Share

Bab 2

"Apa? Orangnya sudah siuman? Dia baik-baik saja?" Di rumah sakit kota, sopir Felicia Safira berseru dengan takjub.

"Pasien nggak terluka parah. Dilihat dari kondisinya sekarang, mungkin cuma luka luar," jawab dokter berjubah putih.

"Mana mungkin? Setelah tertabrak, jelas-jelas lukanya kelihatan parah sekali. Darahnya juga banyak sekali," balas sopir itu dengan ekspresi tidak percaya.

"Kamu sendiri juga sudah bilang cuma kelihatannya, 'kan?" balas dokter.

Tebersit kecurigaan di mata Felicia yang indah. Setelah memastikan bahwa dokter itu tidak sedang bercanda, dia baru berkata dengan tenang, "Kalau begitu coba kulihat kondisinya."

Saat membuka pintu ruang pasien, Felicia melihat seorang pria yang duduk termenung di atas ranjang. Bahkan Afkar sendiri juga tidak percaya bahwa dia tidak meninggal. Selain itu, sepertinya kondisi tubuhnya terasa agak aneh!

Dalam benaknya, tiba-tiba muncul serangkaian informasi yang berantakan. Mantra Roh Naga? Kitab Kaisar Naga? Jurus Mata Naga? Apa sebenarnya semua ini?

Selain itu, rasa sakit yang sebelumnya dia rasakan di sekitar ginjal kirinya, kini digantikan oleh aliran hangat yang menyebar ke seluruh tubuhnya dan memberikan rasa nyaman yang luar biasa. Saat dia hendak memeriksa lebih lanjut apa yang terjadi, Felicia telah masuk ke ruangan.

Afkar mengangkat kepalanya dan terlihat seberkas kekaguman terpancar dari matanya.

Cantik sekali! Dibandingkan dengan wanita cantik di hadapannya ini, Freya yang dulu membuatnya tergila-gila, tampak tidak ada apa-apanya!

"Kamu ini ..." tanya Afkar dengan ragu-ragu.

Felicia tidak menjawab, melainkan bertanya kembali sambil menatap Afkar, "Kamu mau nipu uang ya?"

Afkar tertegun sejenak setelah menyadari maksud ucapannya. Tadi dia memang menerjang langsung ke mobil wanita ini. Bukankah itu memang terlihat seperti sengaja mau menipu uang?

"Bukan ..." jawab Afkar sambil menggeleng dan tertawa getir.

"Oh, kalau begitu memang sudah bosan hidup?" tanya Felicia dengan tenang.

"Ya ...." Afkar mengangguk.

"Tapi kamu nggak jadi meninggal, gimana dong? Mau coba bunuh diri lagi?" Mata Felicia berkilat, entah apa maksudnya menanyakan hal itu. Setelah ditanya seperti itu, Afkar hanya duduk terdiam.

Felicia menatap Afkar dengan dingin, tetapi tiba-tiba menanyakan sesuatu yang membuat Afkar terperanjat. "Gimana kalau kita menikah?"

Begitu ucapan itu dilontarkan, Afkar langsung membelalakkan matanya menatap Felicia dengan kaget.

"Apa? Apa kamu bilang tadi?" tanyanya lagi.

"Aku bilang, ayo kita menikah!" ucap Felicia mengulangi perkataannya dengan ekspresi datar.

Afkar merasa bingung, bahkan mulai meragukan apakah yang sebenarnya tertabrak mobil tadi adalah wanita cantik di depannya ini. Jika tidak, bagaimana mungkin dia mengatakan hal seperti itu?

"Jangan menatapku seperti itu! Aku ini waras!" Menyadari tatapan Afkar, Felicia mengerutkan alisnya.

Afkar berdeham sejenak, lalu bertanya, "Tapi kenapa? Kenapa kamu begitu menghargaiku?"

Felicia menggelengkan kepalanya dengan ekspresi serius. "Nggak! Justru sebaliknya, aku memilihmu karena meremehkanmu! Simpelnya, aku butuh seseorang yang nggak takut mati untuk jadi tunanganku."

"Karena kamu memang sudah mau bunuh diri, jadi kamu adalah kandidat yang paling cocok. Lagi pula, kamu sendiri sudah nggak sayang nyawa, lebih baik biarkan aku memanfaatkannya. Tentu saja, aku akan berikan imbalan yang setimpal!"

Begitu mendengar ucapan itu, mata Afkar langsung berbinar. Dari penampilannya saja, Felicia tampak seperti orang kaya.

"Oke! Asalkan kamu beri aku 400 juta. Nggak, beri aku 1,6 miliar untuk tolong putriku. Aku akan lakukan apa pun!"

Biaya perawatan di ICU setiap harinya membutuhkan biaya yang sangat besar. Jika mereka benar-benar menemukan sumsum tulang yang cocok, entah berapa banyak lagi uang yang harus dikeluarkan.

Bagaimanapun, wanita ini tampaknya tidak kekurangan uang. Jadi, Afkar memutuskan untuk meminta lebih banyak. Lagi pula, kemungkinan besar dia akan menawar.

Mendengar hal ini, Felicia mengangkat alisnya dengan elegan dan berkata, "Kutegaskan dulu sebelumnya, statusmu sebagai tunangan hanya pura-pura. Aku nggak akan jalani hubungan yang sebenarnya denganmu!"

"Nggak masalah. Asalkan kamu berikan 1,6 miliar untuk menyelamatkan putriku, aku akan melakukan apa saja!" Afkar menegaskan.

"Kamu perlu tinggal di rumahku dan kemungkinan besar akan hadapi banyak kesulitan. Nggak ada yang akan menghargaimu di rumahku. Singkatnya, kamu hanya akan menjadi alat!" Felicia ingin menyampaikan semua kemungkinan terburuk sejak awal.

"Beri aku 1,6 miliar untuk menolong putriku! Aku akan lakukan apa pun!" Afkar mengulangi dengan tegas.

"Baiklah ...." Felicia akhirnya berhenti berbicara. Dia mulai menyadari bahwa pria di depannya ini akan melakukan apa saja demi menolong putrinya. Pria ini rela mengorbankan nyawanya, bahkan lebih dari itu, dia tidak peduli dengan harga dirinya.

....

Di dalam kamar ICU, dokter Shafa yang bernama Kendra, memeriksa bola mata gadis kecil itu, lalu melihat alat yang berada di sampingnya.

"Nggak bisa diselamatkan lagi. Lakukan persiapan!"

"Baik, Dokter!" sahut perawat sambil mengeluarkan sehelai kain putih untuk menutupi jasad pasien. Pada saat ini, Shafa terbaring di ranjang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun.

Nyawa yang begitu rapuh ini tampaknya telah mencapai ajalnya. Kendra melirik gadis itu sekilas dengan tatapan yang dingin, tanpa ada rasa kasihan atau bersalah sedikit pun.

"Bahkan biaya pengobatan aja nggak bisa bayar. Kalau nggak, masih bisa bertahan selama beberapa hari dengan obat impor. Orang miskin cuma bisa nunggu mati!" gumam Kendra menggerutu.

Pada saat ini, tiba-tiba muncul sebuah sosok yang bergegas dari luar. Melihat kain putih di tangan perawat, nada bicara Afkar langsung berubah, "Hentikan! Apa yang kalian lakukan?"

"Pasien sudah meninggal ..." jawab perawat dengan kaget.

"Nggak! Nggak mungkin! Shafa! Shafa!" Mendengar ucapan perawat, Afkar merasa syok dan langsung berlari ke samping ranjang.

Melihat putrinya yang memejamkan mata dan tidak bernapas lagi, Afkar menggenggam erat tangan Shafa dan menggoyangkannya dengan perlahan.

"Shafa, cepat bangun! Buka matamu, lihatlah Papa! Shafa! Shafa, putriku!"

Kendra berkata dengan tidak sabar, "Untuk apa kamu teriak-teriak di rumah sakit? Pasien sudah meninggal, biarkan perawat membawanya pergi!"

"Nggak, Shafa nggak akan meninggal! Mana mungkin putriku meninggal secepat ini? Kalian sudah beri dia obat khusus belum? Mana mungkin dia bisa meninggal secepat ini kalau pakai obat khusus?" tanya Afkar dengan mata memerah.

Kendra mendengus, lalu menyindirnya, "Kamu sudah utang biaya pengobatan, masih mau pakai obat khusus? Kamu kira rumah sakit kita organisasi amal?"

"Berengsek! Dokter sialan! Kenapa nggak beri obat pada anakku? Kenapa? Bukannya sudah kubilang, berikan dulu obatnya pada anakku, aku akan cari uangnya?"

"Kenapa kalian tega membiarkan anakku meninggal begitu saja? Kenapa kalian bisa setega itu?" tanya Afkar dengan putus asa.

"Apa gunanya kamu bilang begitu? Kamu kira kamu siapa? Putrimu sudah meninggal, cepat biarkan perawat bawa pergi jasadnya! Kamar ICU ini dibayar per jam. Kalau punya uang, silakan saja terus buat onar di sini!" desak Kendra sambil tersenyum dingin.

"Nggak, putriku belum meninggal! Belum meninggal!" teriak Afkar sambil memegang erat tangan Shafa.

Detik berikutnya, terasa sebuah aliran hangat dari tangan Afkar hingga memasuki tubuh Shafa.

"Orangnya sudah meninggal, apa gunanya lagi kamu pegang tangannya? Kalau nggak, kamu gendong pulang saja. Jangan buat masalah di sini!" teriak Kendra.

"Nggak! Putriku belum meninggal! Dia pasti masih bisa hidup!"

Afkar terus-menerus mengalirkan aliran hangat dari dalam tubuhnya ke tubuh Shafa. Sensasi panas di sekitar ginjal kirinya, serta informasi baru yang muncul di pikirannya, membuat Afkar sadar bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Meskipun belum sepenuhnya memahami atau menguasai sensasi panas ini, Afkar tahu bahwa ini adalah sesuatu yang baru. Meski demikian, Afkar tidak akan menyerah selama ada secercah harapan. Dia bertekad memasukkan aliran panas tersebut ke dalam tubuh Shafa dan berharap bisa terjadi keajaiban.

"Masih bisa hidup? Kamu sudah gila ya? Semua tanda-tanda kehidupannya sudah hilang, kamu masih berharap dia bisa hidup kembali?"

"Kalau putrimu benar-benar bisa hidup kembali, aku akan berjalan mundur seumur hidupku!" kata Kendra dengan sinis. Sementara itu, perawat di sebelahnya juga tertawa mengejek.

Namun pada saat itu, alat yang masih terpasang pada tubuh Shafa tiba-tiba berbunyi.

Tak lama kemudian, detak jantung yang sebelumnya menunjukkan garis lurus di layar monitor, tiba-tiba menunjukkan gelombang. Selain itu, gelombang itu berangsur-angsur semakin kuat dan teratur!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status