulu,” ucap Rani saat Jihan memasuki ruangannya dengan setumpuk map warna warni sebagai bahan rapat yang telah di rencanakan hari ini.
“Baiklah, tapi untuk besok tidak dapat di tunda, loh. Ingat, besok kita akan ke Jepang buat ngeresmiin pembukaan cabang baru di sana,” Jihan mengingatkan. Rani hanya menekan batang hidungnya tanda frustasi. Ia benar – benar sudah bosan dengan rutinitas seperti ini setiap harinya. Ia butuh ketenangan, dan ia hanya ingin sendiri saat ini.
“Ji, gue keluar bentar, ya, gue lagi bener – bener nggak mood,” ucapnya kemudian meninggalkan ruangan dan hanya membawa tas tangan.
“Lo mau kemana?” Jihan mengekori Rani yang sedikit tidak memperdulikannya.
Saat di lobby, ia bertemu dengan Jamie yang menebar senyum di hadapan semua orang. Ia kaget melihat Rani yang tampak memasang wajah tak enak.“Heh, sopir. Sini kunci mobil!” ucapnya dengan angkuh
“Ran, dia punya nama,” bisik Jihan
“Siapa nama kamu? Ah, sudah lah, siapkan mobil!” perintahnya
“Siap, paduka ratu,” jawab Jamie yang segera menuju parkiran khusus dan menyiapkan mobil untuk Rani
“Ji, hari ini gue lagi nggak mau di ganggu ama siapa aja termasuk kerjaan, ya. Please lu handle semuanya, gue mau pergi bentar. Kalau mood gue dah balik, gue kabarin,” ucapnya seraya meninggalkan sahabatnya yang masih menatapnya pilu,
“Ayo, nona, kita berangkat!” sopir bule itu dengan santai membunyikan klakson
“Minggir, biar gue yang bawa mobil, lu nggak usah ngikut!” Rani berdiri di dekat pintu kemudi
“Tapi nona, saya adalah sopir anda, saya harus membawa anda kemana saja. Oh, baiklah, saya duduk di samping nona? Begitu?” canda Jamie berusaha mengembalikan mood Rani yang benar – benar belum bisa di kembalikan saat ini
“Saya tidak suka mengulangi kalimat apapun yang sudah di ucapkan,” ucap Rani tegas seraya menduduki kursi kemudi, menggantikan Jamie yang segera keluar dari mobil sport asal Inggris, Bentley Continental GT V8 S, dengan warna Dragon Red.
“Nona, ada baiknya dengan mood anda saat ini di temani seorang sopir seperti saya, no ... nona!” Jamie tidak bisa melanjutkan bujuk rayunya, sang majikan sudah membanting pintu mobil dengan keras dan pergi meninggalkannya yang masih berdiri memandang flat mobil yang sudah hampir tidak terlihat.
Ia melihat Jihan dan mengangkat kedua bahunya. Dan tertunduk lesu hingga di hampiri oleh wanita berambut panjang dan lurus itu.
“Sabar, Jam. Rani emang suka gitu. Dia, kalau lagi nggak mood, pasti kebut – kebutan di jalanan. Nanti juga pulang lagi sendiri. Sebenernya dia itu butuh temen curhat, sih kalau kata gue. Tapi sayang, dia bukan tipe orang terbuka. Cerita sama Mamanya, takut malah nambahi kesusahan Mama-nya yang sering sakit – sakitan, lagi,” jelas Jihan menepuk bahu kanan Jamie yang mendengarkan ucapan calon istri sahabatnya ini.
“Dia biasanya berapa lama begini?” tanya Jamie khawatir
“Entah, pernah juga ampe malem. Bnetar lagi nyokabnya pasti nanyain gue. Tuh, kan, hp gue bunyi, bentar, ya,” Jihan segera menerima panggilan ibunya Rani
“Halo, tante? Iya, baru aja dia pergi. Biasa, dia nggak pernah bilang mau kemana. Ya, begitulah. Oke, nanti Jihan kabarin, ya. Oke. Iya, tante, bye,” Jihan segera memutuskan panggilan.
“Jam, menurut gue, lu susul dia aja. Kata nyokabnya, Rani udah lama nggak nangis sesenggukan kayak tadi. Oh, iya, Emang dia nangis?” Tanya Jihan. Dan Jamie hanya mengangkat kedua alisnya.
“Udah gue duga, pasti dia nangisin cowok yang pernah nolak dia. Udah, lu pake mobil gue aja. Ini kuncinya!" Jihan menyerahkan kunci ke tangan Jamie, dan pria tinggi itu langsung meninggalkan Jihan yang masih memegang map di tangan kirinya.
Sementara itu, Rani terus menekan gas di kakinya, di iringi tangisnya yang pecah. Ia kesal, kenapa ia bisa di tolak? Kenapa Papanya dengan merendahkan harga diri mau saja mendatangi orang tua Rey dan di tolak mentah – mentah oleh Rey sendiri.
“Pa, kalau Rani nggak minta yang aneh – aneh, pasti Papa masih di sini. Masih duduk di sebelah Rani. Gara – gara pria bajingan itu papa jadi sering sakit,” Rani berbicara dalam tangisnya
Ia ingat ketika sang Papa mendengar kabar bahwa Rani di tolak bahkan di permalukan di lapangan basket. Papanya langsung terbang ke Inggris menemui orang tua Rey dan siap memberikan dana berapa saja asalkan Rey mau menjadi kekasihnya Rani.
“Maaf, tuan Hussain, saya sangat senang bahwa anda bisa membantu perusahaan ini. Namun, saya tidak bisa memberikan jawaban. Putra kamilah yang berhak memutuskan,” ucap pria yang usianya tak jauh dari Sanjaya.
“Katakan kepada putri anda! Tolong, tolong jangan pernah berharap saya akan menjadi miliknya. Saya tidak akan pernah bisa menjadi miliknya sampai kapanpun!" jawab Rey yang saat itu baru saja pulang
“Tapi, nak. Coba pertimbangkan lagi tawaran saya. Saya hanya ingin putri saya bahagia,” ucap Sanjaya tampak mengemis
Rey berlalu, meninggalkan Sanjaya yang menunduk dan memasang wajah kecewa. Ia beralih menatap orang tua Rey yang juga tak berdaya
“Sorry, tuan Hussain,” tutup ayah Rey, dengan wajah penuh sesal.
Sanjaya pergi dengan rasa kecewa. Ia berfikir, anak gadisnya akan terus – terusan murung dan tidak mau melakukan apapun. Ia akan menyakiti dirinya sendiri, hingga kemauannya di kabulkan.
Namun, fikiran Sanjaya ternyata tidak terjadi sepenuhnya. Rani memang selalu tampak murung dan malas melakukan apapun kecuali belajar dan belajar.
“Kamu jangan banyak gerak dulu, dokter bilang kamu harus banyak istirhat,” ucap wanita yang selalu ada untuk Sanjaya
“Aku tidak mau melakukan apapun termasuk meminum obat – obatan ini, sama seperti Rani yang tidak mau melakukan apapun,” Sanjaya bertingkah seperti anak kecil
“Kamu jangan ngomong begitu, dong. Aku yang susah di sini,” keluh wanita yang kecantikannya masih terlihat jelas walaupun sudah di tumbuhi rambut putih di kepalanya
“Dia tidak menghukum dirinya, tapi dia menghukum kita. Apa gunanya kita sebagai orang tua, mencarikan segala isi dunia hanya untuk dia, namun pada akhirnya kita tetap tidak bisa membahagiakan dia, iya, kan?” laki – laki paruh baya itu tampak menerawang jauh. Ia tidak menyadari, bahwa Rani mendengarkan obrolan suami istri itu dari balik pintu rumah sakit.
Ia menangis sembari membawa sertifikat kelulusan yang menyatakan bahwa dirinya adalah mahasiswa summa cumlaude. Ia masih mengenakan jubah dan perlengkapan wisuda lainnya, karena hari itu adalah hari wisuda Rani yang orang tuanya tidak bisa menghadiri.
“Papa, Rani benci sama diri Rani sendiri. Benci, benci, benciii,” Rani yang saat ini masih menerawang ke masa lalu di dalam mobil mewahnya, sama sekali tidak menginjak rem. Ia terus saja melajukan mobilnya sembari memaki diri.
Hingga ia panik ketika ada truk oleng bermuatan melebihi kapasitas sedang berhadapan dengan mobil mewahnya, dan Rani tidak bisa menjaga keseimbangan mobilnya.Bersambung ...
“Papaaa!!!” teriak Rani ketika ia baru sadar dari pingsannya setelah dua hari pasca kecelakaan maut yang ia alami.“Sayang, ini mama, nak!” ucap wanita yang selalu ada untuk gadis dewasa itu.“Ma, mama Rani di mana ini, ma? Kenapa ..., kenapa lampu di sini mati, ma? Hei, listrik udah kalian bayar, kan? Ma, kenapa kantor aku gelap? Ji, Jihan! Jihan ke sini kamu!” Rani bingung, ia masih belum menyadari bahwa dirinya masih di atas bed rumah sakit.“Sayang, kita tidak sedang di kantor,” ucap sang Mama dengan nada pilu dan mata yang sembab“Kita dimana, ma?” Rani meraba tangan kanannya yang masih tertusuk jarum impus. Ia meraba tiang yang ada di sampingnya, memegang setiap benda yang ada di sekitarnya, memegang tubuhnya yang sudah tidak menggunakan blazer dan mini skirt seperti biasanya.“Ma ...,” Rani shock. Ia masih tidak perca
“Satu hal yang gue yakini lo sangat mencintai Rani adalah, dengan cara lo berani ngelamar dia di depan mamanya sebagai mana cerita lu dan Mamanya Rani. Tapi, apa lu beneran mau nikahin dia, Jam? Lu tau kan keadaan dia sekarang? Dia stres, Jam. Bahkan, gue ngeliatnya kayak bukan Rani yang gue tau,” ucap Jihan dengan mata yang juga mulai membasah“Ji, anything. Apapun akan aku lakuin buat Rani asalkan dia bahagia and, aku akan terus That’s it,” ucap Jamie pasti“Jam, benar, keinginan Papanya Rani adalah melihatnya menikah dan mengenakan gaun pengantin yang sudah ia rancang. Tapi, keinginannya yang paling penting adalah, Rani menikah dengan orang yang seiman dengan keluarganya,” Jihan tampak ragu“Jadi? Apa aku keberatan?” Jamie merasa Jihan meragukannya“Nikahi Rani, Jam!” Jihan mengucapkannya dengan wajah menerawang. Ia yakin, Rani akan bahagia bersama Jamie yang sangat mencintainya.
"Gue aja nggak tau, Jam. Tadi gue telepon temen gue yang punya rumah sakit ini. Udah gue jelasin semua, dan dia nyuruh gue tunggu di depan ruangan dokter Rian. Gue aja nggak tau kalau dokter Rian ini maksudnya Riana Martha. Tapi tadi dia bilang dokter Rian itu udah kayak bapaknya," Arka berusaha menjelaskan kepada Jamie yang juga membaca name tag di dada sebelah kanan dokter Riana, dengan mulut yang sedikit terkunci dan gigi yang cukup rapat, saat keduanya masih mematung di hadapan suster cantik bertubuh mungil."Ah, suster. Saya mau tanya, apa ada dokter khitan yang laki - laki aja, ya?" tanya Arka menutupi ketakutan Jamie"Anda pak Arka, kan? Silahkan masuk terlebih dahulu biar nanti dokter Martha aja yang jelasin," perawat itu berucap begitu ramah"Ba - baiklah, terima kasih." Arka mengkodei Jamie agar mengikutinya masuk ke dalam ruangan dokter Martha"I will kill you!" bisik Jamie menyatukan g
Setelah alat yang terbuat dari logam titanium itu melekat erat di area kulit kepala kemaluan Jamie, yang dipotong dengan jarak rapat dan lepas secara bertahap di hari ke empat belas setelah sunat seiring tumbuhnya jaringan baru dan luka sunat mengering, Jamie sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di hadapan Rani yang sudah lebih dari dua minggu pulang dari rumah sakit.Selama pemulihan, Jamie membaca buku - buku panduan sholat, belajar mengaji hingga melatih dirinya untuk berpuasa sunnah.Dan pasca sembuhnya Jamie dari sedikit pembuangan bagian penting tubuhnya, dengan bimbingan ustadz Muhammad dan beberapa saksi, ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Meng- Islamkan dirinya sebagai mana keinginan hatinya.Tanpa paksaan dan tujuan lain. Ia semata - mata hanya ingin menentukan arah hidupnya ag
Kehadiran Jamie dan Arka yang di temani ustadz Muhammad di sambut ramah oleh Mamanya Rani, yang di dampingi oleh orang tua Jihan.Ustadz Muhammad lebih dominan dalam lamaran malam ini.Ia menjelaskan, bahwa Jamie sudah menjadi saudara sesama Muslim."Nak Jamie, ada baiknya orang tua mu hadir di sini. Untuk menyaksikan acara sakral ini. Karena, orang tua manapun akan bahagia melihat anaknya bahagia. Dan sejatinya, menikah itu bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang saling mencintai, melainkan juga untuk menyatukan dua keluarga hingga tercipta keluarga besar yang bahagia," jelas Cahaya dengan lembut agar ia bisa bertemu langsung dengan calon besannya."Jika itu adalah syarat untuk menikahi Rani, maka akan saya lakukan." jawabnya pastiSemua orang tampak bahagia. Namun, tidak dengan seseorang yang sedang berdi
Rani masih berbaring di ranjang king size miliknya.Sedangkan Cahaya yang selalu ada untuk putrinya ini, tak pernah meninggalkan kamar anak gadisnya sedetikpun.Bahkan, Jihan selalu setia mengingatkan asisten rumah tangga untuk memberikan makanan dan obat wanita yang kini wajahnya tampak begitu lelah demi menjaga buah cintanya."Andaikan Sanjaya masih hidup, mungkin kekuatanku akan bertambah." gumamnya yang tanpa sadar, ada sepasang mata sedang memperhatikannya.Jamie berdiri di dekat pintu besar kamar tidur Rani. Ia memandang wanita yang sangat di kasihinya ini dengan tatapan iba."Rani butuh ketenangan hati, sembari menanti kabar dari rumah sakit Sri Lanka, jangan biarkan ia merasakan traumanya lagi. Jika ia sudah bisa lengah dari traumanya, maka hatinya akan lebih tenang," Jamie teringat ucapan dokter Firdaus via telepon kemarin"Jamie?"
Dengan tetap menempelkan bibirnya ke bibir Rani, membuat sesuatu dari dalam celana Jamie seperti mengeras.Ia menekan kepala Rani agar tak menjauh dari dirinya.Sedetikpun tak ia biarkan wanita itu mengambil nafas secara teratur.Kemudin, ia membuka kedua bola matanya.Ia mendapati Rani yang masih tersenyum simpul dan memanggil namanya.Jamie yang tadinya memejamkan matanya tersadar dari lamunannya. Ia merasa, ada sesuatu yang membasahi celananya dan membuatnya panik, takut ada yang melihatnya."Yusuf? Kamu masih di sana, kan?" Rani memastikan"Ah, eh i ... ah hmm," Jamie hampir saja mengeluarkan suara, membuat Rani sedikit curiga dengan kegugupan Jamie yang seperti sedang menutupi sesuatu"Tau, nggak, suara kamu itu mirip suara seseorang." Rani menerawang jauh ketika J
"Mama ...," lagi, suara Rani tampak histeris"Ada apa, sayang? Mama di sini, nak." Tubuh Cahaya langsung merengkuh putrinya yang saat ini seperti kehilangan arah"Ma, kenapa ... kenapa di sini semakin gelap? Kenapa ... kenapa Rani jadi kayak orang buta beneran?" Rani terlihat takut, nafasnya tak beraturan, ia memeluk ibunya begitu erat, takut wanita yang telah melahirkannya ini akan meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti ini."Tenang, sayang, tenang. Mama di sini," Cahaya memeluk putrinyaJamie dengan sigap pergi ke bawah dan menghubungi dokter Firdaus agar segera datang."Mama. Ada sesuatu yang ingin Rani tanyakan," tanya Rani serius"Ada apa, sayang?" Cahaya tampak bingung karena Rani berubah begitu cepat.&n