Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya.
Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tinggal di rumah Bibi di luar negeri?” Ada jeda sebelum wanita itu menjawab, “Tentu saja, sayang. Tapi… ada apa? Apa sesuatu terjadi?” Selina menelan ludah. “Aku hanya butuh istirahat, Bibi. Aku ingin menjauh sebentar.” Bibi Anne tidak bertanya lebih jauh. “Kapan kamu mau datang?” “Secepatnya.” Dua hari kemudian, Selina berdiri di depan apartemennya dengan koper di tangannya. Mia berdiri di sebelahnya dengan ekspresi berat hati. “Apa kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Mia. Selina mengangguk. “Ini yang terbaik, Mia.” Mia menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kalau suatu hari nanti dia tahu… bagaimana?” Selina menghela napas. “Aku hanya berharap saat itu tiba, semuanya sudah terlambat untuk diubah.” Mia meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kalau ada apa-apa, kabari aku. Jangan lupa kalau kamu gak sendirian.” Selina tersenyum tipis. “Terima kasih, Mia.” Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju bandara, meninggalkan kota yang telah menjadi rumahnya. Meninggalkan Damien Alaric… Dan membawa serta rahasia yang akan mengubah hidup mereka berdua selamanya. Selina duduk di kursi dekat jendela pesawat, menatap landasan yang semakin jauh seiring dengan pesawat yang mulai lepas landas. Jantungnya berdebar keras, bukan karena takut terbang, tapi karena ini adalah awal dari kehidupannya yang baru. Ia menggenggam perutnya yang masih datar, merasakan sensasi aneh yang bercampur aduk dalam dirinya—takut, cemas, tetapi juga sedikit lega. Ia tahu keputusan ini tidak mudah, tetapi ia tidak bisa mengambil risiko membiarkan Damien mengetahuinya. Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana pria itu bersikap dingin dan tidak terikat dengan siapa pun. Ia adalah seorang CEO sukses yang memiliki segalanya. Bagi Damien, hubungan hanyalah kesenangan sesaat. Tidak lebih. Selina menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tidak ada jalan untuk kembali. Berbulan-bulan berlalu sejak Selina meninggalkan kota itu. Kini ia tinggal di luar negeri bersama Bibi Anne, yang menyambutnya dengan hangat tanpa banyak bertanya. Selina bersyukur memiliki seseorang yang mendukungnya. Kehamilannya berjalan dengan baik. Perutnya mulai membesar, dan setiap kali ia merasakan gerakan kecil di dalamnya, ia merasa campuran antara ketakutan dan kebahagiaan. Namun, tidak ada hari tanpa bayangan Damien muncul dalam pikirannya. Bagaimana jika suatu hari ia mengetahui semuanya? Bagaimana jika ia datang mencarinya? Tapi Selina menepis kekhawatiran itu. Tidak ada alasan bagi Damien untuk mencari dirinya. Ia hanya wanita biasa yang tidak memiliki pengaruh apa pun dalam hidupnya. Selama ia tetap tersembunyi, semuanya akan baik-baik saja. Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan. Tanpa ia sadari, takdir perlahan mulai menuntunnya kembali ke jalur yang seharusnya. Dan rahasia yang selama ini ia simpan… suatu hari nanti akan terungkap, dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Waktu berlalu lebih cepat dari yang Selina sadari. Kini, sudah memasuki bulan keenam kehamilannya. Perutnya semakin besar, dan setiap kali ia merasakan tendangan kecil dari dalam, ia tak bisa menahan senyum. Namun, di balik kebahagiaan kecil itu, ada ketakutan yang tak pernah hilang. Ia masih sering terbangun di malam hari dengan jantung berdebar, takut suatu saat Damien akan menemukannya. Takut jika pria itu akan merebut anaknya. Ia menggenggam perutnya lembut. "Kamu hanya milikku… Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku," bisiknya pelan. Hari itu, Selina duduk di teras belakang rumah Bibi Anne, menikmati angin sore yang sejuk. Mia meneleponnya, seperti biasa. "Jadi, bagaimana kabarmu di sana? Kamu baik-baik saja?" suara Mia terdengar khawatir. "Aku baik-baik saja, Mia. Aku bahkan mulai merasa nyaman di sini," jawab Selina, meskipun jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang terasa hampa. "Baguslah kalau begitu. Tapi… kamu yakin Damien belum mencarimu?" Selina terdiam. Itulah pertanyaan yang selalu menghantuinya. "Aku tidak tahu, Mia. Tapi dia tidak akan peduli. Lagipula, aku hanya wanita asing baginya. Satu malam itu… tidak berarti apa-apa untuknya." Mia menghela napas. "Aku tetap merasa kamu seharusnya memberitahunya." "Dan mengambil risiko dia merebut anakku? Tidak, Mia. Aku tidak mau." Ada keheningan di antara mereka sebelum Mia akhirnya berkata, "Kalau begitu, apa rencanamu setelah bayi ini lahir?" Selina menatap langit sore yang mulai berubah warna. "Aku akan tetap di sini. Aku akan membesarkan anakku sendiri, jauh dari kehidupannya." Tapi apakah semudah itu? Di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak peduli seberapa keras ia mencoba melarikan diri, takdir memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan kembali orang-orang yang seharusnya bersama. Dan mungkin, waktunya semakin dekat.Angin musim dingin bertiup lembut melalui celah jendela rumah Bibi Anne. Selina duduk di atas tempat tidurnya, satu tangan mengelus perutnya yang semakin besar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kesembilan, dan setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan momen kelahiran yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, meskipun ia telah mempersiapkan diri, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika suatu hari Damien mengetahui tentang anak ini? Ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Ia harus fokus pada bayi di dalam kandungannya—bayinya. Malam itu, ketika Selina sedang duduk di ruang tamu bersama Bibi Anne, tiba-tiba ia merasakan sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, tangannya mencengkeram sisi sofa. “Selina! Ada apa?!” Bibi Anne segera menghampirinya dengan wajah panik. Selina terengah-engah, wajahnya mulai pucat. “Bibi… aku rasa… aku akan melahirkan.” Tanpa memb
Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu. Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menat
Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
Musik berdentum di seluruh ruangan, berpadu dengan suara tawa dan obrolan tamu-tamu pesta. Cahaya lampu kristal berpendar lembut di langit-langit, menciptakan atmosfer mewah dan elegan di dalam ballroom hotel berbintang lima itu. Pesta perayaan ulang tahun seorang sosialita terkenal itu dipenuhi oleh orang-orang dari kalangan atas—pengusaha, selebriti, hingga pewaris keluarga kaya. Di sudut ruangan, seorang wanita berambut panjang dengan gaun merah anggun tengah duduk sambil memainkan gelas sampanye di tangannya. Selina Arabelle tidak pernah menyangka dirinya akan datang ke pesta seperti ini, tetapi sahabatnya, Mia, berhasil membujuknya. “Selina, ayolah, kau tidak bisa hanya duduk di sini sepanjang malam,” ujar Mia sambil menarik tangannya. “Aku tidak nyaman, Mia,” Selina menghela napas, menatap sekeliling. “Ini bukan dunia yang biasa aku masuki.” “Justru itu, sesekali kau harus keluar dari zona nyamanmu!” Mia tertawa kecil. “Kau terlalu sibuk bekerja. Malam ini, bersenang-senangl
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca
Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu. Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menat
Angin musim dingin bertiup lembut melalui celah jendela rumah Bibi Anne. Selina duduk di atas tempat tidurnya, satu tangan mengelus perutnya yang semakin besar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kesembilan, dan setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan momen kelahiran yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, meskipun ia telah mempersiapkan diri, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika suatu hari Damien mengetahui tentang anak ini? Ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Ia harus fokus pada bayi di dalam kandungannya—bayinya. Malam itu, ketika Selina sedang duduk di ruang tamu bersama Bibi Anne, tiba-tiba ia merasakan sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, tangannya mencengkeram sisi sofa. “Selina! Ada apa?!” Bibi Anne segera menghampirinya dengan wajah panik. Selina terengah-engah, wajahnya mulai pucat. “Bibi… aku rasa… aku akan melahirkan.” Tanpa memb
Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tingga
BAB 2: Dua Garis Merah Dua minggu telah berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan kejadian tersebut terus menghantui Selina. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai desainer, ingatan tentang Damien selalu kembali. Namun, ia bersikeras bahwa semuanya sudah berakhir. Itu hanya satu malam yang tidak berarti. Atau begitulah yang ia pikirkan. Pagi itu, Selina duduk di kamar mandinya, menatap sebuah benda kecil di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Tes kehamilan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup mata sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Selina terpaku. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berpikir bahwa ia salah lihat. Tetapi tidak—dua garis itu tetap ada, begitu jelas dan nyata. Tubuhnya melemas. Ia hampir menjatuhkan alat tes itu. “Apa yang