Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang.
Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus pergi." Ekspresi Damien berubah dingin. "Dan sekarang kau kembali, berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa?" Selina mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku tidak berpura-pura, Damien. Aku hanya ingin menjalani hidupku tanpa bayangan masa lalu." Damien mengetukkan jarinya ke meja, ekspresinya tetap tajam. "Dan bagaimana jika aku tidak akan membiarkan itu terjadi?" Selina tertegun. Damien mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya lebih dalam dan penuh kepastian. "Kau mungkin bisa melarikan diri dariku empat tahun lalu, Selina. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Selina menegang di tempatnya. “Apa maksudmu, Damien?” tanyanya, suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Damien menatapnya dalam, matanya gelap dan tajam. “Aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi.” Selina terkesiap, tetapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya. “Aku tidak berencana menghilang.” “Bagus.” Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah puas dengan jawaban itu. “Jadi, kau akan tetap di kota ini?” Selina menelan ludahnya. Ia tahu Damien tidak hanya sekadar bertanya. Pria itu sedang menggali sesuatu. “Ya,” jawabnya akhirnya. “Aku punya kehidupan di sini sekarang.” Damien mengetuk jemarinya di atas meja, ekspresinya sulit ditebak. “Termasuk seseorang?” Selina terdiam sesaat sebelum menggeleng. “Aku tidak punya pasangan, kalau itu yang kau maksud.” Tatapan Damien mengeras. “Bukan hanya itu yang kumaksud.” Napas Selina tercekat. Apakah pria itu curiga? Ia harus tetap tenang. Selina menegakkan tubuhnya dan menatap Damien langsung. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Damien.” Damien menatapnya lebih lama, lalu akhirnya tersenyum kecil—senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Baiklah.” Pelayan datang membawa makanan mereka, mengalihkan ketegangan sesaat. Selina mengambil garpunya dan mulai makan, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi ia tahu satu hal. Damien belum selesai dengannya. Dan pertemuan ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Selina berusaha fokus pada makanannya, tetapi ia bisa merasakan tatapan Damien yang tak henti-hentinya mengawasinya. Keheningan di antara mereka terasa menekan. “Jadi,” Damien akhirnya membuka suara, “kau kembali ke kota ini untuk tinggal secara permanen?” Selina mengangguk. “Aku punya butik di sini. Ini rumahku sekarang.” Damien mengangkat alisnya, seolah menimbang sesuatu. “Sendirian?” Selina menggenggam garpunya lebih erat. Ia tahu pertanyaan ini tidak sesederhana kedengarannya. “Aku punya orang-orang yang berharga bagiku di sini,” jawabnya hati-hati. Damien tidak langsung merespons, tetapi ada sesuatu di matanya yang menyiratkan bahwa ia tidak akan puas dengan jawaban itu. Pelayan datang kembali, menuangkan anggur ke gelas Damien. Selina mengambil napas pelan. Ia tidak boleh menunjukkan kegugupan. Damien memainkan gelas anggurnya, lalu menatap Selina dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kau tahu, aku selalu ingin bertanya satu hal sejak kau menghilang.” Selina meneguk ludah. “Apa itu?” “Kenapa?” Selina terdiam. Damien menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tajam. “Kenapa kau pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun?” Jantung Selina berdegup kencang. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, tetapi itu tidak membuatnya lebih mudah untuk dijawab. “Karena aku harus melakukannya,” kata Selina akhirnya, suaranya lebih pelan. “Kenapa?” Damien mengulang, kali ini dengan nada yang lebih dingin. “Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu ingin lari?” Selina menggeleng. “Bukan begitu, Damien. Ini bukan tentangmu.” Mata Damien menyipit. “Jadi ini tentang apa? Atau siapa?” Selina mengeratkan genggamannya di bawah meja. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya.” Damien menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kau tahu, aku bukan orang yang suka dipermainkan, Selina.” Selina mendongak menatapnya. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Damien tersenyum kecil—senyum yang sama sekali tidak hangat. “Tapi kau tetap melakukannya.” Selina tidak tahu harus berkata apa. Damien mengamati ekspresinya, lalu mengangguk kecil. “Baiklah. Aku akan menunggu.” Selina mengerutkan kening. “Menunggu?” Damien menyesap anggurnya perlahan sebelum menatapnya dalam. “Untuk kebenaran. Karena cepat atau lambat, Selina... aku akan mengetahuinya.” Kata-kata Damien menggantung di udara, membuat Selina semakin gelisah. Ia tahu pria itu bukan tipe yang mudah menyerah. Jika Damien sudah mencurigainya, cepat atau lambat dia akan mulai mencari tahu sendiri. Selina meletakkan garpunya, kehilangan selera makan. "Tidak semua kebenaran perlu diungkap, Damien." Damien menatapnya tajam. "Tapi aku bukan orang yang suka dibiarkan dalam ketidaktahuan." Selina menghela napas pelan. "Terkadang, mengetahui segalanya tidak akan membuatmu lebih bahagia." Damien tersenyum kecil, tetapi senyum itu lebih seperti tantangan. "Aku tidak tertarik pada kebahagiaan, Selina. Aku hanya ingin kebenaran." Tatapan mereka saling mengunci, masing-masing menilai satu sama lain. Selina tahu bahwa semakin lama ia berdiam diri, semakin besar kecurigaan Damien. Ia harus segera mengakhiri percakapan ini sebelum semuanya semakin rumit. Selina menarik napas dalam sebelum berbicara. "Damien, aku menghargai pertemuan ini, tapi aku harus pergi." Damien menyesap anggurnya dengan santai. "Sudah bosan?" "Aku hanya tidak ingin membuka masa lalu yang sudah tertutup." Damien meletakkan gelasnya, lalu menatap Selina tanpa berkedip. "Siapa bilang sudah tertutup?" Selina menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari pria ini selamanya. Damien mengangkat tangannya, dan pelayan segera datang dengan nota. "Baiklah. Aku tidak akan menahanmu malam ini." Malam ini. Kata-kata itu membuat Selina merinding. Seolah Damien memberi tahu bahwa ini bukanlah akhir. Setelah menyelesaikan pembayaran, Damien berdiri lebih dulu dan berjalan ke arah Selina. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, membisikkan sesuatu di telinganya. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina. Kali ini, aku akan memastikan kau tetap dalam jangkauanku." Selina merasakan jantungnya berdegup kencang saat Damien melangkah pergi lebih dulu. Ia tetap duduk di kursinya, mencoba mengatur napasnya yang tak beraturan. Ini baru permulaan.BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
Musik berdentum di seluruh ruangan, berpadu dengan suara tawa dan obrolan tamu-tamu pesta. Cahaya lampu kristal berpendar lembut di langit-langit, menciptakan atmosfer mewah dan elegan di dalam ballroom hotel berbintang lima itu. Pesta perayaan ulang tahun seorang sosialita terkenal itu dipenuhi oleh orang-orang dari kalangan atas—pengusaha, selebriti, hingga pewaris keluarga kaya. Di sudut ruangan, seorang wanita berambut panjang dengan gaun merah anggun tengah duduk sambil memainkan gelas sampanye di tangannya. Selina Arabelle tidak pernah menyangka dirinya akan datang ke pesta seperti ini, tetapi sahabatnya, Mia, berhasil membujuknya. “Selina, ayolah, kau tidak bisa hanya duduk di sini sepanjang malam,” ujar Mia sambil menarik tangannya. “Aku tidak nyaman, Mia,” Selina menghela napas, menatap sekeliling. “Ini bukan dunia yang biasa aku masuki.” “Justru itu, sesekali kau harus keluar dari zona nyamanmu!” Mia tertawa kecil. “Kau terlalu sibuk bekerja. Malam ini, bersenang-senangl
BAB 2: Dua Garis Merah Dua minggu telah berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan kejadian tersebut terus menghantui Selina. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai desainer, ingatan tentang Damien selalu kembali. Namun, ia bersikeras bahwa semuanya sudah berakhir. Itu hanya satu malam yang tidak berarti. Atau begitulah yang ia pikirkan. Pagi itu, Selina duduk di kamar mandinya, menatap sebuah benda kecil di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Tes kehamilan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup mata sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Selina terpaku. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berpikir bahwa ia salah lihat. Tetapi tidak—dua garis itu tetap ada, begitu jelas dan nyata. Tubuhnya melemas. Ia hampir menjatuhkan alat tes itu. “Apa yang
Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tingga
Angin musim dingin bertiup lembut melalui celah jendela rumah Bibi Anne. Selina duduk di atas tempat tidurnya, satu tangan mengelus perutnya yang semakin besar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kesembilan, dan setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan momen kelahiran yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, meskipun ia telah mempersiapkan diri, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika suatu hari Damien mengetahui tentang anak ini? Ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Ia harus fokus pada bayi di dalam kandungannya—bayinya. Malam itu, ketika Selina sedang duduk di ruang tamu bersama Bibi Anne, tiba-tiba ia merasakan sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, tangannya mencengkeram sisi sofa. “Selina! Ada apa?!” Bibi Anne segera menghampirinya dengan wajah panik. Selina terengah-engah, wajahnya mulai pucat. “Bibi… aku rasa… aku akan melahirkan.” Tanpa memb
Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu. Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menat
Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca
Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu. Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menat
Angin musim dingin bertiup lembut melalui celah jendela rumah Bibi Anne. Selina duduk di atas tempat tidurnya, satu tangan mengelus perutnya yang semakin besar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kesembilan, dan setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan momen kelahiran yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, meskipun ia telah mempersiapkan diri, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika suatu hari Damien mengetahui tentang anak ini? Ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Ia harus fokus pada bayi di dalam kandungannya—bayinya. Malam itu, ketika Selina sedang duduk di ruang tamu bersama Bibi Anne, tiba-tiba ia merasakan sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, tangannya mencengkeram sisi sofa. “Selina! Ada apa?!” Bibi Anne segera menghampirinya dengan wajah panik. Selina terengah-engah, wajahnya mulai pucat. “Bibi… aku rasa… aku akan melahirkan.” Tanpa memb
Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tingga
BAB 2: Dua Garis Merah Dua minggu telah berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan kejadian tersebut terus menghantui Selina. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai desainer, ingatan tentang Damien selalu kembali. Namun, ia bersikeras bahwa semuanya sudah berakhir. Itu hanya satu malam yang tidak berarti. Atau begitulah yang ia pikirkan. Pagi itu, Selina duduk di kamar mandinya, menatap sebuah benda kecil di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Tes kehamilan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup mata sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Selina terpaku. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berpikir bahwa ia salah lihat. Tetapi tidak—dua garis itu tetap ada, begitu jelas dan nyata. Tubuhnya melemas. Ia hampir menjatuhkan alat tes itu. “Apa yang