Kehadiran Jamie dan Arka yang di temani ustadz Muhammad di sambut ramah oleh Mamanya Rani, yang di dampingi oleh orang tua Jihan.
Ustadz Muhammad lebih dominan dalam lamaran malam ini.
Ia menjelaskan, bahwa Jamie sudah menjadi saudara sesama Muslim."Nak Jamie, ada baiknya orang tua mu hadir di sini. Untuk menyaksikan acara sakral ini. Karena, orang tua manapun akan bahagia melihat anaknya bahagia. Dan sejatinya, menikah itu bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang saling mencintai, melainkan juga untuk menyatukan dua keluarga hingga tercipta keluarga besar yang bahagia," jelas Cahaya dengan lembut agar ia bisa bertemu langsung dengan calon besannya.
"Jika itu adalah syarat untuk menikahi Rani, maka akan saya lakukan." jawabnya pasti
Semua orang tampak bahagia. Namun, tidak dengan seseorang yang sedang berdiri di dekat tangga.
Rani mendengar rencana demi rencana dari mulut orang - orang yang ada di dalam rumahnya. Bahkan, suara sang Mama sedikit membuatnya tak percaya."Kenapa orang - orang seakan mengatur hidupku? kenapa ... kenapa orang - orang seperti menaruh iba kepada ku? apa karena kebutaanku ini membuat orang - orang menjadikan ku tak berdaya?" batin Rani berkecamuk. Ia sangat tidak terima perlakuan orang - orang yang seperti ini.
"Ra- Rani?" sontak Jihan terkejut melihat Rani yang sudah berdiri kaku di atas anak tangga. Ia dekati wanita yang saat ini tengah menggunakan piama tidurnya dengan rambut panjang terurai.
"Ji, kayak lagi ada tamu, ya?" bisik Rani ketika merasakan tangan Jihan mendekat ke arahnya
"Ran, ayo masuk." bujuk Jihan yang tahu konsekwensinya jika Rani mengetahui apa yang sedang terjadi
"Nggak, gue mau tau dulu. Ini lagi pada ngapain? Kenapa ... kenapa kayak ... kenapa kayak lagi banyak orang di sini? Kalian?" Rani panik, ia sudah terlanjur mendengrkan semuanya.
"Rani. Sayangnya mama, kamu tenang dulu ya, nak. Dengerin mama dulu, ya," Cahaya mendekati Rani yang panik, berusaha menenangkan putri kesayangannya ini
"Rani, seseorang datang melamar kamu, nak. Mama mau ...,"
"Cukup, ma! Aku nggak mau menikah sama orang yang cuma kasian sama aku. Ujung - ujungnya semua harta warisan hasil keringat papa di abisin. Mama ngerti juga, dong, ma," rengek Rani meyakinkan sang Mama yang ia anggap sedang di manfaatkan oleh oknum pengusaha.
"Rani ..." Jamie buka suara. Ia sangat tidak kuasa melihat wanita idamannya berbicara seperti tak tau arah.
"Sopir! Heh, kenapa ... kenapa dia masih ada di sini? Jihan! Lu ngerti nggak sih kalau kasih dia uang yang banyak, hah?!" Rani mengamuk setelah mendengar suara Jamie yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Nafasnya terengah - engah tak beraturan. Ia tepis tangan Jihan dan Mamanya yang meraih tubuhnya, untuk menenangkan dirinya yang berusaha mendekat ke arah suara Jamie, berniat untuk mengusirnya, hingga ia sendiri kehilangan kesadarannya.
***
Beberapa jam sudah Rani tidak sadarkan diri.
Dokter Firdaus yang selama ini merawat Rani-pun sudah datang mengontrol kesehatan pasien yang menjadi tanggung jawabnya selama ini."Ada baiknya, jangan biarkan Rani mengalami kecemasan atau tekanan yang mengganggu fikirannya. Ia sangat butuh banyak istirahat. Bukan hanya istirahat fisik, ia juga butuh mengistirahatkan fikiran yang selama ini sangat menekan batinnya," jelas dokter Firdaus panjang lebar. Pria yang sedikit lebih muda dari Papanya ini juga menjelaskan detil demi detil obat yang harus di konsumsi oleh Rani setiap harinya.
"Karena Rani tidak hanya mengalami kerusakan di mata, melainkan ia mengalami trauma yang sebenarnya mengganggu ketenangan hati dan fikirannya," lagi, dokter keluarga Hussain itu menjelaskan
"Dokter, apa yang harus kami lakukan agar Rani bisa menghilangkan traumanya? Maksud saya, apa yang harus saya dan calon mertua saya lakukan agar Rani tetap stabil?" ucap Jamie yang sungguh tidak tahan melihat wanita angkuh yang ia sayangi terbaring lemah tak berdaya
"Lakukan saja apa yang ia suka, dan jangan biarkan sesuatu hal yang tidak ia inginkan terjadi. Misalnya seperti ia tidak suka memakan brokoli, maka jangan pernah ada aroma brokoli di hidungnya. Ia akan bertindak tak jauh seperti barusan terjadi. Dan, suasana hati Rani yang seperti tadi, akan menambah trauma di dalam dirinya," dokter yang setengah sepuh itu memberi pengertian
Semua yang ada di sana memasang wajah muram dan khawatir.
Tak terkecuali Jamie yang sedang gusar.Tak kalah dengan ibunya yang sangat sedih, terlebih takut Jamie akan berubah fikiran."Tante ...," Jihan mendekati wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri
"Ji, tante takut. Tante takut Rani akan terus - terusan begini," isak Cahaya dalam pelukan Jihan
"Saya akan tetap menikahi Rani apapun yang akan terjadi," tukas Jamie dengan nada pasti, membuat Cahaya semakin yakin untuk menikahkan Jamie dengan putrinya.
***
Setibanya di apartmen, Jamie memutuskan untuk menghubungi orang tuanya satu persatu. Mereka tinggal terpisah. Jamie di Indonesia walaupun terkadang pulang dan pergi kemana saja yang ia mau. Ayahnya di Swiss, ibunya di Kanada dan kakak sulungnya ada di Jerman. Sedangkan rumah keluarga mereka yang hanya di huni oleh pelayan, ada di Amsterdam.
"Mom, i'm so sory," ucap Jamie melalui panggilan kepada ibunya, ia meminta maaf atas tindakannya yang tidak meminta izin terlebih dahulu.
Ia menjelaskan bahwa dirinya sudah menjadi Mualaf dan akan menikahi wanita muslim yang saat ini dalam keadaan buta.
Raut wajah ibunya begitu kecewa, namun ia menghargai setiap keputusan anak bungsunya ini.
"Tanyakan kepada Daddy mu, Mommy akan mendukung semua keputusanmu. And i am so sorry, Mommy tidak bisa menghadiri pernikahanmu. Mommy merestui setiap langkahmu." tukas wanita sosialita dengan rambut pirang dan menggunakan blazer senada dengan bawahan yang ia pakai.
Wanita itu memutuskan panggilan, dan tampak sedang merenungi ucapan bungsu kesayangannya.
"Mommy loves you, Jam," gumam wanita yang kini sudah tampak tak muda lagi, dan kembali memutar kursi menghadap layar laptopnya kembali.
Jamie menghembuskan nafas berat. Ia sedikit kecewa mendengar jawaban ibunya. Tapi setidaknya, ia lega sudah mendapatkan restu dari wanita yang memiliki surga di kakinya.
Selanjutnya, ia menghubungi pria yang terakhir kali bertemu dengannya dua tahun lalu. Dia adalah Arthur Cornelius, ayah kandung Jamie.
"Hmmm ...," jawab singkat pria tinggi dengan rambut dan janggut putih yang hampir seluruhnya, dengan nada dingin.
"As-salam-mu'alaikum, Dad," ucapnya ragu dan terputus - putus.
Arthur tampak berang. Matanya membulat ditambah warna merah yang menyala di kedua matanya, menandakan ada amarah yang tersembunyi di sana.
"Tidak ada tempat bagi anak yang selalu membangkang," tukas Arthur yang kemudian mematikan sambungan teleponnya.
"There is nothing to be proud of that child!" geram Arthur
"Setidaknya, aku sudah memberi tahu mereka." batin Jamie dengan raut wajah kecewa
Jamie pergi menemui ustadz Muhammad di tempat biasa. Ia menceritakan bahwa dirinya sudah memberi tahu orang tuanya, namun hasilnya begitu saja.
Ustadz Muhammad begitu prihatin dengan keadaan keluarga Jamie. Ia mengerti kenapa Jamie tidak mau menemui orang tuanya.
"Nak Jamie, ane faham keadaan ente. Kalo begitu, kite temui ibunye mbak Rani, kite jelasin semuanye dan beri beliau pengertian," saran ustadz Muhammad
Jamie mengangguk pasti. Ia segera mengajak ustadz Muhammad untuk menemui ibunya Rani untuk meminta restu agar ia bisa segera menikahi Rani, walau harus tanpa kehadiran keluarga pihak Jamie dan terlebih, harus tanpa sepengetahuan Rani.
Bersambung ...
Rani masih berbaring di ranjang king size miliknya.Sedangkan Cahaya yang selalu ada untuk putrinya ini, tak pernah meninggalkan kamar anak gadisnya sedetikpun.Bahkan, Jihan selalu setia mengingatkan asisten rumah tangga untuk memberikan makanan dan obat wanita yang kini wajahnya tampak begitu lelah demi menjaga buah cintanya."Andaikan Sanjaya masih hidup, mungkin kekuatanku akan bertambah." gumamnya yang tanpa sadar, ada sepasang mata sedang memperhatikannya.Jamie berdiri di dekat pintu besar kamar tidur Rani. Ia memandang wanita yang sangat di kasihinya ini dengan tatapan iba."Rani butuh ketenangan hati, sembari menanti kabar dari rumah sakit Sri Lanka, jangan biarkan ia merasakan traumanya lagi. Jika ia sudah bisa lengah dari traumanya, maka hatinya akan lebih tenang," Jamie teringat ucapan dokter Firdaus via telepon kemarin"Jamie?"
Dengan tetap menempelkan bibirnya ke bibir Rani, membuat sesuatu dari dalam celana Jamie seperti mengeras.Ia menekan kepala Rani agar tak menjauh dari dirinya.Sedetikpun tak ia biarkan wanita itu mengambil nafas secara teratur.Kemudin, ia membuka kedua bola matanya.Ia mendapati Rani yang masih tersenyum simpul dan memanggil namanya.Jamie yang tadinya memejamkan matanya tersadar dari lamunannya. Ia merasa, ada sesuatu yang membasahi celananya dan membuatnya panik, takut ada yang melihatnya."Yusuf? Kamu masih di sana, kan?" Rani memastikan"Ah, eh i ... ah hmm," Jamie hampir saja mengeluarkan suara, membuat Rani sedikit curiga dengan kegugupan Jamie yang seperti sedang menutupi sesuatu"Tau, nggak, suara kamu itu mirip suara seseorang." Rani menerawang jauh ketika J
"Mama ...," lagi, suara Rani tampak histeris"Ada apa, sayang? Mama di sini, nak." Tubuh Cahaya langsung merengkuh putrinya yang saat ini seperti kehilangan arah"Ma, kenapa ... kenapa di sini semakin gelap? Kenapa ... kenapa Rani jadi kayak orang buta beneran?" Rani terlihat takut, nafasnya tak beraturan, ia memeluk ibunya begitu erat, takut wanita yang telah melahirkannya ini akan meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti ini."Tenang, sayang, tenang. Mama di sini," Cahaya memeluk putrinyaJamie dengan sigap pergi ke bawah dan menghubungi dokter Firdaus agar segera datang."Mama. Ada sesuatu yang ingin Rani tanyakan," tanya Rani serius"Ada apa, sayang?" Cahaya tampak bingung karena Rani berubah begitu cepat.&n
"Tidak semudah itu, bung. Mendonorkan kornea mata, itu artinya memberikan separuh hidup anda kepada si penerima. Apa anda siap hidup tanpa dapat melihat?" dokter Firdaus menantang Jamie dengan pertanyaan"I ...," Jamie menjawab ragu"Anda tidak akan bisa melihat, bahkan melindungi istri anda lagi." tukas dokter Firdaus"Tapi, dokter. Apa yang harus ...," Jamie gusar. Ia mengacak rambutnya, menyesali rencana konyol yang ia buat, hanya demi mencari perhatian."Tenang, jika anda siap, besok sore kita akan berangkat ke Sri Lanka, negara pendonor kornea mata terbesar di dunia," tawar dokter Firdaus, yang seakan membuka lebar harapan bagi Jamie, agar istrinya bisa segera melihat kembali."Dokter? Are you serious?" Jamie tampak sumringah"Offcourse, dude. Segala yang telah terjadi adalah sesuatu yang sudah di takdir-kan oleh Tuhan, agar kita dapat menj
"Ma, boleh aku minta sesuatu?" Rani berusaha menggapai sang mama, yang jaraknya berdiri tak jauh dari tempatnya."Ya, sayang. Anything," Cahaya mendekati putri semata wayangnya"Malam ini aku mau tidur sendirian di kamar. Mama sama bik Ratih di kamar lain aja. Boleh, yah, ma? Nanti kalau ada apa - apa aku pasti teriak, kok," Kekeh Rani tak seperti biasa, ia tampak seperti remaja yang sedang jatuh cinta."Tumben? Kenapa tiba - tiba anak gadis mama begini? Kayak ada yang aneh?" goda sang Mama. Putrinya ini selalu takut di tinggalkan sejak musibah kecelakaan itu."Ciye ... kenapa non? Ada apa?" timpal bik Ratih"Iih ...," wajah Rani tampak merona, ia tutup wajahnya dengan kedua tangan mulusnya."Yaudah, mama sama bik Ratih pesen satu
Subuh berkumandang, suara azan yang begitu merdu berhasil membangunkan wanita yang kini berbaring menikmati malamnya yang indah.Tubuhnya menggeliat, mengendorkan otot - otot tegang dari tubuhnya."Umh ... morning, world!" Rani mengangkat kedua tangannya, di iringi senyum manja, seakan masih ada Jamie yang semalam hampir mencumbunya.Jamie yang ikut serta menggeliat dan melihat pemandangan indah di hadapannya terperonga.Wanita angkuhnya kini yang tengah mengenakan tanktop berwarna salem, dengan tali sejari yang sebelahnya jatuh ke lengan kiri.Entah kapan pujaannya ini melepaskan jaketnya semalam.Namun yang Jamie tau saat ini, libido kelelakiannya muncul dan memancing sesuatu dari dalamnya untuk beraksi."Not now, dude!" batin Jamie, mengkodei miliknya agar tetap sabar"Hari ini, aku harus semangat. Pemeriksaa
"Tuan, donor kornea untuk istri anda saat ini sepertinya belum bisa. Namun, demi memastikan semuanya, kita akan tetap melakukan pemeriksaan berlanjut terhadap pasien," ucap dokter spesialis bernama Deepani terhadap Jamie, yang di dampingi oleh dokter Firdaus saat telah sampai di National Eye Hospital of Sri Lanka."Tapi dokter, apakah ada kemungkinan istriku bisa melihat kembali? Apakah istriku akan tetap bisa hidup normal?" Jamie menggebu, ia sedikit kecewa dengan ucapan dokter Deepani, yang merupkan penduduk asli Sri Lanka, berkulit sedikit gelap, namun tetap manis dengan hidung yang sangat lancip menghias wajahnya."Tenang, waktu kita masih banyak. Rawatlah istri anda dengan baik. Sebab, kasih sayang dan perhatian anda lebih di butuhkan-nya saat ini," ucap dokter yang bertubuh kurus tinggi itu dengan tenang"Intinya adalah, sesakit apapun istri mu saat ini, dukungan dari suamilah yang membuatnya kuat. Membuatnya lebih
Ia dekati istrinya yang saat ini sedang menggigit bibir bawahnya. Menahan hasrat yang menunjukkan bahwa ia adalah wanita normal, yang butuh seorang teman. Teman yang mau berbagi segalanya. Teman yang siap menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ia miliki. Teman hidup. Teman yang mendampinginya untuk menghabiskan waktu di dunia ini.Pria Irlandia itu, dengan seringaian jahil mendekati Rani yang kini tengah mengatur nafas agar lebih baik.Perasaan aneh tiba - tiba menjalar ke seluruh tubuh wanita yang saat ini masih dalam keadaan tidak dapat melihat, bahkan mengetahui siapa yang berani meniupkan nafas hangat dari bagian dada, hingga ke arah matanya.Membuatnya meraba sekitar tempat ia berdiri. Berusaha mencari seseorang yang berhasil membuatnya ketagihan dengan apa yang telah ia lalui dalam beberapa hari. Membuat perasaannya bercampur aduk. Antara nyata dan tidak nyata."Demi Tuhan, jika kau mema