Share

Bab 5

Mendengar ibu mertuaku menghina ayahku, kemarahan membuncah di dadaku. Ronald masih tetap diam, tetap dia membiarkan ibunya menekan tombol telepon.

Nada dering yang tidak asing pun terdengar. Itu adalah rekaman dari ulang tahunku yang ke-18. Tak kusangka ayahku menggunakan rekaman itu sebagai nada deringnya. Ironisnya, aku telah memutuskan hubungan dengan ayahku demi Ronald. Selama bertahun-tahun, aku tidak pernah meneleponnya sekali pun.

"Kalau kamu mau putrimu hidup dengan baik, segera kirim uangnya," kata ibu mertuaku.

....

Kasih sayang orang tua memang paling mulia di dunia ini. Ayahku segera mentransfer uangnya dalam sekejap. Hanya ada satu pesan yang menyertai bukti transfer itu.

[ Cintailah dia lebih banyak lagi. ]

Aku tidak bisa lagi menahan tangisku dan meraung sejadi-jadinya. Selama sepuluh tahun ini, aku telah mengecewakan orang tuaku.

Mungkin Ronald tersadar oleh hati nuraninya. Setelah berpikir lama, dia mengirimkan pesan suara padaku. Dengan suara rendah dan nada memerintah, dia berkata, "Sheny, aku sudah memaafkanmu. Aku putuskan untuk hidup bersamamu dengan baik."

Hatiku yang sudah dipenuhi luka, kini seolah-olah tertusuk kembali oleh ucapannya. Dengan nada angkuh itu, Ronald mungkin merasa telah bermurah hati. Pada hari ketujuh setelah kematianku, penyakit lambung Ronald kembali kambuh.

"Sheny, hentikan kegilaanmu!" Dia berteriak keras sambil memegangi perutnya dan marah-marah pada ponselnya.

Selama beberapa hari terakhir, Ronald membawa semua pekerjaannya ke rumah dan tidak pernah keluar sama sekali. Saat itu, bel pintu tiba-tiba berbunyi. Willianti datang untuk memanfaatkan kesempatan ini mendekati Ronald.

"Kak Ronald, kamu baik-baik saja? Kak Sheny nggak merawatmu?" Willianti mengeluh sambil melirik ke dalam rumah, lalu tanpa sengaja mendekat ke pelukan Ronald.

"Jangan sebut nama wanita penghibur itu lagi, dia nggak pantas!" bentak Ronald dengan kesal. Entah kepada siapa dia sebenarnya marah.

"Benar, dia cuma wanita penghibur. Dia nggak layak. Dia nggak layak ...." Ronald menekan Willianti ke ranjang pernikahan kami, lalu mulai membuka pakaiannya dengan napas terengah-engah.

"Kamulah yang seharusnya jadi nyonya di rumah ini," katanya dengan penuh perasaan dan kasih sayang yang tak pernah kudapatkan.

Di bawah foto pernikahan kami, Ronald bercinta dengan wanita lain.

Ronald tampak seolah-olah sedang berbicara pada Willianti, tetapi juga seperti sedang bergumam pada dirinya sendiri, "Akhirnya aku nggak usah lihat wanita penghibur itu lagi."

Willianti berbaring di pelukannya dengan pipi yang menggembung sambil mengeluh, "Kak Ronald lagi lihat apaan? Kenapa mengabaikanku?"

Gerakan Ronald terhenti sejenak, lalu dia membalikkan ponsel untuk menyembunyikan layarnya. Willianti mungkin tidak tahu, tapi aku bisa melihat semuanya dengan jelas.

Itu adalah layar percakapanku dengannya. Isinya adalah pesan-pesan yang kukirimkan dulu dengan tanpa malu-malu.

[ Ronald, hari ini juga aku suka sekali sama kamu. ]

[ Ronald, sudah hujan nih. Ingat bawa payung. ]

[ Ronald, bisa nggak kamu lebih mencintaiku sedikit? ]

Dulu aku selalu mengirim pesan-pesan ini tanpa merasa bosan. Kadang berupa kata-kata cinta yang sederhana, kadang cerita tentang anjing liar yang kutemui di jalan, atau sesekali tentang harapan masa depan untuk anak kami.

Namun, tak satu pun dari pesan-pesan itu pernah mendapatkan balasan.

Setiap pesan itu adalah bukti betapa besarnya cinta yang pernah kuberikan padanya. Namun belakangan ini, ponselnya hanya berisi pesan-pesan terkait pekerjaan. Tak ada satu pun lagi pesan dari diriku.

Ronald menggaruk kepalanya dengan gelisah. Ronald, apakah tanpa gangguan dari wanita penghibur sepertiku, kamu malah merasa tidak nyaman?

Willianti yang tidak mendapatkan balasan, mulai merajuk dan memaksa Ronald untuk menghiburnya. Ronald hanya menanggapinya dengan setengah hati. Hanya dalam beberapa patah kata yang singkat, kesabarannya pun mulai habis.

Tampaknya, kekasih idamannya saat masih muda dulu, kini mulai berubah menjadi sesuatu yang tak lebih dari rutinitas harian.

....

Tiba-tiba, bel pintu kembali berbunyi. Ronald dan Willianti terkejut sejenak.

"Kak Ronald, jangan-jangan Kak Sheny sudah pulang?"

Tebersit sedikit kegembiraan di wajah Ronald. Namun dalam sekejap, dia menahan ekspresi itu dan memasang wajah tak acuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status