Share

Bab 4

Aku melayang di udara, melihat jelas semua keburukan Ronald dengan perasaan pahit yang menggenang di dadaku. Ronald, ponsel yang dulu selalu siaga untukmu kini tak akan pernah lagi ada yang menjawabnya.

....

Ronald sibuk dengan acara bisnisnya dan sudah beberapa hari berturut-turut menolak ajakan makan malam dari Willianti. Dalam acara bisnis itu, semua yang hadir adalah orang yang pintar mengorek informasi tanpa menanyakan secara terus terang.

"Sudah hampir jam 10 malam, kenapa belum ada telepon dari istrimu?" tanya seseorang sambil bercanda dengan Ronald. Teman-teman bisnisnya tahu bahwa Ronald memiliki istri galak yang selalu menelepon untuk mengecek keberadaannya setiap jam 9 malam.

Mendengar hal itu, aku hanya bisa tertawa getir. Dengan sifatku yang seperti itu, tidak heran jika Ronald tidak menyukaiku. Namun, kenapa harus anakku yang menjadi korban?

Gerakan tangan Ronald yang memegang gelas wine terhenti. Mungkin dia juga teringat masa-masa ketika aku selalu mengeceknya. Namun untuk pertama kalinya, dia tidak menunjukkan rasa jengkel.

"Lagi marah sama aku." Samar-samar, aku bisa melihatnya tersenyum tipis. Apakah itu hanya ilusiku?

Semua orang di meja makan itu berbagi tips tentang cara membujuk istri dan malah mengabaikan urusan bisnis. Pada akhirnya, Ronald minum hingga muntah. Bukan hanya tidak berhasil mendapatkan bisnis itu, dia malah mendapat tips-tips yang tidak berguna.

Namun, tampaknya Ronald tidak merasa terganggu sama sekali. Dia bahkan meluangkan waktu untuk membelikan kastanye dari toko favoritku. Dulu saat kami pacaran, Ronald selalu saja punya alasan untuk menolak setiap kali aku memohon padanya.

"Sheny, aku bawakan kamu kastanye."

Dia berjalan terhuyung-huyung di rumah dengan membawa kantong berisi kastanye. Setelah mengelilingi rumah cukup lama, dia tetap tidak menemukan sosokku. Tak lama kemudian, kesabarannya mulai habis. Dia melempar kantong itu ke lantai dan membiarkan kastanye itu berserakan di mana-mana.

Suara telepon tiba-tiba berdering memecah keheningan. Ronald tersenyum, meskipun dengan ekspresi pura-pura datar.

"Bukan dari Sheny?" Dia terlihat kecewa, tetapi tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Selamat malam, Pak Ronald. Bu Sheny yang meninggalkan nomor Anda sebelumnya, boleh saya pastikan dulu, apakah perayaan ulang tahun pernikahan ke-10 kalian masih akan diadakan sesuai jadwal?"

Sebelum meninggal, aku sungguh berharap bisa merayakan ulang tahun pernikahan ke-10 kami. Tak disangka, sekarang kami terpisah oleh kematian. Ronald terdiam sejenak dan aku yakin dia pasti akan menolak.

"Ya, lanjutkan sesuai jadwal. Upgrade ke paket tertinggi," jawabnya.

Aku sontak terkejut, apa artinya ini? Apa dia sudah kehilangan akal sehat?

Kenangan terakhirku tentang hari itu adalah Ronald berjongkok di lantai, lalu memasukkan satu per satu kastanye ke dalam microwave.

"Gimana kalau dia mau makan setelah kembali nanti?" Aku mendengarnya bergumam pada dirinya sendiri.

....

Ronald sangat sibuk. Namun pada hari ulang tahun pernikahan ke-10 kami, dia membatalkan semua jadwalnya.

Dia mengadakan pesta untuk para tamu. Selama acara, terdengar ada seseorang yang mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang sangat serasi. Anehnya, Ronald tidak membantah pernyataan seperti itu.

Sampai pesta berakhir pun, aku tidak muncul. Ronald membanting ponselnya dengan marah, kemudian meminjam ponsel pada orang lain untuk meneleponku. "Sheny, jangan keterlaluan! Kamu itu cuma wanita penghibur, kamu pikir kamu pantas dihargai?"

Para tamu di pesta itu menundukkan kepala dan berpura-pura tidak mendengarnya. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara.

"Kalau kamu nggak mau kembali, kita cerai saja! Aku memang sudah muak hidup sama wanita penghibur!"

Aku menyaksikannya mengamuk dalam keadaan mabuk. Hatiku benar-benar hancur. Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu mungkin adalah kebenaran yang disembunyikannya selama ini. Dia mungkin sudah lama merasa jijik padaku.

Ronald, kalau kamu begitu benci padaku, lalu kenapa dulu kamu menikahiku?

Setelah mengeluarkan ancaman itu, dia terus-menerus mengunjungi tempat hiburan. Kabar mengenai krisis dalam pernikahan kami menyebar ke seluruh kalangan. Hal ini benar-benar manusiawi.

Aku pikir aku sudah melihat semua keburukan sifat manusia. Namun, ternyata aku terlalu meremehkan betapa busuknya sisi buruk manusia. Aku tidak pernah menyangka bahwa ibu mertuaku akan menghasut Ronald untuk menelepon ayahku.

"Itu utangnya padamu! Kalau bukan karena si tua bangka itu, perusahaanmu sudah sukses dari dulu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status