Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu.
Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menatap Alana dengan tatapan khas seorang kakak laki-laki yang kesal pada adiknya. “Mommy, aku sudah bilang. Es krim ini milikku. Alana sudah punya sendiri, tapi dia makannya terlalu cepat.” Selina menahan tawa melihat interaksi mereka. Aziel selalu lebih tenang dan dewasa dibandingkan Alana, meskipun mereka lahir di hari yang sama. Ia berjongkok dan membelai kepala mereka. “Aziel, tidak baik pelit pada saudaramu sendiri. Alana, kamu juga harus belajar berbagi. Bagaimana kalau Mommy belikan es krim lagi untuk kalian berdua?” Alana langsung bersorak. “Yeay! Mommy memang yang terbaik!” Aziel hanya mengangguk kecil, lalu menggenggam tangan Selina. Meskipun ia tidak terlalu ekspresif seperti Alana, ia selalu menunjukkan kasih sayangnya dengan cara kecil seperti ini. Selina menggandeng kedua anaknya dan berjalan menuju kedai es krim terdekat. Saat itu, ia merasa bahwa hidupnya sudah sempurna. Tapi ia tidak tahu bahwa takdir sedang menyiapkan kejutan besar untuknya. Seseorang dari masa lalunya tengah mendekat, dan kehidupannya yang damai akan segera berubah selamanya. Selina dan kedua anaknya duduk di kedai es krim favorit mereka. Alana sibuk memilih rasa baru sementara Aziel tetap setia pada cokelat favoritnya. Saat mereka menikmati es krim, seorang wanita paruh baya yang duduk di meja sebelah menatap mereka dengan kagum. “Anak-anak Anda sangat manis. Mereka kembar, ya?” Selina tersenyum. “Iya, mereka kembar.” Wanita itu tertawa kecil. “Tapi mereka tidak terlalu mirip, ya? Biasanya kembar identik punya wajah yang sama.” Selina terdiam sejenak sebelum tersenyum tipis. “Ya, mereka kembar fraternal. Wajahnya memang tidak serupa.” Hanya ia yang tahu betapa miripnya Aziel dengan ayahnya. Malam harinya, setelah mengantar anak-anak tidur, Selina duduk di ruang tamu butik yang juga menjadi tempat tinggalnya. Ia menghela napas panjang sambil menatap laptop di hadapannya. Bisnisnya berjalan cukup baik, dan ia ingin memperluas butik ke kota lain. Saat sedang mencari investor, salah satu nama yang muncul di layar membuatnya membeku. Alaric Corporation. Selina langsung menutup laptopnya, jantungnya berdetak kencang. Tidak. Ia tidak boleh terlibat dengan perusahaan itu. Dengan pria itu. Ia sudah berusaha keras membangun kehidupannya sendiri, jauh dari bayang-bayang Damien Alaric. Tapi kini, seolah-olah dunia mencoba menariknya kembali ke masa lalu yang ingin ia lupakan. Selina menggenggam dadanya, mencoba menenangkan diri. “Aku harus berhati-hati… Aku tidak boleh sampai bertemu dengannya lagi.” Namun, ia tidak tahu bahwa roda takdir sudah mulai berputar. Di tempat lain, di puncak gedung pencakar langit di kota metropolis, seorang pria duduk di belakang meja kerja mewahnya, menatap laporan dengan ekspresi tajam. Di antara dokumen yang tersusun rapi, ada satu file yang menarik perhatiannya—sebuah proposal bisnis dari butik kecil bernama Lumière Boutique. Damien Alaric menatap nama itu dengan alis berkerut. Lumière Boutique… Selina… Sebuah nama yang sudah lama hilang dari hidupnya, kini muncul kembali. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Malam semakin larut, tetapi Selina belum bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang nama yang muncul di layar laptopnya tadi. Damien Alaric. Sudah bertahun-tahun ia berusaha menjauh dari pria itu. Berusaha menjalani hidupnya sendiri tanpa harus takut akan masa lalu. Namun, hanya dengan melihat namanya saja, semua ketenangan yang ia bangun seolah goyah. Ia menatap kedua anaknya yang sedang tidur pulas di tempat tidur mereka. Wajah mereka begitu damai, seakan dunia ini tidak memiliki masalah apa pun. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil kebahagiaan ini dari kami, pikirnya dalam hati. Namun, jauh di sana, takdir sudah mulai mempermainkan mereka. Sementara itu, di sebuah ruangan kantor yang luas, Damien masih duduk di belakang mejanya. Tangannya mengetuk-ketukkan pena ke permukaan meja, matanya menatap tajam file di hadapannya. Lumière Boutique… Entah mengapa, nama itu terdengar familiar. Ia membuka file tersebut dan mulai membaca lebih dalam. Lalu, matanya membelalak sedikit saat melihat nama pemiliknya. Selina Avery. Seketika, ingatannya kembali ke malam itu—malam yang seharusnya ia lupakan, tetapi entah mengapa, masih tersimpan jelas di pikirannya. Malam di mana ia terbangun dan gadis itu telah menghilang begitu saja. Damien menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. Jadi, kau masih ada di luar sana… Sebuah senyum samar terukir di sudut bibirnya. Bukan senyum hangat, tetapi lebih seperti ekspresi seseorang yang menemukan sesuatu yang menarik setelah sekian lama mencari. Ia menekan tombol di interkom dan berbicara pada asistennya. “Cari tahu segalanya tentang Lumière Boutique dan pemiliknya, Selina Avery. Aku ingin semua detailnya di mejaku sebelum besok pagi.” Dari ujung telepon, suara asistennya terdengar tegas. “Baik, Tuan Alaric. Akan segera saya urus.” Damien mengakhiri panggilan dan kembali menatap file itu dengan tatapan penuh arti. Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi, Selina.Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
Musik berdentum di seluruh ruangan, berpadu dengan suara tawa dan obrolan tamu-tamu pesta. Cahaya lampu kristal berpendar lembut di langit-langit, menciptakan atmosfer mewah dan elegan di dalam ballroom hotel berbintang lima itu. Pesta perayaan ulang tahun seorang sosialita terkenal itu dipenuhi oleh orang-orang dari kalangan atas—pengusaha, selebriti, hingga pewaris keluarga kaya. Di sudut ruangan, seorang wanita berambut panjang dengan gaun merah anggun tengah duduk sambil memainkan gelas sampanye di tangannya. Selina Arabelle tidak pernah menyangka dirinya akan datang ke pesta seperti ini, tetapi sahabatnya, Mia, berhasil membujuknya. “Selina, ayolah, kau tidak bisa hanya duduk di sini sepanjang malam,” ujar Mia sambil menarik tangannya. “Aku tidak nyaman, Mia,” Selina menghela napas, menatap sekeliling. “Ini bukan dunia yang biasa aku masuki.” “Justru itu, sesekali kau harus keluar dari zona nyamanmu!” Mia tertawa kecil. “Kau terlalu sibuk bekerja. Malam ini, bersenang-senangl
BAB 2: Dua Garis Merah Dua minggu telah berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan kejadian tersebut terus menghantui Selina. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai desainer, ingatan tentang Damien selalu kembali. Namun, ia bersikeras bahwa semuanya sudah berakhir. Itu hanya satu malam yang tidak berarti. Atau begitulah yang ia pikirkan. Pagi itu, Selina duduk di kamar mandinya, menatap sebuah benda kecil di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Tes kehamilan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup mata sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Selina terpaku. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berpikir bahwa ia salah lihat. Tetapi tidak—dua garis itu tetap ada, begitu jelas dan nyata. Tubuhnya melemas. Ia hampir menjatuhkan alat tes itu. “Apa yang
Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tingga
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca
Pagi hari di butik Lumière Boutique dimulai seperti biasa. Selina sibuk mengatur koleksi pakaian terbaru yang akan dipajang, sementara Alana dan Aziel duduk di sudut ruangan dengan buku mewarnai mereka. Sejak butik ini dibuka, anak-anaknya sering ikut bersamanya karena ia belum mempercayakan mereka kepada pengasuh. Lagipula, ia suka melihat mereka bermain di dekatnya. “Mommy, aku mau mewarnai gaun yang seperti di etalase itu.” Alana menunjuk salah satu desain terbaru yang Selina buat. Selina tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Warna apa yang ingin kamu pakai?” “Pink dan emas!” Aziel menghela napas kecil. “Alana selalu memilih warna pink.” “Karena pink itu cantik, Aziel!” Selina terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. Namun, sebelum ia bisa menengahi, bel pintu butik berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Seorang wanita dengan setelan formal mahal melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tampak berkelas, dengan rambut panjang bergelombang dan kacamata hita
Musim semi yang hangat menyelimuti kota kecil di mana Selina tinggal bersama kedua anaknya, Aziel dan Alana. Waktu berlalu begitu cepat. Empat tahun telah berlalu sejak malam di mana ia melahirkan mereka, dan kini, kehidupannya dipenuhi dengan tawa serta celoteh dua malaikat kecil itu. Selina berdiri di depan butik kecilnya, tersenyum melihat papan nama yang baru saja dipasang: “Lumière Boutique.” Butik ini adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia mendesain pakaian wanita, khususnya gaun, dan perlahan bisnisnya mulai berkembang. “Mommy!” suara ceria terdengar dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat Alana berlari ke arahnya dengan gaun kuning yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang berkibar saat ia berlari. “Mommy, Aziel nakal! Dia tidak mau memberiku sisa es krimnya!” Tak lama kemudian, Aziel muncul dengan ekspresi tenang, tangannya masih memegang cangkir es krim yang tinggal sedikit. Mata hitamnya yang tajam menat
Angin musim dingin bertiup lembut melalui celah jendela rumah Bibi Anne. Selina duduk di atas tempat tidurnya, satu tangan mengelus perutnya yang semakin besar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kesembilan, dan setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan momen kelahiran yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, meskipun ia telah mempersiapkan diri, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika suatu hari Damien mengetahui tentang anak ini? Ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Ia harus fokus pada bayi di dalam kandungannya—bayinya. Malam itu, ketika Selina sedang duduk di ruang tamu bersama Bibi Anne, tiba-tiba ia merasakan sakit yang tajam di perutnya. Ia meringis, tangannya mencengkeram sisi sofa. “Selina! Ada apa?!” Bibi Anne segera menghampirinya dengan wajah panik. Selina terengah-engah, wajahnya mulai pucat. “Bibi… aku rasa… aku akan melahirkan.” Tanpa memb
Selina duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi perutnya yang masih datar. Meski belum terlihat, ia tahu di dalam sana ada kehidupan yang sedang berkembang. Setiap kali ia berpikir tentang itu, rasa takut dan cemas menyelimutinya. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Keputusan itu sudah ia pikirkan selama berhari-hari. Jika tetap berada di kota ini, cepat atau lambat Damien akan mengetahuinya. Dan Selina tidak ingin itu terjadi. Damien Alaric adalah pria yang tidak bisa diprediksi. Jika ia mengetahui tentang kehamilan ini, entah bagaimana reaksinya—apakah ia akan marah? Apakah ia akan menganggapnya sebagai wanita yang ingin menjeratnya? Selina tidak ingin mengambil risiko. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo, Bibi Anne?” Suara hangat seorang wanita di ujung telepon terdengar, “Selina, sayang! Sudah lama sekali. Ada apa?” Selina tersenyum kecil. “Bibi, aku ingin pergi dari kota ini untuk sementara. Apa aku bisa tingga
BAB 2: Dua Garis Merah Dua minggu telah berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan kejadian tersebut terus menghantui Selina. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, memusatkan perhatian pada pekerjaannya sebagai desainer, ingatan tentang Damien selalu kembali. Namun, ia bersikeras bahwa semuanya sudah berakhir. Itu hanya satu malam yang tidak berarti. Atau begitulah yang ia pikirkan. Pagi itu, Selina duduk di kamar mandinya, menatap sebuah benda kecil di tangannya dengan jantung berdebar kencang. Tes kehamilan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup mata sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Selina terpaku. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berpikir bahwa ia salah lihat. Tetapi tidak—dua garis itu tetap ada, begitu jelas dan nyata. Tubuhnya melemas. Ia hampir menjatuhkan alat tes itu. “Apa yang