Share

Bab 7

"Sudah kubilang, ganti dengan makanan dari restoran yang dulu!" Ronald meluapkan kemarahannya yang tak berdasar kepada asistennya. Lantaran tidak bisa menahan diri lagi, asisten itu akhirnya berkata jujur.

"Pak Ronald, makanan yang dulu itu dimasak Bu Sheny. Dia sudah lama nggak mengirimkan makanan lagi."

Ronald tiba-tiba terdiam. Kemudian, dia mengisyaratkan pada asistennya untuk keluar dari ruangan.

"Sheny, sampai kapan kamu mau buat onar begini?" gumamnya. Dia masih tidak mau percaya bahwa aku sudah meninggal. Dengan keras kepalanya, dia masih menganggap aku hanya berbuat onar.

Dia menyuruh seseorang menghubungi ayahku untuk bertemu dengannya. Namun, ayahku menolak tanpa ragu sedikit pun.

"Kak Ronald, Kak Sheny nggak mungkin benar-benar meninggal, 'kan?" tanya Willianti dengan nada polos sambil menyandarkan tubuhnya ke pelukan Ronald dan berkedip manja. Tangan Ronald yang berada di bahunya tiba-tiba mengepal erat, membuat Willianti meringis kesakitan.

Sambil berusaha terlihat tenang, Ronald menghiburnya dan bergumam pelan, "Nggak mungkin. Orang seperti dia itu pasti hidup lebih lama dari yang lain. Lagian, aku masih hidup, mana mungkin dia tega mati?"

Melihat dia memaksakan senyuman, aku tiba-tiba merasa tidak memahaminya lagi. Belakangan ini, Ronald semakin sering pulang ke rumah, sedangkan Willianti tidak diizinkan untuk masuk.

"Willianti, nggak seharusnya kamu masuk ke rumah sekarang. Belakangan ini dia lagi marah sampai nggak mau pulang. Sementara ini, kita begini saja dulu ...," kata Ronald.

Air mata Willianti langsung mengalir dan sorot matanya dipenuhi dengan ketakjuban. Bukan hanya dia, bahkan aku pun sampai tidak percaya. Apakah Ronald benar-benar menolak Willianti demi diriku?

Sebelum Willianti sempat menjawab, pintu sudah ditutup di depannya.

Di dalam rumah, sampah mulai membusuk, tetapi Ronald tidak peduli. Dia berjalan ke arah minibar, lalu menenggak setengah botol whisky sekaligus. Jakunnya bergerak naik turun dan tubuhnya tiba-tiba terlihat sangat lelah dan rapuh.

"Sheny, jangan marah lagi. Aku nggak ketemuan lagi sama dia ya?" gumamnya. Ronald masih berpikir bahwa semua ini hanyalah ulahku yang sedang marah.

Rumah itu benar-benar sunyi. Ronald yang merasa frustrasi, mengangkat botol whisky dan menenggak sisa isinya. Tak lama kemudian, rasa sakit di lambungnya mulai kambuh dan keringat dingin membasahi tubuhnya tanpa henti.

"Sheny, kamu pasti bangga sekali, 'kan? Kamu pasti mengira aku nggak bisa hidup dengan baik tanpamu ya?"

....

Akhirnya, ayahku mengumumkan berita kematianku secara terbuka. Semua uang yang dihabiskan Ronald untuk menghapus trending topik di internet menjadi sia-sia.

Ronald mengenakan setelan jas dan dasi yang rapi, lalu berjalan menuju pemakamanku dengan percaya diri. Ibu mertuaku yang gemetaran, memegang lengan Ronald dan berkata dengan canggung.

"Apa ini cuma akting? Jangan-jangan, dia benar-benar mati?"

Ronald menatap foto hitam-putih yang ada di tengah-tengah upacara pemakaman itu sambil memijat pelipisnya. Sudah beberapa hari ini dia tidak bisa tidur nyenyak. Biasanya, akulah yang menenangkannya dengan sabar sampai dia terlelap. Mungkin dia masih belum terbiasa dengan perbedaan ini.

"Kalau memang sudah mati, ya biarkan saja. Cuma wanita penghibur, nggak masalah kalau dia mati." Mendengar hinaannya yang keterlaluan itu, hatiku sebenarnya sudah mati rasa. Hanya saja, aku masih merindukan ayahku.

"Ayah, jangan permalukan diri sendiri. Sheny bersikap kekanak-kanakan, kenapa kamu malah ikut-ikutan juga?" tanya Ronald.

Namun, ayahku tidak menggubrisnya. Musik pemakaman mulai berkumandang, membuat Ronald mengerutkan kening. Para tamu yang hadir kebanyakan dari pihak keluargaku. Mereka semua memandang Ronald dengan dingin.

"Sheny!" seru Ronald tiba-tiba.

Untuk sesaat, ekspresi Ronald langsung membeku. Namun, detik berikutnya, dia langsung menyerbu ke arah kotak abuku ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status