Setelah alat yang terbuat dari logam titanium itu melekat erat di area kulit kepala kemaluan Jamie, yang dipotong dengan jarak rapat dan lepas secara bertahap di hari ke empat belas setelah sunat seiring tumbuhnya jaringan baru dan luka sunat mengering, Jamie sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di hadapan Rani yang sudah lebih dari dua minggu pulang dari rumah sakit.
Selama pemulihan, Jamie membaca buku - buku panduan sholat, belajar mengaji hingga melatih dirinya untuk berpuasa sunnah.
Dan pasca sembuhnya Jamie dari sedikit pembuangan bagian penting tubuhnya, dengan bimbingan ustadz Muhammad dan beberapa saksi, ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Meng- Islamkan dirinya sebagai mana keinginan hatinya.
Tanpa paksaan dan tujuan lain. Ia semata - mata hanya ingin menentukan arah hidupnya agar lebih baik, yaitu menjadikan dirinya sebagai pengikut Baginda Rasulullah.
Jamie semakin memantapkan dirinya untuk menjadi seseorang yang sangat pantas untuk wanita pujaannya.
"Jam, gue yakin, Rani bakal cinta mati sama lu. Dia nggak akan nolak lu karena udah nggak ada alasan lagi," ucap Arka yang juga merupakan salah satu saksi perjalanan Jamie hingga sampai ke titik ini.
"Do'ain ya, bro. Hari ini, pertama kalinya gue ketemu Rani setelah gue mengubah jati diri gue. Dari Jamie Arthur Cornelius, menjadi Mohammed Yusuf Jamie Arthur Cornelius," ucap Jamie yang sengaja menambah namanya agar menjadi lebih islam karena dirinya sudah bagaikan baru terahir kembali, tanpa harus mengurangi nama sang ayah yang sebenarnya terlalu menyayanginya, hingga lupa meluangkan waktu untuk dirinya.
"Gue ngukur nama lo udah kayak dari Jakarta ke Amsterdam jalan kaki, loh," kekeh Arka
"Sumpah, gue deg - degan. Semoga benar, Rani nggak akan nolak lamaran gue," ucap pria yang saat ini sedang mengenakan kemeja biru yang membentuk tubuh atletisnya.
[Ji, apa lu udah bilang sama ibunya Rani?]Isi pesan yang Jamie kirimkan ke ponsel Jihan
[Tenang, Jam. Apapun yang terjadi, lu akan tetep nikahin Rani]
Balas gadis charming yang selalu mendampingi Rani baik dalam keadaan apapun.
"Ran?" Jihan mendekati Rani yang duduk dan menatap jauh ke luar jendela kamarnya.
"Ran, seandainya ada seseorang yang bisa menjadi imam buat lo, menjadikan elo sebagai makmumnya dan ... dan ia siap menjadikan lo istrinya, mencintai lo apa adanya dan ...," ucapan Jihan terputus karena Rani langsung memotongnya seperti biasa
"Hentikan, Ji! Jangan biarkan perawan tua yang cacat ini mengkhayalkan hal yang tidak mungkin!" pinta Rani dengan wajah memelas
"Mau sampai kapan lo nutup hati begini, Ran? Nggak semua orang jahat, Ran, nggak semua orang bisa nyakitin kayak si Rey!" Selalu, kata - kata itu selalu Jihan lontarkan agar Rani menyadari, bahwa masih banyak pria tulus ada di luar sana, Jamie contohnya.
"Tolong jangan atur hidup gue, Ji! Gue bosen setiap hari elu selalu nuntut gue buat buka hati. Gue bosen, Ji, bosen. Setiap kali gue mau buka hati, saat itu juga otak gue selalu kembali ke masa di mana gue di permaluin. Gimana gue bisa merasakan cinta di saat gue pernah jatuh cinta, namun gue malah mendapatkan diri gue di permaluin begitu? Tidak ada yang lebih menyakitkan dari efek sakit hati gue itu, Ji. Lu nggak tau betapa bodohnya gue saat itu yang sok - sokan galau, hingga bokap gue ... bokap gue ..." isak Rani menyesali kebodohan demi kebodohan yang ia lakukan hingga kehilangan orang yang sangat menyayanginya.
"Ran, maafin gue. Tapi, lu jangan pernah lupa, bahwa sampai detik ini, nyokab lu selalu ada buat lu, Ran. Berikan sedikit kesempatan agar nyokab lu bahagia ngeliat lu. Inget, Ran. Orang tua nggak butuh liat anak banyak harta dan selalu memberikan materi, orang tua butuh kebahagiaan batin juga sebagaimana kita anak - anaknya. Bayangin, ketika orang tua kita terlalu sibuk memberikan materi tanpa perhatian? Itu sama aja bo'ong, kan? Begitu juga orang tua kita, Ran. Walaupun kita satu rumah dengan mereka, apa bila kita nggak pernah ngabisin waktu buat duduk berdua, ngobrolin hal - hal yang nggak penting bersama mereka, harta dan materi yang kita berikan kepada mereka itu sama aja nggak ada artinya. Orang tua kita hanya memasang wajah palsu dengan mengatakan 'ah, nggak apa - apa, kok, kan kamu sibuk'. Ran, itu hanya nenangin hati kamu, Ran. Mereka kesepian!" Jihan mencoba untuk membuka fikiran Rani yang sudah tertutup rapat karena trauma yang ia alami.
"Cukup, Ji. Nggak perlu di jelasin lagi! Lu nggak ada di posisi gue, Ji. Ketemu dengan Arka, laki - laki yang udah siap nikahin elu, wanita mandiri, baik hati, cantik sempurna. Sedangkan gue? Andai lu mau bertukar tempat dengan gue walau hanya sehari doang, lu nggak akan berani ngomong begini, Ji," Rani meringis. Ia tidak dapat membendung air matanya yang sudah sedari tadi tumpah, bagai tak tertampung.
Jihan memeluk sahabat yang sudah ia rasa seperti saudaranya dengan cukup erat.
Ia tahu, bahwa Rani sangat merasakan pedih di relung hatinya yang paling dalam.Andai Rani tahu, bahwa Jamie jauh lebih mencintainya. Yang sudah lama siap meminangnya, menemaninya dan merawatnya ketika ia sakit dan terpuruk seperti sekarang.Bahkan, ia rela melepas agama yang sudah ia peluk sejak lahir, bahkan melakukan hal yang sangat menakutkan bagi setiap pria jika ingin melakukannya untuk yang kesekian kali."Ran, seandainya ada pria yang ...," Lagi, Jihan menggantung ucapannya. Rani mendorong Jihan agar sedikit menjauh darinya
"Tidak mungkin ada pria yang seperti itu," tukas Rani, mencoba mendekati tempat tidurnya dengan meraba dinding
"Ada, Ran. Percayalah, Jamie cinta banget sama lo!" Jihan tak sabar. Ia ungkapkan perasaan yang seharusnya Jamie utarakan langsung.
Sontak, Rani menghentikan langkahnya. Ia cerna ucapan terakhir Jihan yang ia dengar.
Ia sunggingkan cengiran sinis, menandakan bahwa tidak ada yang bersedia menikahi wanita cacat sepertinya dengan tulus."Tolong sampaikan kepadanya. Perusahaan kita sudah tidak membutuhkan pekerja sepertinya. Beri dia pesangon lima kali lipat, dan biarkan ia pergi tanpa harus kembali lagi ke negara ini." Keangkuhan masih menyelimuti relung fikiran Rani
"Bener - bener kamu, ya. Kenapa sih, Ran? Kenapa lu nggak peka?" Jihan meninggikan suaranya
"Karena gue udah mutusin, bahwa gue nggak akan pernah mau nikah! Gue nggak akan pernah mau ninggalin rumah ini demi menikah dan ninggalin Mama. Nggak ada yang bisa gue percaya di dunia ini selain Mama. Bahkan, kepercayaan yang gue berikan ke elu, itu karena mama!" tutup Rani. Ia sampai ke atas tempat tidur mewahnya dan menutupi tubuh indahnya dengan selimut.
"Ran, gimana kalau nyokab lu udah nyetujuin tanggal pernikahan lu?" Jihan melemah, ia mencoba untuk sedikit membuka rencana yang sudah ia susun.
"Gue nggak akan pernah mau ngubah keputusan gue, Ji." jawab Rani dengan suara yang hampir tak terdengar. Ia simpan tubuhnya di dalam selimut tebal yang membuatnya merasa nyaman.
"Sama, gue juga!" Tukas Jihan keluar kamar dan meninggalkan Rani yang tampak datar mendengarkan jawaban sahabat sekaligus sekertaris pribadi, yang selalu mengatur kehidupan pribadi Rani dengan baik.
Jihan mendekati tiga pria yang sudah turun dari mobil yang di sambut oleh Mamanya Rani.
Malam ini, adalah malam di mana Rani resmi di lamar oleh Jamie di hadapan beberapa orang, dan menentukan tanggal pernikahan Rani dan Jamie.
Bersambung ...
Kehadiran Jamie dan Arka yang di temani ustadz Muhammad di sambut ramah oleh Mamanya Rani, yang di dampingi oleh orang tua Jihan.Ustadz Muhammad lebih dominan dalam lamaran malam ini.Ia menjelaskan, bahwa Jamie sudah menjadi saudara sesama Muslim."Nak Jamie, ada baiknya orang tua mu hadir di sini. Untuk menyaksikan acara sakral ini. Karena, orang tua manapun akan bahagia melihat anaknya bahagia. Dan sejatinya, menikah itu bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang saling mencintai, melainkan juga untuk menyatukan dua keluarga hingga tercipta keluarga besar yang bahagia," jelas Cahaya dengan lembut agar ia bisa bertemu langsung dengan calon besannya."Jika itu adalah syarat untuk menikahi Rani, maka akan saya lakukan." jawabnya pastiSemua orang tampak bahagia. Namun, tidak dengan seseorang yang sedang berdi
Rani masih berbaring di ranjang king size miliknya.Sedangkan Cahaya yang selalu ada untuk putrinya ini, tak pernah meninggalkan kamar anak gadisnya sedetikpun.Bahkan, Jihan selalu setia mengingatkan asisten rumah tangga untuk memberikan makanan dan obat wanita yang kini wajahnya tampak begitu lelah demi menjaga buah cintanya."Andaikan Sanjaya masih hidup, mungkin kekuatanku akan bertambah." gumamnya yang tanpa sadar, ada sepasang mata sedang memperhatikannya.Jamie berdiri di dekat pintu besar kamar tidur Rani. Ia memandang wanita yang sangat di kasihinya ini dengan tatapan iba."Rani butuh ketenangan hati, sembari menanti kabar dari rumah sakit Sri Lanka, jangan biarkan ia merasakan traumanya lagi. Jika ia sudah bisa lengah dari traumanya, maka hatinya akan lebih tenang," Jamie teringat ucapan dokter Firdaus via telepon kemarin"Jamie?"
Dengan tetap menempelkan bibirnya ke bibir Rani, membuat sesuatu dari dalam celana Jamie seperti mengeras.Ia menekan kepala Rani agar tak menjauh dari dirinya.Sedetikpun tak ia biarkan wanita itu mengambil nafas secara teratur.Kemudin, ia membuka kedua bola matanya.Ia mendapati Rani yang masih tersenyum simpul dan memanggil namanya.Jamie yang tadinya memejamkan matanya tersadar dari lamunannya. Ia merasa, ada sesuatu yang membasahi celananya dan membuatnya panik, takut ada yang melihatnya."Yusuf? Kamu masih di sana, kan?" Rani memastikan"Ah, eh i ... ah hmm," Jamie hampir saja mengeluarkan suara, membuat Rani sedikit curiga dengan kegugupan Jamie yang seperti sedang menutupi sesuatu"Tau, nggak, suara kamu itu mirip suara seseorang." Rani menerawang jauh ketika J
"Mama ...," lagi, suara Rani tampak histeris"Ada apa, sayang? Mama di sini, nak." Tubuh Cahaya langsung merengkuh putrinya yang saat ini seperti kehilangan arah"Ma, kenapa ... kenapa di sini semakin gelap? Kenapa ... kenapa Rani jadi kayak orang buta beneran?" Rani terlihat takut, nafasnya tak beraturan, ia memeluk ibunya begitu erat, takut wanita yang telah melahirkannya ini akan meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti ini."Tenang, sayang, tenang. Mama di sini," Cahaya memeluk putrinyaJamie dengan sigap pergi ke bawah dan menghubungi dokter Firdaus agar segera datang."Mama. Ada sesuatu yang ingin Rani tanyakan," tanya Rani serius"Ada apa, sayang?" Cahaya tampak bingung karena Rani berubah begitu cepat.&n
"Tidak semudah itu, bung. Mendonorkan kornea mata, itu artinya memberikan separuh hidup anda kepada si penerima. Apa anda siap hidup tanpa dapat melihat?" dokter Firdaus menantang Jamie dengan pertanyaan"I ...," Jamie menjawab ragu"Anda tidak akan bisa melihat, bahkan melindungi istri anda lagi." tukas dokter Firdaus"Tapi, dokter. Apa yang harus ...," Jamie gusar. Ia mengacak rambutnya, menyesali rencana konyol yang ia buat, hanya demi mencari perhatian."Tenang, jika anda siap, besok sore kita akan berangkat ke Sri Lanka, negara pendonor kornea mata terbesar di dunia," tawar dokter Firdaus, yang seakan membuka lebar harapan bagi Jamie, agar istrinya bisa segera melihat kembali."Dokter? Are you serious?" Jamie tampak sumringah"Offcourse, dude. Segala yang telah terjadi adalah sesuatu yang sudah di takdir-kan oleh Tuhan, agar kita dapat menj
"Ma, boleh aku minta sesuatu?" Rani berusaha menggapai sang mama, yang jaraknya berdiri tak jauh dari tempatnya."Ya, sayang. Anything," Cahaya mendekati putri semata wayangnya"Malam ini aku mau tidur sendirian di kamar. Mama sama bik Ratih di kamar lain aja. Boleh, yah, ma? Nanti kalau ada apa - apa aku pasti teriak, kok," Kekeh Rani tak seperti biasa, ia tampak seperti remaja yang sedang jatuh cinta."Tumben? Kenapa tiba - tiba anak gadis mama begini? Kayak ada yang aneh?" goda sang Mama. Putrinya ini selalu takut di tinggalkan sejak musibah kecelakaan itu."Ciye ... kenapa non? Ada apa?" timpal bik Ratih"Iih ...," wajah Rani tampak merona, ia tutup wajahnya dengan kedua tangan mulusnya."Yaudah, mama sama bik Ratih pesen satu
Subuh berkumandang, suara azan yang begitu merdu berhasil membangunkan wanita yang kini berbaring menikmati malamnya yang indah.Tubuhnya menggeliat, mengendorkan otot - otot tegang dari tubuhnya."Umh ... morning, world!" Rani mengangkat kedua tangannya, di iringi senyum manja, seakan masih ada Jamie yang semalam hampir mencumbunya.Jamie yang ikut serta menggeliat dan melihat pemandangan indah di hadapannya terperonga.Wanita angkuhnya kini yang tengah mengenakan tanktop berwarna salem, dengan tali sejari yang sebelahnya jatuh ke lengan kiri.Entah kapan pujaannya ini melepaskan jaketnya semalam.Namun yang Jamie tau saat ini, libido kelelakiannya muncul dan memancing sesuatu dari dalamnya untuk beraksi."Not now, dude!" batin Jamie, mengkodei miliknya agar tetap sabar"Hari ini, aku harus semangat. Pemeriksaa
"Tuan, donor kornea untuk istri anda saat ini sepertinya belum bisa. Namun, demi memastikan semuanya, kita akan tetap melakukan pemeriksaan berlanjut terhadap pasien," ucap dokter spesialis bernama Deepani terhadap Jamie, yang di dampingi oleh dokter Firdaus saat telah sampai di National Eye Hospital of Sri Lanka."Tapi dokter, apakah ada kemungkinan istriku bisa melihat kembali? Apakah istriku akan tetap bisa hidup normal?" Jamie menggebu, ia sedikit kecewa dengan ucapan dokter Deepani, yang merupkan penduduk asli Sri Lanka, berkulit sedikit gelap, namun tetap manis dengan hidung yang sangat lancip menghias wajahnya."Tenang, waktu kita masih banyak. Rawatlah istri anda dengan baik. Sebab, kasih sayang dan perhatian anda lebih di butuhkan-nya saat ini," ucap dokter yang bertubuh kurus tinggi itu dengan tenang"Intinya adalah, sesakit apapun istri mu saat ini, dukungan dari suamilah yang membuatnya kuat. Membuatnya lebih