"Apa yang terjadi, sayang?" Amelia bertanya dengan nada khawatir, jari-jarinya yang halus mengusap lembut helaian rambut Julia, seakan ingin menyisir kesedihan yang bersarang di dalam hatinya.
Beberapa jam kemudian, Julia tiba di rumah orang tuanya, langkahnya tertatih seolah beban dunia bertumpu di pundaknya.
Begitu melihat sang ibu, ia langsung terisak hebat, bahunya terguncang hebat dalam pelukan Amelia yang mengerat seakan ingin menahan seluruh kepedihan putrinya.
"Aku… aku baru saja diceraikan oleh Kevin, Bu…" suara Julia terdengar lirih. Bibirnya bergetar, kata-katanya hampir tak bisa melewati tenggorokannya yang tercekat oleh kepedihan.
“Dia menceraikanku begitu saja hanya karena aku kucel, tak pernah merawat diri.”
Mata Amelia langsung membola, amarah menggelegak di dalam dadanya seperti air mendidih yang siap meluap.
"Apa?! Setelah kau membantunya bangkit, setelah keringat dan air matamu kau curahkan demi dirinya, pria itu mencampakkanmu begitu saja?! Apa dia gila? Apa dia ingin mati?!" Suaranya bergemuruh, penuh bara kemarahan yang menyala-nyala.
Julia hanya mengangguk lemah, air matanya jatuh tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. "Bukan hanya itu, Bu…" napasnya tersengal, seakan luka di hatinya semakin menganga.
"Dia membawa wanita lain ke rumah kami. Wanita itu… sedang hamil. Ibunya Kevin menuduhku mandul, dan kemudian Kevin selingkuh di belakangku hingga membuat wanita itu hamil.”
"Astagaaa!" Amelia mendengus, dadanya naik-turun menahan gejolak yang hampir meledak. Ia bisa merasakan darahnya berdesir cepat, gemuruh amarah menyesakkan rongga dadanya.
"Seharusnya kau beritahu siapa kau sebenarnya, Julia! Seharusnya sejak awal kau tunjukkan pada mereka bahwa kau bukan wanita yang bisa diinjak-injak!"
Amelia menggertakkan giginya, kepedihan yang terpancar dari mata Julia bagai belati yang mengoyak hatinya.
"Selama ini kau rela menderita, mengorbankan segalanya, menjadi istri yang baik untuk pria itu. Dan sekarang … ini balasan yang kau terima? Aku benar-benar tidak terima, Julia! Hatiku sakit melihat anakku diperlakukan seperti ini, seolah kau hanyalah kain lap yang bisa dibuang setelah usang!"
Julia menundukkan kepalanya, seakan rasa bersalah itu kian menghimpit jiwanya. "Aku bodoh, Bu… Aku meninggalkan keluarga demi pria yang sekarang membuangku seperti sampah. Aku menyesal… Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku,” suaranya lirih, hampir tak terdengar, seolah ia berbicara dari kedalaman jurang keputusasaan.
Amelia meraih tangan Julia, menggenggamnya erat—hangatnya seolah ingin mengembalikan nyawa yang telah lama menghilang dari putrinya.
"Jangan menangis untuk pria seperti itu, Julia!" suaranya penuh ketegasan, tetapi tetap mengandung kelembutan seorang ibu yang ingin melindungi anaknya dari badai kehidupan.
"Jangan biarkan dia menghancurkanmu lebih jauh lagi. Kau harus bangkit!"
Julia menghapus air matanya, kelam di matanya mulai memudar, digantikan oleh secercah cahaya yang perlahan menyala kembali.
"Aku tidak akan mencintainya lagi, Bu. Setelah dia memperkenalkan wanita itu padaku, hatiku sudah benar-benar tertutup untuknya."
"Good!" Amelia mengangkat dagunya dengan penuh keyakinan.
"Jangan pernah mencintai pria yang tidak tahu terima kasih sepertinya!" ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.
"Besok, datanglah ke pesta itu. Aku akan menunjukkan siapa kau sebenarnya!"
**
Keesokan harinya, Julia melangkah masuk ke pesta mewah dengan keanggunan seorang ratu yang baru saja kembali merebut tahtanya.
Setiap langkahnya menggema di lantai marmer yang berkilauan, penuh keyakinan dan wibawa.
Gaun merah darah yang membalut tubuhnya mengalir bak aliran sutra cair, membentuk siluet sempurna yang seakan diciptakan khusus untuknya.
Berlian berkilauan menghiasi leher jenjangnya, menangkap cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Seluruh mata tertuju padanya, terperangkap dalam pesona yang ia pancarkan.
Para tamu, pria maupun wanita, tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Sosok yang dulu dipandang sebelah mata kini berdiri dengan penuh martabat, seperti mawar merah yang akhirnya mekar dengan keindahan yang tak tertandingi.
Tak lama, suara gemerisik langkah yang tergesa-gesa menarik perhatian Julia. Diana—mantan mertuanya—muncul dari kerumunan, bersama putri sulungnya, Agnes.
Wajah mereka menegang, seolah tak percaya dengan pemandangan yang mereka lihat. Mata Diana menyipit, menelusuri Julia dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Apa yang aku lihat ini?!" suaranya bergetar antara keterkejutan dan amarah. "Kenapa kau ada di sini?! Ini pesta para sultan! Rakyat jelata sepertimu tidak pantas berada di sini!"
Julia hanya tersenyum tipis, seolah ucapan Diana hanyalah angin lalu yang tak layak untuk dipikirkan.
Ia mengangkat gelas sampanye yang sejak tadi dipegangnya, memutarnya dengan anggun, membuat cairan keemasan itu berputar perlahan dalam gelas kristal.
"Aku sedang bicara padamu!" Diana membentak, suaranya melengking seperti kaca yang retak. Wajahnya merah padam, amarah tersulut oleh ketenangan Julia yang justru semakin membuatnya gelisah.
"Oh?" Julia menaikkan sebelah alisnya, menoleh perlahan ke arah Diana dengan tatapan penuh ketenangan yang mengintimidasi. "Aku pikir kau hanya sedang membuang waktu dengan ocehan tidak penting."
Agnes, yang sejak tadi diam, kini menyeringai sinis. Matanya yang tajam menyisir penampilan Julia, seolah mencari cela sekecil apa pun yang bisa dijadikan bahan ejekan.
"Dari mana kau dapatkan gaun dan perhiasan mahal itu?" suaranya dipenuhi kecurigaan. "Apa kau mencurinya? Jangan-jangan itu milik ibuku?!"
Diana segera menimpali dengan nada mencemooh, "Aku yakin kau mengambil gaunku sebelum pergi dari rumah! Dasar wanita murahan!"
Tawa sinisnya menggema di ruangan, menarik perhatian beberapa tamu yang kini mulai berbisik-bisik, menikmati drama yang tengah terjadi di depan mereka.
Namun, Julia tetap tak terpengaruh. Sorot matanya dingin bak es, menusuk jauh ke dalam kebanggaan kosong Diana.
"Jaga ucapanmu, Nyonya Diana," ujar Julia. Ia menghela napas pelan, lalu dengan gerakan anggun menaruh gelas sampanye itu di atas meja marmer di sampingnya.
Diana mendengus, kedua tangannya bertolak pinggang. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," ujarnya dengan congkak.
"Kau hanyalah wanita miskin yang seharusnya berada di dapur, mencuci piring dan menyiapkan makan malam untuk kami. Bukan di sini, di antara orang-orang kaya dan berkelas."
Tawa Diana menggema, bergabung dengan beberapa tamu yang ikut menyaksikan kejadian itu. Seolah sedang menyaksikan sebuah pertunjukan, mereka menunggu bagaimana drama ini akan berakhir.
"Lihatlah wanita kampungan ini," Diana melanjutkan dengan suara yang lebih keras, seolah ingin memastikan semua orang mendengar ejekannya. "Bisa-bisanya dia datang ke pesta ini. Sebaiknya pergi, Julia. Jangan mengotori tempat terhormat ini!"
Lalu, dengan penuh penghinaan, Diana mendorong tubuh Julia. Namun, alih-alih terhuyung, Julia tetap berdiri kokoh seperti gunung yang tak tergoyahkan. Ia hanya terkekeh pelan, seakan geli melihat usaha sia-sia Diana untuk menjatuhkannya.
Kemudian, Julia tersenyum. Senyum yang bukan sekadar ejekan, melainkan senyum kemenangan. Ia mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Diana, suaranya rendah namun penuh keyakinan.
"Lihat saja, Nyonya Diana…" bisiknya, menatap langsung ke mata wanita itu. "Siapa yang akan menjadi pencuci piring setelah ini."
"Mari kita sambut, donatur amal terbanyak kali ini untuk Yayasan Musik International tahun ini!"Suara pembawa acara menggema di seluruh aula megah, merambat di antara pilar-pilar marmer yang menjulang tinggi.Kilauan lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya seperti bintang-bintang yang berjatuhan di antara para tamu yang berdiri dalam gaun dan jas terbaik mereka."Seorang yang telah memberikan fasilitas terbaik demi kemajuan yayasan ini, untuk semua murid yang kurang mampu! Julia!"Sejenak, keheningan menggantung di udara, seolah semua orang menahan napas. Kemudian, tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan dengan semangat dan kekaguman yang meluap-luap.Para hadirin berdiri, memberikan penghormatan kepada sosok yang telah menjadi pilar utama yayasan ini.Dari balik tirai kemewahan, seorang wanita anggun melangkah maju. Julia.Gaun malam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, membiaskan kilauan bak safir yang tersentuh sinar bulan. Setiap langkahnya adalah si
"Kita harus memastikan bahwa kerja sama dengan mitra dari luar negeri berjalan dengan lancar. Aku sudah berbicara dengan beberapa pihak, dan mereka tampak tertarik," kata Julia dengan mata menatap Mike dengan keyakinan seorang pemimpin yang tahu arah langkahnya.Mike mengangguk, ekspresinya menunjukkan penghargaan terhadap ketajaman wanita di hadapannya. "Itu langkah yang bagus. Dengan reputasi The Gold Company, aku yakin mereka tidak akan menolak."Namun, sebelum Julia sempat menanggapi, suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, memecah harmoni pertemuan bisnis itu.Pintu ruangan terbuka dengan kasar, dan sosok yang dulu pernah menguasai hatinya kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi murka. Kevin.Matanya yang gelap menyala dengan amarah yang tak terkendali, seolah api cemburu dan keterkejutan membakar dirinya dari dalam."Apa maksud dari ini semua, Julia?" suaranya menggema, memecah keheningan dan menarik perhatian beberapa pengunjung yang masih berada di sekitar.Julia menghe
"Aku minta maaf karena sudah mengakuimu sebagai calon tunanganku," ucapnya lirih setelah mereka tiba di rumah megah milik Julia dan Mike mengantarnya pulang ke sana.Mike hanya terkekeh kecil, seolah kegetiran Julia bukanlah sesuatu yang perlu disesali. Ia menepuk pundak wanita itu dengan kelembutan yang tak dibuat-buat."Bukankah kau yang meminta bantuanku? Lakukanlah sesuai dengan keinginanmu. Tidak masalah, mau menganggapnya sebagai calon tunangan pun."Julia menatap Mike, menemukan sesuatu dalam sorot matanya yang membuat dadanya sedikit lebih ringan.Pria itu tak memandangnya dengan kasihan, tidak pula dengan rasa menghakimi. Ia hanya ada di sana—mendengarkan, memahami, tanpa menuntut apapun darinya.Senyum lega mengembang di bibir Julia. "Terima kasih, Mike. Aku benar-benar menghargai bantuanmu. Aku tidak tahu apa jadinya jika kau tidak ada tadi. Mungkin Kevin akan semakin mencemoohku karena duduk sendiri.”Mike menatapnya lama, ekspresinya sulit diartikan—ada sesuatu yang bersi
Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tang
Mike melirik arlojinya sejenak sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Waktu sudah berlalu lebih cepat dari yang ia kira.Dengan langkah mantap, ia menuju restoran kecil yang terletak tak jauh dari kantor The Gold Company.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman roti panggang yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca restoran.Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, Julia sudah menunggu. Cahaya matahari yang menembus kaca membingkai wajahnya dengan kilauan keemasan, menciptakan siluet yang hampir tak nyata.Ia tampak anggun dalam setelan formalnya, meskipun ada sedikit kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya."Maaf menunggu lama, Julia," ujar Mike dengan senyum tipis, nada suaranya penuh kehangatan.Julia mengangkat wajahnya, tersenyum samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru saja datang. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku."Mike menarik kursinya dan duduk, kedua sikunya bertumpu ringan
Kevin bersandar di kursinya, mengusap permukaan meja kayu mahoni yang mengilap dengan ujung jarinya, seolah merasakan denyut kemenangan yang bergetar di setiap seratnya.Senyum tipis bertengger di sudut bibirnya saat tinta emas pena menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak yang menjanjikan masa depan gemilang bagi perusahaannya.Ini bukan sekadar kesepakatan biasa, melainkan puncak dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Sebuah mahakarya diplomasi bisnis yang akhirnya terwujud dalam lembaran perjanjian resmi.Namun, euforia itu buyar dalam sekejap. Seperti kaca kristal yang terlepas dari genggaman, jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai realitas yang kejam.Notifikasi email menyala di sudut layar laptopnya, seperti pertanda kehancuran yang menanti. Alisnya mengernyit, jemarinya bergerak membuka pesan dengan perasaan yang tiba-tiba diliputi firasat buruk.Begitu matanya menyapu isi surat elektronik itu, denyut nadinya melonjak, dan perutnya seakan dihantam gelombang ding
"Mulai detik ini, kau bukan istriku lagi!"Suara Kevin bergema di ruangan itu, dingin dan tak berperasaan. Lembar-lembar surat cerai melayang di udara sebelum akhirnya jatuh menampar wajah Julia.Jari-jarinya yang gemetar meraih kertas itu, seakan berharap bahwa ia salah melihat, bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.Namun, tinta hitam yang tertulis di atas kertas putih itu adalah vonis mati atas pernikahannya. Setiap hurufnya seolah berbisik kejam di telinganya, mengukuhkan nasib yang kini tak lagi bisa dihindari."Kenapa kau tega menceraikanku secara mendadak seperti ini?" suaranya lirih, bergetar di antara isakan yang ia tahan sekuat tenaga.Matanya yang mulai memerah mencari-cari sesuatu dalam diri Kevin—secuil belas kasih, sedikit saja perasaan yang mungkin masih tersisa untuknya.Namun, Kevin hanya mendengus. Pria itu menyilangkan tangan di dadanya, matanya menatap Julia dengan ekspresi dingin, tanpa sedikit pun emosi."Aku tidak membutuhkanmu lagi dala
Kevin bersandar di kursinya, mengusap permukaan meja kayu mahoni yang mengilap dengan ujung jarinya, seolah merasakan denyut kemenangan yang bergetar di setiap seratnya.Senyum tipis bertengger di sudut bibirnya saat tinta emas pena menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak yang menjanjikan masa depan gemilang bagi perusahaannya.Ini bukan sekadar kesepakatan biasa, melainkan puncak dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Sebuah mahakarya diplomasi bisnis yang akhirnya terwujud dalam lembaran perjanjian resmi.Namun, euforia itu buyar dalam sekejap. Seperti kaca kristal yang terlepas dari genggaman, jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai realitas yang kejam.Notifikasi email menyala di sudut layar laptopnya, seperti pertanda kehancuran yang menanti. Alisnya mengernyit, jemarinya bergerak membuka pesan dengan perasaan yang tiba-tiba diliputi firasat buruk.Begitu matanya menyapu isi surat elektronik itu, denyut nadinya melonjak, dan perutnya seakan dihantam gelombang ding
Mike melirik arlojinya sejenak sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Waktu sudah berlalu lebih cepat dari yang ia kira.Dengan langkah mantap, ia menuju restoran kecil yang terletak tak jauh dari kantor The Gold Company.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman roti panggang yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca restoran.Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, Julia sudah menunggu. Cahaya matahari yang menembus kaca membingkai wajahnya dengan kilauan keemasan, menciptakan siluet yang hampir tak nyata.Ia tampak anggun dalam setelan formalnya, meskipun ada sedikit kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya."Maaf menunggu lama, Julia," ujar Mike dengan senyum tipis, nada suaranya penuh kehangatan.Julia mengangkat wajahnya, tersenyum samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru saja datang. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku."Mike menarik kursinya dan duduk, kedua sikunya bertumpu ringan
Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tang
"Aku minta maaf karena sudah mengakuimu sebagai calon tunanganku," ucapnya lirih setelah mereka tiba di rumah megah milik Julia dan Mike mengantarnya pulang ke sana.Mike hanya terkekeh kecil, seolah kegetiran Julia bukanlah sesuatu yang perlu disesali. Ia menepuk pundak wanita itu dengan kelembutan yang tak dibuat-buat."Bukankah kau yang meminta bantuanku? Lakukanlah sesuai dengan keinginanmu. Tidak masalah, mau menganggapnya sebagai calon tunangan pun."Julia menatap Mike, menemukan sesuatu dalam sorot matanya yang membuat dadanya sedikit lebih ringan.Pria itu tak memandangnya dengan kasihan, tidak pula dengan rasa menghakimi. Ia hanya ada di sana—mendengarkan, memahami, tanpa menuntut apapun darinya.Senyum lega mengembang di bibir Julia. "Terima kasih, Mike. Aku benar-benar menghargai bantuanmu. Aku tidak tahu apa jadinya jika kau tidak ada tadi. Mungkin Kevin akan semakin mencemoohku karena duduk sendiri.”Mike menatapnya lama, ekspresinya sulit diartikan—ada sesuatu yang bersi
"Kita harus memastikan bahwa kerja sama dengan mitra dari luar negeri berjalan dengan lancar. Aku sudah berbicara dengan beberapa pihak, dan mereka tampak tertarik," kata Julia dengan mata menatap Mike dengan keyakinan seorang pemimpin yang tahu arah langkahnya.Mike mengangguk, ekspresinya menunjukkan penghargaan terhadap ketajaman wanita di hadapannya. "Itu langkah yang bagus. Dengan reputasi The Gold Company, aku yakin mereka tidak akan menolak."Namun, sebelum Julia sempat menanggapi, suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, memecah harmoni pertemuan bisnis itu.Pintu ruangan terbuka dengan kasar, dan sosok yang dulu pernah menguasai hatinya kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi murka. Kevin.Matanya yang gelap menyala dengan amarah yang tak terkendali, seolah api cemburu dan keterkejutan membakar dirinya dari dalam."Apa maksud dari ini semua, Julia?" suaranya menggema, memecah keheningan dan menarik perhatian beberapa pengunjung yang masih berada di sekitar.Julia menghe
"Mari kita sambut, donatur amal terbanyak kali ini untuk Yayasan Musik International tahun ini!"Suara pembawa acara menggema di seluruh aula megah, merambat di antara pilar-pilar marmer yang menjulang tinggi.Kilauan lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya seperti bintang-bintang yang berjatuhan di antara para tamu yang berdiri dalam gaun dan jas terbaik mereka."Seorang yang telah memberikan fasilitas terbaik demi kemajuan yayasan ini, untuk semua murid yang kurang mampu! Julia!"Sejenak, keheningan menggantung di udara, seolah semua orang menahan napas. Kemudian, tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan dengan semangat dan kekaguman yang meluap-luap.Para hadirin berdiri, memberikan penghormatan kepada sosok yang telah menjadi pilar utama yayasan ini.Dari balik tirai kemewahan, seorang wanita anggun melangkah maju. Julia.Gaun malam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, membiaskan kilauan bak safir yang tersentuh sinar bulan. Setiap langkahnya adalah si
"Apa yang terjadi, sayang?" Amelia bertanya dengan nada khawatir, jari-jarinya yang halus mengusap lembut helaian rambut Julia, seakan ingin menyisir kesedihan yang bersarang di dalam hatinya.Beberapa jam kemudian, Julia tiba di rumah orang tuanya, langkahnya tertatih seolah beban dunia bertumpu di pundaknya.Begitu melihat sang ibu, ia langsung terisak hebat, bahunya terguncang hebat dalam pelukan Amelia yang mengerat seakan ingin menahan seluruh kepedihan putrinya."Aku… aku baru saja diceraikan oleh Kevin, Bu…" suara Julia terdengar lirih. Bibirnya bergetar, kata-katanya hampir tak bisa melewati tenggorokannya yang tercekat oleh kepedihan.“Dia menceraikanku begitu saja hanya karena aku kucel, tak pernah merawat diri.”Mata Amelia langsung membola, amarah menggelegak di dalam dadanya seperti air mendidih yang siap meluap."Apa?! Setelah kau membantunya bangkit, setelah keringat dan air matamu kau curahkan demi dirinya, pria itu mencampakkanmu begitu saja?! Apa dia gila? Apa dia in
"Mulai detik ini, kau bukan istriku lagi!"Suara Kevin bergema di ruangan itu, dingin dan tak berperasaan. Lembar-lembar surat cerai melayang di udara sebelum akhirnya jatuh menampar wajah Julia.Jari-jarinya yang gemetar meraih kertas itu, seakan berharap bahwa ia salah melihat, bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.Namun, tinta hitam yang tertulis di atas kertas putih itu adalah vonis mati atas pernikahannya. Setiap hurufnya seolah berbisik kejam di telinganya, mengukuhkan nasib yang kini tak lagi bisa dihindari."Kenapa kau tega menceraikanku secara mendadak seperti ini?" suaranya lirih, bergetar di antara isakan yang ia tahan sekuat tenaga.Matanya yang mulai memerah mencari-cari sesuatu dalam diri Kevin—secuil belas kasih, sedikit saja perasaan yang mungkin masih tersisa untuknya.Namun, Kevin hanya mendengus. Pria itu menyilangkan tangan di dadanya, matanya menatap Julia dengan ekspresi dingin, tanpa sedikit pun emosi."Aku tidak membutuhkanmu lagi dala