Share

Bab 6

Mungkin aku salah melihat. Mana mungkin Ronald merasa bahagia karena aku?

"Kak Ronald, sebaiknya aku pergi saja. Jangan sampai Kak Sheny salah paham melihat kita," kata Willianti. Melihat Ronald tidak merespons, dia kembali memberikan tekanan pada Ronald.

Mata Ronald bergerak sedikit, lalu dia merangkul Willianti dengan lebih erat dan mencium keningnya dengan lembut.

"Tenang saja, dia nggak akan berani ngelakuin apa pun."

Melihat ekspresi percaya diri Ronald membuatku geram. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka dan aku pun terpaku.

Rumah ini dibeli oleh ayahku pada tahun pertama pernikahan kami. Dia takut aku dipandang rendah oleh keluarga mertuaku, jadi dia menghabiskan sebagian besar tabungannya untuk membelikan kami rumah ini. Selain aku dan Ronald, hanya ayahku yang punya kunci rumah.

Sekarang aku sudah tiada, jadi satu-satunya yang mungkin datang adalah ayahku!

Aku mencoba untuk mendorong Ronald, tapi tentu saja usahaku itu sia-sia. Aku tidak peduli bagaimana dia memperlakukanku. Namun, aku tidak ingin ayahku yang sudah tua melihat pemandangan yang menyakitkan ini.

....

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ronald dengan kecewa dan tidak menunjukkan rasa hormat sedikit pun pada ayahku.

Napas ayahku terengah-engah dan tangannya gemetaran saat menunjuk ke arah Ronald dan Willianti. "Di mana Sheny? Di mana Sheny! Aku mau bawa dia pergi! Berani-beraninya kamu buat dia menderita!" katanya dengan marah.

Aku berlutut di samping kaki ayahku. Baru saat itulah, aku menyadari betapa besarnya kesalahanku selama bertahun-tahun ini. Aku telah mengecewakan ayahku. Sekarang ketika aku tidak bisa lagi membalas kebaikannya, aku malah membuatnya khawatir.

"Putrimu nggak pulang saja aku nggak ngomong apa pun." Ronald sudah terbiasa dengan posisinya yang tinggi sehingga tidak bisa menerima kritikan sedikit pun.

Willianti juga ikut memprovokasi, "Paman, Kak Sheny sudah lama nggak pulang, bahkan nggak peduli sama Ronald yang lagi sakit lambung. Gimana cara didikan Paman selama ini?"

Aku ingin sekali menamparnya. Menyakitiku mungkin masih bisa kuterima, tapi berani-beraninya dia mengkritik ayahku. Ayahku menatap Ronald dengan intens. Sorot matanya menyiratkan kesedihan yang menusuk hatiku.

"Justru karena aku mendidiknya terlalu baik hati, akhirnya malah ditindas sama kalian!"

Ronald berusaha terlihat tidak peduli, tetapi tangannya mengepal erat.

Tiba-tiba, dering telepon memecah ketegangan di ruangan itu. Ronald meliriknya sekilas dan buru-buru mengangkat telepon.

"Apa kamu bilang? Sheny sudah dimakamkan? Kuperingatkan ya, jangan ikut-ikutan sama trik rendahannya ini!" bentaknya dengan marah, lalu melemparkan ponsel ke dinding dengan keras.

Dia melepaskan tangan Willianti yang bertengger di lengannya dengan napas terengah-engah karena marah.

Ayahku membungkukkan tubuhnya yang sudah renta sambil berusaha keras untuk mengambil ponsel yang dibuang oleh Ronald. Ketika mendengar suara dari ujung telepon itu, air mata ayahku perlahan menggenang di matanya.

"Bajingan! Kau benar-benar bajingan!" Ayahku memukul Ronald sekuat tenaga. Namun, dengan tubuhnya yang sudah tua, mana mungkin dia bisa menang melawan Ronald? Ronald menghindari serangan ayahku dengan mudah, lalu mendengus dingin.

"Kamu sudah pikun, ya? Kamu percaya sama omong kosong beginian?"

Ronald menolak pergi ke rumah sakit untuk mengambil abu jenazahku. Dia yakin bahwa semua ini hanyalah tipu muslihatku untuk menarik perhatiannya. Aku mulai bertanya-tanya apa yang telah kulakukan selama ini hingga Ronald bisa berpikir seperti itu tentang diriku.

Akhirnya, ayahku pergi sendirian ke rumah sakit untuk mengambil abu jenazahku dengan penampilan yang tampak lebih ringkih dari sebelumnya.

"Anakku sayang, kenapa kamu jadi kurus begini?" Ayahku memeluk erat kotak abu jenazahku di dadanya. Dia menepuk-nepuk kotak itu dengan lembut, seolah-olah sedang menenangkanku seperti saat aku masih kecil.

Tak lama kemudian, tetesan air mata menggenang di atas kotak abu itu dan memantulkan bayangan wajah ayahku yang sudah tua.

....

Perusahaan Ronald kembali terjebak dalam skandal. Ayahku berdiri di depan gedung perusahaannya sambil mengangkat papan yang menuntut keadilan atas kematianku. Media datang setiap hari untuk melaporkan kejadian ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status